puntung-rokok

Jangan Lempar Puntung Rokok!

Lelaki tua dengan usia setengah baya itu nampak asyik menyeruput secangkir kopi di pagi hari. Walau dalam posisi jongkok dia nampak menikmati suguhan pisang goreng yang masih hangat. Di kiri kanan berjejer motor dengan variasi umur dan merk. Sesekali dia menghisap sebatang rokok dengan asap yang ditiupkan berbentuk bulatan, bagaikan anak kecil yang sedang meniup gelembung udara.

Dalam benaknya masih terbayang, awal keberangkatan dari rumah; ketika hendak mencari napkah. Pertengkaran yang menyesakan dada harus terjadi. Memang sepele, hanya karena lupa menyimpan puntung rokok, dia harus adu mulut dengan istrinya.

“Man, tuh giliranmu narik!”

“Ah, kasihkan aja sama si Sarkum, aku lagi mumet gak konsen!”, jawab Herman kepada Toto sembari melemparkan puntung rokok ke sudut kiri tanpa dilirik sama sekali.

Toto tak menggubris omongan Herman, karena sebagai teman akrab tentu dia sudah mengenal tabiat Herman yang tak bisa diganggu ketika pikirannya dibelenggu masalah.

Hiruk pikuk keramaian Pasar Cikadut di minggu pagi itu, tak sedikit pun mampu membujuk antusias Herman dalam mengais rezeki. Padahal, semua temannya sudah tahu bahwa Herman adalah sosok suami sekaligus ayah yang bertanggung jawab kepada keluarga. Biasanya saking semangat mengantarkan pelanggan Herman terkadang lupa menyambar jatah antrian ojeg yang lain. Dari kebiasaan tersebut dia mendapat julukan “Herman Baji”. Sebuah julukan yang tak pernah dia harapkan. Tapi itulah kehidupan di jalanan.

Sinar mentari pagi mulai merangkak; mencubit kulit kepala para pejuang napkah di Pasar Cikadut. Sebagian pedagang yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, mulai berkemas membereskan semua barang dagangannya. Memang semenjak dilakukan lokalisasi pedagang ke sebuah gedung sederhana, jatah para pedagang emper hanya sampai jam sepuluh pagi. Laku tidak laku, mereka harus pulang.

Amin, sebagai koordinator ojeg pangkalan Pasar Cikadut; sekaligus lawan bebuyutan Herman dalam bermain catur tampak menanyai temannya satu persatu.

“To, dimana Sibaji? Hari ini aku belum melihat batang hidungnya.”

“Tadi mah di sini Bos, aku sempat menyapanya selagi ngopi”, jawab Toto kepada seniornya.

Amin duduk dengan kaki selonjoran sambil menyuruh juniornya memijit punggung dengan bahasa isyarat. Sebagai koordinator ojeg, Amin bagaikan seorang bos besar yang selalu ngatur anak buahnya dengan satu ucapan dan acungan telunjuk. Tato naga di punggung kerap dijadikan dongeng kepada juniornya sebagai pelipur lara di kala muatan sepi.

“Mungkin sedang nguber Si Popon Bos”, sahut Didin sambil mengurut bosnya dari kening hingga ke leher.

“Hush! Sembarangan lho Din. Jangan asal nguap kalau ngomong. Tanpa bukti yang pasti, itu namanya hoax.”

“Hoax itu apa bos? Mirip nama oplosan.”, dengan serius Toto bertanya kepada bosnya.

“Hey Sarto! Kita udah gak jaman ngomong oplosan. Nih ya, daripada dibelikan barang gituan, lebih baik dipakai beli perlengkapan sekolah anakmu!” Amin membentak Toto namun terasa bentakan yang mengandung makna sayang.

Di tengah obrolan ringan berlangsung, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari jarak jauh yang kian terdengar keras.

“Tangkaaaap! Tangkaaaap !”

Dari kejauhan, samar-samar tampak segerombolan orang berlari mengerjar Herman, dengan berbagai senjata tajam yang siap menghantamnya.

Herman langsung berlari ke belakang badan Amin. Seakan memohon perlindungan dari seniornya. Dengan napas ngos-ngosan; wajah yang benjol; dan darah mengucur dari hidungnya.

“Bos, tolong bos toloooong! Kalau tidak ditolong akan tewaaaas!”, dengan perkataan nyerocos Herman memelas kepada bosnya bagaikan anak kecil yang minta dibelikan jajanan.

