Anak-anak memang selalu menarik dan mengejutkan. Di sela-sela Ujian Akhir Semester di Madrasahku, MIM PK, aku membawa buku Driyarkara Si Jenthu karangan Frieda Treurini (1/12/2016). Anak-anak, muridku berkomentar lepas : “ Loh, Ustadz kok bawa buku ada salibnya, ini siapa Ust?, agamanya Apa?”.
Maka aku pun menjawab dengan santai sembari tertawa melihat polah mereka yang penasaran, maklum masih anak SD. “ Ini buku tentang Driyarkara, loh emang kenapa kalau Ustadz baca bukunya orang katolik, baca injil pun boleh, kalau soal praktek dan keyakinan itu sudah berbeda lagi”. Di waktu istirahat, saya pun kemudian disambar oleh anak kelas empat yang menengok dari jendela kelas dan melihat buku Si Jenthu, anak ini, Fauza akhirnya bercerita tentang kakeknya yang beragama katolik. Nah, akhirnya si anak ini pun nyerocos menceritakan indahnya pluralisme di dalam keluarganya.
Kembali pada buku SI Jenthu, aku memiliki niat mempunyai buku ini sudah tiga tahun yang lalu, sejak buku ini terbit tahun 2013. Kini, tahun 2016. Akhirnya aku memiliki buku ini. Buku ini didapat pun dari informasi di media sosial, bahwa di bentara budaya Yogyakarta ada bazar buku. Akupun kesana, bersama temanku. Singkat cerita, buku ini pun menemaniku dua hari.
Membaca Si Jenthu mengingatkanku pada temanku SD. Yudha namanya, ia sudah semenjak kecil menanamkan dirinya untuk menjadi pelayan Tuhan (Pastor). Dan akhirnya, setelah lulus SMP, ia pun meneruskan ke sekolah Seminari. Terakhir kudengar kabar kalau dia di STF Driyarkara. Membaca buku Driyarkara kita jadi ingat bagaimana agama Katolik tak main-main dalam mendidik dan membina para mubaligh misionaris.
Seorang misionaris dituntut untuk tak hanya mengetahui dan mengerti banyak pengetahuan, tapi juga dibekali pengalaman praktis keseharian yang selalu menghubungkan dirinya dengan masyarakat, menjadi pelayannya, menjadi Rasul, dan pelayan Tuhan. Rasanya tidak mudah bagi si Jenthu untuk melampaui itu semua. Tapi karena kesungguhannya itulah, ia akhirnya mampu menyeimbangkan peranannya sebagai intelektual, pendidik sekaligus sebagai pelayan umat.
Driyarkara lahir di tanggal 13 juni 1913, dan wafat 11-2-1967. Ia lahir di desa Kedunggubah, Purworejo, Jawa Tengah. Hidupnya dihabiskan untuk mengurusi dan mengabdi pada lingkungan Gereja. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Si Jenthu dikenal sebagai pemikir yang menekuni bidang filsafat.
Ia tak hanya mengajar di Universitas Indonesia, tetapi juga di UGM, dan di Sanata Darma Yogyakarta. Menurut salah satu pengakuan muridnya, Soe Hok Djin atau Arif Budiman, Driyarkara dalam kuliah-kuliahnya tidak memberikan hal-hal yang bersifat propagandistis. Segala-galanya diuraikan secara objektif, jujur, tanpa pretensi apa-apa (h.xxx).
Selain itu, Driyarkara juga dikenal sebagai orang jawa yang berusaha keras menjadi guru agama Katolik dalam bahasa ibu mereka, mempraktikkan pendidikan yang baru didapat, kebanyakan dalam bahasa Latin dan Belanda! Sedangkan frater dari Belanda masih bersusah payah berucap Jawa, meskipun mungkin ilmu agamanya lebih mantap. Perjuangan yang tidak mudah namun indah bagi pribumi maupun sinyo Belanda (h.48). Tahun 1952, setelah kembali ke Yogyakarta dari Belanda, ia mengajar filsafat ketuhanan di Kolese St. Ignatius. Ia juga menjadi penulis lepas dan menjadi pemimpin redaksi Majalah Basis.
Kemampuan Driyarkara tak hanya didukung oleh pengalaman rohaninya, ia juga memiliki kemampuan menulis dalam empat bahasa yakni jawa, latin, inggris, belanda. Sehingga sampai sekarang sumber penulisan biografi Driyarkara (Diarium) masih belum bisa dinikmati secara utuh akibat dari kebiasaannya menuliskan Diarium dalam empat bahasa itu.
Driyarkara tak hanya menghabiskan hidupnya pada bidang kerohanian semata. Ia juga menghabiskan hidupnya dalam dunia pendidikan dengan mengajar di sekolah agama dan juga universitas-universitas. Terutama dalam bidang filsafat. Hidup Driyarkara sudah diberikan untuk Gereja dan Umat tentunya. Kita mewarisi pemikiran Driyarkara melalui buku-bukunya yang bertema filsafat.
Dalam bidang masyarakat, ia menjadi anggota MPRS di tahun 1960. Dan tahun 1966 ia juga diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Namun di bulan Mei 1966 pula ia mengundurkan diri karena dinilai lembaga ini tak berfungsi sama sekali.
Filsafat Driyarkara sering dinilai memindahkan pemikiran barat ke Indonesia. Tetapi dari buku diariumnya, dan tulisan-tulisannya yang lain, serta pengalaman dan penilaian murid-muridnya, Driyarkara dinilai mengajarkan filsafat yang disajikan dalam alam pikiran Indonesia seperti yang dituturkan oleh A. Sudiarja dalam pengantarnya di buku ini.
Driyarkara semasa hidupnya telah melibatkan dirinya dalam dunia intelektual dan dunia kerohanian. Karyanya dihimpun di buku Karya Lengkap Driyarkara oleh Gramedia tahun 2006. Dan meninggalkan diarium yang sampai sekarng belum utuh diterjemahkan.
Hidupnya seperti yang pernah dituliskan dalam diarinya : Aku senang dengan hidup, aku mengagumi. Setiap kehidupan adalah gerak ke arah Tuhan (1941). Tak heran di tanggal 11 Februari 1967, di akhir hayatnya ia seperti sudah mengetahui kematiannya.
Driyarkara memang bukan pendiri STF Driyarkara, tetapi jalan hidup dan laku hidupnya dalam berfilsafat membuat namanya dikenang dan diabadikan menjadi sekolah filsafat katolik yang bersifat umum. Dari STF Driyarkata itulah, kita melahirkan orang-orang yang memiliki etos sebagaimana Driyarkara.
*)Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo.
Belum ada tanggapan.