Agama adalah candu! Ungkapan ini momok di Indonesia. Sebuah aforisme yang membuat komunisme jadi sebuah paham terlarang. Dia dicap sebagai pandangan ateisme. Apalagi, propaganda Orde Baru tentang PKI yang kejam membuat masyarakat kian membencinya.
Namun, pernahkah terbersit tanya di benak kita. “Betulkah, selamanya, agama adalah candu pembius kesadaran? Benarkah komunisme itu paham ateis? Selalu bermusuhan kah keyakinan iman dengan marxisme?” Jika “teka-teki” ini pernah mampir di benak Anda, maka buku ini layak untuk ditimbang.
Michael Lowy adalah penulis buku ini. Filsuf kelahiran 6 Mei 1938 di Sao Paolo (Brazil) juga sosiolog berhaluan marxis. Beliau mantan peneliti CNRS (Centre national de la recherche scientifique), Prancis. Selain itu, dia juga pernah mengajar di École des hautes études en sciences sociales (EHESS; Paris, Prancis) dan University of São José do Rio Preto (State of São Paulo).
Dia adalah peneliti kelas wahid. Itu terlihat dari penghargaan yang berhasil diraihnya. Beliau memperoleh penghargaan medali perak dari CNRS. Medali perak dipersembahkan bagi peneliti baru yang orisinalitas, kualitas, dan signifikansi karyanya diakui secara nasional dan internasional.
Dari hasil penelusuran Wikipedia, tampaknya ia sudah menghasilkan banyak karya. Buku yang diterbitkannya memang berpusar pada topik pemikiran marxisme.
Tujuan dari buku ini jelas terlihat. Penulisnya ingin menunjukkan bagaimana relasi antar marxisme dan agama. Dia ingin menyediakan opsi lain dari pemahaman yang selama ini berkembang. Kita tahu bahwa agama selalu dipandang bersengketa dengan marxisme. Seolah keduanya tidak pernah menemukan titik temu pijakan bersama.
Dengan alasan itulah, buku ini menjadi penting untuk dicermati. Phobia komunisme sebagai anti agama tumbuh subur sejak rezim Soeharto berkuasa sampai sekarang. Buah karya Lowy bisa jadi rujukan dalam membuka wacana baru mengenai perkara ini.
Sampul buku ini langsung menghantar kita pada corak pemikiran progresif. Hal ini dikarenakan nuansa warna merah yang langsung tertangkap mata. Sudah jadi pengetahuan umum, merah adalah patron yang mewakili kaum “kiri”.
Desain sampulnya memang multi tafsir. Dia bisa dielaborasi dalam banyak pemaknaan. Bagi saya pribadi, burung yang bertengger pada salib bisa dipahami sebagai simbol perdamaian. Agama bisa menerima kehadiran apa dan siapa saja. Itu sebabnya seekor burung pun “betah” bertengger di atasnya. Bungkusnya seolah ingin mengatakan bahwa religi tak selalu jadi hantu bagi kelompok “kiri” progresif.
Penilaian saya, komposisi warna sampul buku ini tidaklah terlalu menarik. Warna yang diajak bermain tidaklah ramai. Kesannya malah sangat sederhana.
Buku ini mini: tipis dan kecil. Ini memudahkan pembaca dalam menyelesaikannya. Hanya sekali duduk, kita akan sampai pada penghujung buku. Mengikuti ukuran buku, huruf dalam buku ini pun kecil. Namun, kita masih nyaman untuk membacanya. Tata letak tulisan yang rata kiri memberi kelemahan sekaligus kelebihan. Sisi baiknya, tata letak demikian menyediakan ruang di sisi halaman untuk menambahkan catatan. Sementara negatifnya, buku terlihat tidak rapi. Itulah penilaian sekilas tentang kondisi fisik buku.
Walau menonjolkan teologi pembebasan, tema utama yang diangkat sebenarnya tentang marxisme. Penulis mencoba mengurai bagaimana analisis progresif berpengaruh pada praxis agama. Analisisnya ingin menunjukkan apakah, menurut marxisme, agama selamanya adalah candu.
Metode penelitian yang digunakan adalah kepustakaan (library research). Sepanjang pengamatan saya, Lowy menggunakan sumber primer dalam risetnya. Itu terlihat dari kutipan yang dipakainya. Dia mencuplik langsung pemikiran tokoh-tokoh marxisme dan dokumen resmi lainnya. Ia menelaah setiap petikan dengan rinci demi menjelaskan maksudnya.
Terlihat usaha serius Lowy dalam mengatasi kesalahpahaman marxisme tradisional terhadap agama. Demikian juga sebaliknya. Dengan telaten, dia mengurai konflik pemikiran dan praxis yang berpilin lipat disekitarnya. Misalnya, pandangan Gereja yang menyatakan komunisme sebagai paham terlarang karena anti tuhan. Atau para pemikir “kiri” yang memandang negatif agama sebagai proses pengasingan (alienasi) manusia. Alat penyubur penindasan.
Tesis utama buku ini adalah agama berwatak ganda. Dia bisa berperan dalam mengabsahkan tatanan yang mapan. Tetapi, bisa juga untuk menentang kemapanan secara kritis dan bahkan revolusioner (hlm. 5). Ambivalensi inilah yang terus mengawal histori eksistensinya. Lewat kajian sejarah, kita diajak melihat bahwa tak selamanya agama adalah candu rakyat.
Dari rekam jejaknya, penulis cukup kredibel membicarakan persoalan ini. Kesetiaannya pada metode penelitian pun mengentalkan semangat ilmiahnya. Poin ini penting ditengah liarnya tafsir atas pemikiran Karl Marx.
Phobia komunisme marak seiring kebangkitan fundamentalisme religius di Indonesia. Propaganda bahwa marxisme adalah ateis disebar membabi buta. Sementara di sisi lain, pemikiran progresif sedang menjamur di Indonesia. Ini terlihat dari bermunculannya berbagai media bertema “kiri”, maraknya diskusi, dan penerbitan buku-buku. Ditambah, rendahnya minat agama terhadap isu sosial di Indonesia membuat buku ini relevan untuk dibaca.
Solusi yang ditawarkan buku ini menjawab permasalahan yang diangkat. Terjemahannya cukup bagus. Pemilihan katanya sederhana sehingga memudahkan pembaca. Walau begitu, struktur kalimat yang agak panjang-panjang dan gaya bahasa akademik menjadi kendala tersendiri bagi pembaca awam.
Keberanian penulis adalah satu aspek yang patut dipuji. Lowy bernyali melakukan oto kritik terhadap marxisme tradisional. Mereka yang selama ini dikenal anti terhadap agama. Dia menantang kelompok kiri untuk berani merevisi pandangannya terhadap agama. “Akhirnya, teologi pembebasan telah memaksa kaum Marxist agar menguji kembali pemikiran tradisional mereka mengenai agama (hlm. 126).” Begitu tulis Lowy.
Lewat buku ini, kita ditarik pada sebuah pemahaman, yang bagi saya, baru. Revolusi tak melulu tentang analisis kondisi objektif dalam terang analisis materialisme. Agama ternyata mengaktifkan sisi subjektif yang berperan dalam membangun revolusi. “Kita harus mempertimbangkan pula peran dorongan-dorongan moral dan “kerohanian”… (hlm. 124)” jika ingin mewujudkan revolusi sosial.
Ketika melihat judul besarnya, awalnya saya menduga akan muncul rekonstruksi teologis tentang revolusi. Walau ada, tapi tidak begitu mendalam. Sepanjang buku dominan menggambarkan dinamika hubungan antara agama dan marxisme. Runtutan peristiwa direkam padu untuk memetakan relasi antara keduanya.
Salah satu kelemahan mencolok buku ini adalah dia hanya menyoroti fenomena Amerika Latin. Selain itu hanya berfokus pada kekristenan. Padahal, kajian Aloysious Pieris, “An Asian Theology of Liberation” (1988) menunjukkan khasanah lain. Selain kekristenan, ada banyak agama yang berpartisipasi untuk menegakkan keadilan. Ditambah buku Michael Amalados, “Teologi Pembebasan Asia” (2001) memperlihatkan bahwa banyak keyakinan di Asia kental dengan corak pembebasan. Ini yang lepas dari pengamatan Lowy.
Saya merasa penilaian ini belumlah sempurna. Ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya terhadap sejarah dan tulisan para pegiat teologi pembebasan. Apalagi kenyataannya kalau saya pun belum bergiat aktif dalam praxis pembebasan. Tentu saja, penilaian ini akhirnya jauh dari sempurna.
Karena keterbatasan itulah, saya pribadi belum bisa memberi masukan berharga untuk buku ini. Saya malah mengapresiasinya. Dia mampu memperlengkapi pemahaman saya terhadap marxisme dan teologi pembebasan. Dua isu yang memang menarik minat dan perhatian saya.
Akhir kata, buku ini memang layak untuk digumuli, apalagi dalam konteks Indonesia kini. Tiap lembarnya akan membuka pandangan baru tentang agama dan kaitannya dengan marxisme.
Belum ada tanggapan.