“Hey pembunuh, sini kau! Hutang garam dibayar garam, hutang nyawa dibayar nyawa !”, teriak seorang lelaki tinggi besar dengan terus mengacungkan goloknya.

“Bakar saja Kang, bakaaar!”, teriak seorang lelaki dari kerumunan para pengejar Herman.

Melihat suasana kian memanas, Amin mencoba menghadang gerombolan tersebut dengan tutur kata yang sopan dan lembut. Sebagai mantan preman, dia tahu betul cara menghadapi orang yang sedang dibakar napsu.

“Maaf Kang, ini ada apa sebenarnya? Kalau teman saya ada salah, kita bisa bicara baik-baik. Atau kalau perlu, kita bisa bicara di kantor polisi.”, dengan dua telapak tangan disatukan seraya meminta maaf, Amin mencoba menenangkan amukan massa yang kian menggelora.

Dalam benak Amiin, dia berpikir cepat. Sehebat apa pun ilmu kanuragan, kalau diadu dengan jumlah lawan yang banyak kemungkinan menang sangatlah tipis. Belum lagi dia memikirkan nasib para juniornya yang kalah jumlah.

Toto, Didin, dan dua lagi temannya sudah bersiap memasang badan menghadapi kemungkinan terburuk pertumpahan darah dan melayangnya nyawa.

Lelaki tinggi besar itu sontak menghantamkan golok tepat mengarah ke leher Amin. Dengan gesit, Amin menghindarkan badan dan mengunci tangannya sambil dipelintir.

“Aduuuuuuuuh!” teriakan keras dibarengi suara tulang remuk memecah kerumunan menjadi ajang perang yang tak seimbang.

Melihat kondisi yang tak terkendali, Amin mengambil golok lawan yang terjatuh dan berteriak menggunakan ajian “auman singa” yang pernah dipelajari dari gurunya di tanah Banten.

“Diaaaaaam!!!!”, suara yang terdengar begitu keras dan besar membuat semua orang menutup telinga bagaikan mendengar ledakan meriam.

“Dengar semuanya! aku bisa membinasakan kalian satu persatu. Jika itu yang kalian mau!”, Amin berteriak sambil memotongkan golok yang dipegangnya bagaikan batang singkong yang begitu rapuh.

Tampak wajah takut, mulai menjalar menyurutkan amarah sejumlah lawan, yang tadi terbakar.

“Aku tahu, dari kemarahan kalian. Tampaknya temanku ini sudah membuat kesalahan yang sangat besar!” Amin mencoba menenangkan massa dengan suara tegas dan sorot mata tajam membidik wajah lawan di sekelilingnya.

“Pilih satu atau dua?”, tegas Amin

“Pertarungan dilanjutkan atau kedua belah golok potong ini akan menyayat leher kalian!”

Si lelaki tinggi besar yang goloknya dipotongkan Amin, mulai mendekat dengan suara gemetaran memaksakan bicara, “Ke kantor polisi bos!”

Setelah bisa ditenangkan, gerombolan massa dibawah pimpinan Amin berbondong-bondong menuju kantor polisi yang berjarak lima ratus meter dari pangkalan ojeg.

Herman berjalan dengan perasaan yang tak menentu. Bayangan jeruji besi yang tak dikehendaki mulai kembali menyesakan napasnya. Gara-gara sepuntung rokok yang terbiasa dilempar sembarangan, nasibnya berujung sial. Dia digandeng oleh Amin dengan tangan melingkar di pundak bagaikan kakak kepada adiknya.

Setiba di kantor polisi, setelah keluarga korban mengadukan kronologis kejadian, berita acara perkara mulai digelar. Beberapa orang dipanggil bergiliran, tak terkecuali Amin yang harus siap menjadi saksi tambahan atas kasus ini

Sidang pengadilan diagendakan keesokan hari jam satu siang. Herman pulang membawa kesedihan yang tak pernah ia bayangkan. Sepuntung rokok yang ia lempar, mendarat di sebuah tabung gas seberat 12 kilogram yang bocor, milik tukang bakso di pinggir jalan. Hingga akhirnya merenggut nyawa setelah ledakan besar luar biasa.

Atas kecerobohannya itu, Herman diganjar dengan pasal 359 KUHP, sehingga harus mendekam di penjara selama lima tahun.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan