aib-atau-martabat

Aib dan Martabat

Manusia adalah mahluk kompleks. Dia mengandung paradoks. Akumulasi paradoks itulah yang membentuk identitasnya. Paradoks itu berkelindan dalam peristiwa dan sejarah yang membentuk kehidupan. Itulah manusia, di dalam diri dan kehidupannya menyatu banyak kontradiksi. Mereka tak bisa diceraikan. Dan memang, itu tak perlu harus dipisahkan.

“Aib dan Martabat” adalah sebuah novel yang ditulis Dag Solstad. Dia disebut-sebut sebagai sastrawan terbesar Norwegia saat ini. Dia banyak mendapat penghargaan sastra di negaranya. Sebagai penulis, Dag Solstad, seorang komunis (atau lebih tepat seorang Maoist) ini bercita-cita sederhana, dia hanya ingin menghasilkan karya bagus. Sesederhana itu.

Novel ini mengambil tema utama tentang manusia dan paradoks-paradoksnya. Sama seperti judulnya, aib dan martabat itulah paradoksnya. Paradoks itu berputar bukan hanya pada tataran individu saja, tapi juga dalam masyarakatnya. Entah disadari atau tidak, masyarakat dan unsur-unsur di dalamnya dibentuk oleh dua entitas ini. Sebuah paradoks antara yang memalukan atau memuliakan.

Elias Rukla, Johan Corneliussen, dan Eva Linde adalah tiga tokoh penting dalam novel ini. Dag Solstad berhasil menggambarkan kompleksnya pergulatan psikologis yang mereka hadapi. Situasi dan kondisi yang dihadirkan lewat tiga tokoh ini seolah ingin menunjukkan betapa manusia memang diperhadapkan pada sesuatu yang terus berubah dan tak mudah ditebak. Dalam situasi yang terus berubah itulah, aib dan martabat memainkan perannya secara arbitrer.

Elias Rukla adalah tokoh utama novel ini. Seorang guru bergelar sarjana filolog. Sekolah Menengah Fagerborg adalah tempat mengajarnya. Dia seorang medioker dengan idealisme mulia. Dia memilih sebagai guru karena berkeinginan mengubah dan mendidik masyarakatnya lewat sastra. Dia berkeyakinan, di dalam sastralah warisan budaya Norwegia diabadikan.

Elias Rukla bukan seorang yang istimewa. Dia tidak berprestasi ketika jadi mahasiswa. Bahkan di usianya yang mendekati separuh baya, Elias Rukla belum  punya pacar apalagi tunangan. Dia tidak pandai bergaul. Dia hanya punya seorang sahabat; Johan Corneliussen.

Berbeda dengan Elias Rukla, Johan Corneliussen adalah mahasiswa jurusan filsafat yang cemerlang. Ketika kuliah, dia dipuja banyak mahasiswa karena kecerdasannya. Bukan hanya cerdas, Johan pribadi yang hangat dan mudah bergaul. Dia suka berpesta. Jadi, tak mengherankan jika dia berhasil memikat hati perempuan cantik yang bernama Eva Linde – perempuan rapuh yang kelak akan ditinggalkannya tanpa sebab yang pasti.

Eva Linde mungkin tokoh yang paling sedikit dibicarakan, tapi yang paling banyak mengundang teka-teki. Kepura-puraan adalah ciri khasnya. Dia perempuan tertutup. Perempuan berparas cantik ini mungkin mewakili betapa rapuhnya perempuan ditengah budaya patriakal. Dia memutuskan menikahi Elias Rukla walau tak pernah mengucapkan kalimat pertanda cinta kepadanya. Tapi tindakannya seolah ingin membuktikan kalau dia mencintai suaminya. Namun, kepura-puraan itulah yang selalu jadi tanya. Apakah dia masih mencintai Johan yang lari meninggalkannya? Entahlah.

Elias Rukla adalah tokoh yang paling kental dengan nuansa paradoksnya. Seorang guru dengan wawasan dan bahan bacaan yang luas, namun tidak cakap memikat hati siswanya untuk kasmaran belajar sastra. Dia tak mampu menghalau rasa frustasi siswanya untuk belajar sastra. Namun, dia bertahan untuk terus mengajar. Kelak, dia pun jadi frustasi. Apakah ini aib atau martabat?

Dia mengagumi kecantikan Eva Linde pada pandangan pertama. Tapi dia tetap menjaga jarak karena tahu perempuan itu adalah kekasih sahabatnya. Baru kemudian Johan menikahinya dengan satu putri cantik bernama, Camilia. Tanpa alasan yang jelas, dia kemudian pergi meninggalkan mereka. Elias Rukla akhirnya jadi suami terakhir Eva Linde tanpa benar-benar tahu apakah istrinya itu mencintai dia atau tidak. Apakah ini aib atau martabat?

Dag Solstad juga menggambarkan betapa paradoksnya masyarakat. Guru sebagai pendidik malah disibukkan dengan pembicaraan tentang besarnya cicilan, bunga bank, kredit, dsb. Guru sebagai pendidik dituduh Elias Rukla tak lebih hanya sebagai budak hutang.

Media pun sama. Elias menuduh media tak pernah lagi peduli dengan cita-cita masyarakat yang dianut Elias. Di hadapan media, kematian artis lebih penting daripada kematian seorang penulis. Jika artis meninggal, tampaknya seluruh dunia ikut berduka cita. Tapi, jika seorang sastrawan atau penulis yang meninggal, tampaknya tak ada satu orang pun yang peduli.

Bagaimana Elias Rukla akhirnya berhadapan dengan semua ini? Ya, novel ini akan menunjukkan kepada kita bagaimana aib dan martabat akan berkelindan satu sama lain. Mereka akan merajut sesuatu yang disebut: kehidupan.

Novel ini punya beberapa kelemahan. Kelemahan yang paling mencolok adalah membaca novel ini sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan teknik pembagian paragraf yang tidak terlalu baik. Berhalaman-halaman novel ini nyaris tanpa paragraf. Ini menyulitkan pembaca dalam mengikuti alur cerita.

Kemudian, bagian awal novel sangat membosan. Alurnya lambat. Apalagi, bagi orang seperti saya, yang belum pernah membaca “Ibsen” akan dibuat bingung. Kenapa? Hampir separuh bagian pembuka novel ini akan banyak berbicara tentang dr. Relling, salah satu tokoh dalam karya “Ibsen”. Kita dituntut untuk bersabar sampai masuk pada babak pertengahan novel. Barulah setalah itu kita akan mampu melihat benang merahnya.

Novel ini cerdas dalam memberi kritik pada kehidupan manusia. Analisis kelas, khas pemikir Marxis, bermain cantik dalam kritik-kritik Dag Solstad pada masyarakat. Kritik yang dibalutnya dalam kisah romansa, kegetiran eksistensial, dan pergulatan psikologis tiap tokohnya berhasil memberi kesan-kesan yang kuat. Kesan-kesan itu akan membekas, teringat, dan akhirnya berubah jadi sebuah bahan refleksi kehidupan.

Seperti cita-cita sederhana Dag Solstad, ini memang karya yang bagus. Walau dia harus menuntut kesabaran ekstra untuk membacanya. Kesabaran akan selalu membuahkan hasil yang membahagiakan. Percayakah Anda? 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan