buku-buku-tan-malaka

Tan – Sebuah Sejarah yang Belum Tuntas

Tan Malaka bisa disebut sebagai pejuang kemerdekaan yang kontroversial. Para sejarawan sering memberi komentar yang berbeda pada putra Minangkabau kelahiran 2 Juni 1897 ini. Ada yang memujanya, tapi tidak sedikit pula yang mencibirnya.

Nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim. Ia diangkat Soekarno menjadi pahlawan nasional tahun 1963. Konstelasi politik di zaman itu, disebut-sebut sebagai alasan Bung Karno menganugerahinya gelar kepahlawanan. Agenda Soekarno yang ingin menyatukan ideologi nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) dikatakan menjadi alasan penganugerahan itu. Bahkan sampai sekarang pun, khususnya dikelompok “kiri”, Tan Malaka tetap tinggal sebagai kontroversi.

tan-malaka-novel-hendri-tejaDi tengah tarikan itulah novel “Tan” karangan Hendri Teja ini hadir. Novelis, yang juga putra Minangkabau ini, mengangkat Tan Malaka sebagai tokoh utamanya. Hendri Teja adalah seorang aktivis buruh di Pengurus Besar Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO). Itulah informasi yang tersaji di halaman terakhir novel. Selain novel ini, saya tidak tahu apakah ada novel lain yang lahir dari gurat penanya.

Novel ini membawa warna tersendiri di khasanah dunia sastra Indonesia. Bisa dikatakan, dewasa ini novelis Indonesia jarang mengangkat tokoh sejarah sebagai tema utamanya. Apalagi, sejarah dalam konteks Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kelompok “kiri”, selalu dibayang-bayangi propaganda Orde Baru. Dalam situasi demikian, novel ini menjadi relevan untuk dibaca.

Walau jenis sastra yang diusungnya adalah biografi, namun dalam penuturannya, novel ini mengambil bentuk seperti otobiografi. Itu terlihat ketika penulis menempatkan Tan sebagai orang pertama yang bercerita. Tan Malaka yang diwakili sosok “aku”, menceritakan perjalanan hidupnya, pergeseran ideologinya, dan sepak terjang perjuangannya. Hendri Teja membawa kita menyelami petualangan Tan, kegembiraannya, harapannya, kesedihannya, dan kecerobohan-kecerobohan masa mudanya.

Sepanjang novel, kita akan banyak disuguhi kutipan-kutipan pemikiran revolusioner Tan Malaka. Penulisnya berhasil menempatkannya dalam dialog yang hidup. Konteks peristiwa yang dibangun Hendri Teja dalam novel ini, setidaknya bisa membantu pembaca dalam mendalami maksud dari Tan Malaka sendiri. Hendri Teja mengemasnya dalam cara yang renyah, tidak seperti tulisan-tulisan Tan Malaka yang biasanya dingin, analitis, dan sangat teoritis.

Tidak lupa juga kisah-kisah romantika diselipkan. Cerita cinta Tan Malaka dengan Fenny, perempuan Belanda itu, menjadi semacam “jeda” di sepanjang novel yang penuh pergolakan politik. Ketegangan sedikit mengendur ketika Tan Malaka berjumpa dengan Enur, perempuan yang sangat mencintainya. Begitu pun kisah rusaknya persahabatanya dengan Hendrik karena cinta segitiga dan balas dendam “politis”nya itu, menambah warna tersendiri novel ini.

Hendri Teja berani memasukkan dirinya dalam tarikan konflik menyoal perspektif tentang Tan Malaka. Seolah tak terpengaruh oleh pusaran polemik tentangnya, Hendri Teja seolah mengatakan, “Inilah pandanganku tentang Tan Malaka.” Sikap ini bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan novel ini.

Keberanian Hendri Teja memainkan perspektif “tunggal” tentang Tan Malaka merupakan keputusan yang harus diambil. Hendri menyadari dibutuhkan ketegasan perspektif dalam pusaran perdebatan polemik ini. Sebagai penulis, dia memang harus menentukan posisi; “memuja” Tan Malaka atau “mencibir”nya. Kacamata “netral”pun akan tetap menjadi persoalan dalam konteks polemik tentang Tan Malaka. Dalam hal ini, konsistensi Hendri Teja harus dipuji.

Tapi dengan begitu Tan Malaka digambarkan menjadi sosok yang sempurna. Dia dikultuskan. Keputusan-keputusan politiknya seolah selalu tepat. Bahkan kesalahan-kesalahannya dibuat menjadi sesuatu yang bisa “dimaklumi”. Penggambaran sosok Tan Malaka menjadi tidak seimbang.

Sebagai pembanding, kita bisa melihat buku “Panta Rhei” yang ditulis Tatiana Lukman, putri sulung M. H. Lukman, Wakil Ketua CCPKI (1920-1965). Dalam buku itu, Tan Malaka digambarkan sebagai sosok pengkhianat PKI, khususnya dalam peristiwa pemberontakan PKI 29. Tatiana mendiskreditkan Tan Malaka sebagai “musuh dalam selimut”. Tan Malaka disebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab pada kehancuran PKI dan secara khusus pada kegagalan pemberontakan PKI 29. Tidak cukup dengan sebutan “seorang komunis gadungan”, Tatiana dengan nada menyindir mengatakan, “Memang seharusnya Tan Malaka diterima oleh rezim Orde Baru.”

Salah satu kelemahan lain dalam sebuah biografi berbalut novel adalah kesulitan kita untuk membedakan antara fakta dan yang bukan. Betulkah tokoh Enur itu ada dalam kehidupan Tan? Betulkah ada peristiwa mistik ketika Tan lahir? Betulkah Tan sudah dinubuatkan akan menjadi seorang pemimpin besar? Gaya penulisan seperti ini membuat jarak antara fiksi dan kenyataan menjadi sesuatu yang sulit dibedakan. Apalagi jika pembacanya tidak dilengkapi pengetahuan yang luas tentang sejarah.

Adanya keterbatasan informasi sejarah membuat penilaian terhadap novel ini kian sulit. Tan Malaka, walau diangkat sebagai pahlawan, tetap saja disebut sebagai pahlawan off the record. Tan Malaka hampir tidak pernah disebutkan dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah. Buku-buku tentang dia tertanam sekian lama di bawah kekuasaan rezim Orde Baru. Informasi tentang dia kabur. Dokumen tentang dia, sekian lama terbatas aksesnya. Bahkan, pernah ada wacana untuk mencabut gelar kepahlawanannya itu di jaman Soeharto.

Pada titik ini, novel memainkan peran pentingnya. Dia mengundang lagi pencarian kita pada sejarah Indonesia, khususnya yang bersinggungan dengan kelompok “kiri”. Novel ini menghidupkan kembali gairah untuk mencari kebenaran sejarah. Novel ini seolah menjadi pemantik untuk menggali lebih dalam tentang keaslian sejarah kita. Dia memanggil kita kembali untuk terjun dalam labirin sejarah yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas. Panggilan ini perlu karena penggalian sejarah adalah proses dari pencarian identitas diri.

Nasehat Bung Karno itu ada betulnya, “Jangan lupa sama sejarah.”[]

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan