surat-untuk-tikus-berdasi

Surat kepada Tuan-tuanku

Akhir-akhir ini, aku menghabiskan weekend-ku hanya berdiam di rumah dan kadang seharian penuh itu kuhabiskan hanya dengan tidur manis di kasurku yang empuk. Enggan aku rasanya tuk jalan-jalan ke luar rumah, seperti waktu masih pengangguran dulu. Maklum. Kini aku sudah memiliki pekerjaan dan dalam sepekan aku hanya fokus dengan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan saja. Sangat sibuk tentunya. Pikirku, kerja di kantor itu menyenangkan dan tidak terlalu menyibukkan. Ternyata. Ya,,, seperti yang kalian juga tahu bagaimana persisnya. Amat melelahkan. Itu sebabnya, aku lebih suka dengan empuknya kasurku ketimbang lekukan tubuh bule Spanyol yang asyik telentang di tumpukkan pasir pantai, dibaluti bikini seadanya. Tidur, itulah kesukaanku di akhir pekan.

Suatu kali, masih tentang di akhir pekan, aku terjaga terlalu dini. Jam 07.00 tepat. Bagiku itu terlalu pagi. Biasanya, aku baru bangun pada pukul 11.00 gitu. Seperti ada yang mengganjal dalam diriku. Ada semacam sesuatu yang mendesakku tuk segera bangkit dari tidur panjangku dan menjemput mentari melalui jendela kamarku yang kebetulan desainnya mengarah ke uruk timur.

**

Kopi merupakan hal pertama yang muncul dalam benakku. Kopi merupakan semacam opium yang senantiasa memantik lamunan akan mimpi-mimpi burukku semalam. Ya, hanya kopi saja yang mampu membuat inspirasiku kembali menelur dalam batok kepalaku. Setelah kuseruput cangkir kopiku, aku langsung menyalakan televisi untuk sekedar iseng melihat-lihat berita liputan pagi ini. Cukup lama aku memainkan remot kontrol untuk mencari acara yang menarik. Dan aku berhenti pada sebuah chanel yang menayangkan berita tentang korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan di republik ini. Uang yang dimasukkan ke dalam kantung pribadinya jumlahnya kira-kira dapat mengatasi problem busung lapar di daratan timur sana, hampir 4 triliun.

“Dasar politikus kotor, keji, rakus dan tak beradab. Kerjaannya hanya mencuri uang rakyat. Saat sidang soal rakyat malah mengantuk. Giliran tanda tangan uang duduk, berebutan dan bahkan main kasar”, ocehku kesal.

“Negeri ini bakalan dipenuhi oleh populasi tikus berdasi. Sebagaimana tikus sifatnya dasarnya mencuri, demikian pula dengan tikus-tikus berdasi ini. Bisa repot kalau begini. Rakyat jelata bakal mati kelaparan”, tambahku menggerutu.

Saking marahnya, aku tak mampu menahan emosiku. Langsung kumatikan televisi itu dan kulemparkan tubuhku pada sofa di ruang tamu. Tiba-tiba aku teringat dengan pengemis-pengemis yang berseliweran di pinggir jalan, di kolong jembatan, di emperan toko dan di tempat-tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku iba dengan mereka. Melihaat berita tadi, rasanya ingin kuteriak kepada pemerintah untuk segera mengeksekusi saja manusia-manusia jahanam yang telah mencuri uang rakyat itu. Dasar pencuri.

Karena tak puas, aku pun memutuskan tuk membuat suatu surat. Surat itu akan kukirim kepada pemerintah perihal keluhan dari ‘mereka’ yang tak mampu tuk bersuara.

Surat kepada Tuan-tuan(ku)

Selamat siang Tuan. Salam bahagia di perjumpaan kita yang pertama ini. Semoga saja Tuanku sedang baik-baik saja. Toh, sudah banyak  yang tuan dulang dari kami. Oh ya tuan, sebelumnya kami lupa memberitahukan identitas kami. Tuanku boleh memanggil kami, budak. Budak yang senantiasa rela dan tidak melawan (bersuara) ketika tuanku mencuri hak kami. Namun ketika kami menuntut kewajiban kami, tuanku justru bertindak semena-mena dan bahkan memperlakukan kami tidak seperti layaknya seorang budak dan justru seperti seekor binatang. Tuanku sungguh tragis dan sadis.

Tuanku, kami ini manusia dan hanya kebetulan sebagai budak. Kalau toh tuanku memerintah kami, itu sudah menjadi takdir kami untuk patuh dan taat pada apa yang dititahkan. Akan tetapi, kalau tuanku sudah mencuri hak kami, itu sudah sungguh keterlaluan sebab kami juga butuh uang untuk mengisi perut kecil kami. Ya, tidak apalah kalau tuanku mencuri sedikit dari hak kami sehingga kami dapat memperoleh yang sisanya untuk anak dan cucu kami. Tetapi, tuanku menguras semuanya, tak ada sisa. Lalu, kami makan apa?

Tuanku, ada satu permintaan kami; tolong mereka yang sudah mencuri dari kami (termasuk tuanku apabila sudah pernah mencuri), langsung dikubur hidup-hidup saja sebab tanah air ini tidak sudi untuk menampung mayat dari pencuri-pencuri jahanam seperti mereka.

Tuanku, perhatikan permintaan kami ini. Tuanku, selamat bekerja kembali. Maaf, telah mengganggu kesibukan dari tuanku.

Salam dari kami yang tak mampu bersuara,

 

                                                                    ttd.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan