Pada sepotong senja kita bersua. Dalam sekejap, aku menyukaimu. Kaupun demikian. Selanjutnya, kita mulai merajut kisah asmara. Kita berdua jadian. Setiap hari aku dan kau selalu menyempatkan sedikit waktu tuk mengabadikan moment kebersamaan kita pada sepotong senja. Berdua, kita menjadi saksi bagi senja yang pamit pada bumi. Hingga, pada suatu senja, kau memilih pergi dan berpaling dariku.
Pada sepotong senja, cinta kita dikisahkan. Berdua, kita sepakat. Aku menyukaimu dan kamu menyukaiku. Dan pada sepotong senja pula, semuanya itu harus usai. Namun, kaulah yang mengakhirinya. Kau tahu, itu tidak adil bagiku. Sebab, aku tetap mencintaimu. Bagaimana mungkin kau setega itu?
Saat itu, senja tak terlalu tua amat tuk mendengar kalimat perpisahan darimu.
“ Bob, maafkan aku. Aku mau, hubungan kita sampai di sini saja”, ucapmu terbata-bata.
“Lho, kok tiba-tiba kamu ngomong gitu!! Ada apa Cindy? Tolong jelaskan padaku, apa alasannya!”, pintaku dengan sedikit nada tinggi.
Kau diam dan tak memberikanku alasan. Air yang mengalir dari matamu seolah-olah menjadi jawaban atas semua pertanyaanku. Lalu, kau pergi dan tinggalkanku dengan berjuta tanya dalam benak. Waktu seakan mati seketika. Sesak dadaku. Aku runtuh dalam diam.
**
Segera setelah kau mengusaikan hubungan kita, menyendiri ialah kesukaanku. Sejenak menepi dari hiruk-pikuknya dunia dan mencoba melupakan kau yang telah membiarkanku dengan tanda tanya di kepala. Sehari setelah peristiwa itu baru kau jelaskan kepadaku melalui surat yang kau kirim tentang sebab dari perpisahan ini. Bahwa, orangtuamu tak pernah menyetujui hubungan kita hanya karena aku seorang pria miskin dan malang. Itu wajar. Kita berdua lahir dalam dunia yang berbeda. Kau berasal dari keluarga konglomerat, sementara aku dari kolong jembatan. Sangat kontras, bukan? Pantaslah, kalau orangtuamu menghendaki agar kau menikah dengan seorang pria yang kaya, yang dapat memenuhi semua kebutuhanmu. Dan aku pun sangat yakin bahwa sejak awal kau juga sesungguhnya tak pernah menerima aku apa adanya. Hal itu tersirat dalam cara matamu memandang aku ketika kau sempat bertamu di pondokku. Aku kecewa denganmu.
Sebulan setelah perpisahan itu, kudengar kau sudah menikah dengan pria pilihan orangtuamu. Kucari tahu, ternyata kau dijodohkan dengan anak dari sahabat ayahmu dan nyatanya kau tidak bahagia. Aku turut bahagia atas ketidakbahagiaanmu. Untuk merayakan hal itu, aku mencari tempat yang lebih tinggi agar dapat menikmati sepotong senja yang lebih indah dari yang pernah aku dan kau nikmati. Sepotong senja yang dapat memberikanku seseorang yang lebih baik darimu.
Belum ada tanggapan.