Bidadari Tak Dihargai

Malam sunyi ini membekukan hatiku, membawaku pada bayangan menyesakkan jiwa. Di depanku, terbujur bidadariku yang selama ini kusia-siakan. Kejadian hari ini terbayang dan mengguncang sanubariku. Entah apa yang sebenarnya kurasakan. Bahagia, sedih, dan sesal yang menggelayut dalam palung hati.

Pagi tadi aku mulai rutinitas seperti biasa, sarapan lalu pergi bekerja. Sejak tiga tahun yang lalu, aku menjadi orang yang gila kerja. Aku selalu mengejar jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Aku berpikir, mungkin dengan rutinitas dan kesibukan kerja itu aku bisa melupakan lara dari seorang wanita yang mengkhianatiku dan hanya memanfaatkan hartaku. Hingga pada akhirnya aku dijodohkan dengan seorang gadis desa yang lugu. Gadis lugu itu adalah putri dari teman ibuku. Aku menyetujui perjodohan itu sebab aku tak ingin mengecewakan orang tua tunggalku yaitu ibu. Gadis lugu itu bernama Rania.

Aku akui dia gadis yang cantik dan baik. Namun selama pernikahanku yang sudah 1 tahun lebih berjalan, aku belum benar-benar mencintainya. Entah mengapa sejak pengkhianatan yang menimpaku dulu, aku berpikir bahwa semua wanita itu sama saja. Terlebih Rania yang merupakan gadis desa biasa dengan pendidikan pas-pasan. Sejak awal pernikahan, aku berpikir Rania beruntung bisa memiliki suami yang tampan dan mapan sepertiku. Aku memang memenuhi kewajibanku sebagai suami terhadapnya. Namun aku akui aku sering menganggapnya remeh. Namun semua pemikiranku itu kini berubah karena kejadian hari ini.

Semua berawal ketika tadi pagi aku terburu-buru berangkat ke kantor. Dan ketika sampai di kantor aku baru sadar bahwa dokumen penting yang akhir-akhir ini kupersiapkan dan selalu kupelajari itu tertinggal di rumah. Dokumen itu adalah dokumen yang akan kugunakan untuk presentasi pada klienku. Aku pun menelepon Rania.

“Halo, Rania!”

“Halo. Assalamu’alaikum, Mas!”

“Rania kamu lihat dokumen penting dengan map biru di atas meja kerjaku?” tanyaku tanpa menjawab salamnya.

“Iya, Mas. Aku tahu. Mas lupa membawanya kan? Ini aku sudah di jalan menuju kantor. Sebentar lagi aku akan sampai dengan dokumen itu Mas.”

“Baguslah. Cepat Rania! 30 menit lagi rapatnya akan dimulai. Ini proyek besar dan sangat penting untukku.”

“Baik mas. Aku akan berusaha untuk segera sampai di kantor Mas. Tunggu aku ya, Mas!”

Tanpa menjawab, aku langsung menutup teleponku. Aku langsung menuju lobby kantor untuk menunggu Rania. Sudah 20 menit lebih aku menunggu Rania. Aku benar-benar cemas, bisakah aku melakukan rapat tanpa dokumen itu. Namun tak berapa lama, aku melihat perempuan dengan perut besar berlari menghampiriku.

“Rania, mana dokumennya?”

“Maaf, Mas. 100 meter dari sini ada kecelakaan, jadi jalannya macet dan aku harus berlari menuju kemari,” ucap Rania dengan memberikan dokumennya padaku.

Melihat keadaannya yang terlihat begitu lelah dan penuh peluh, aku reflek menyeka peluhnya. Kini perhatianku bukan lagi tertuju pada rapat, namun terpusat pada wajahnya yang pucat. Dan aku sadari aku khawatir dengannya, apalagi dirinya sedang mengandung 9 bulan.

“Sudah Mas, aku tidak apa-apa. Mas Arman bergegaslah ke ruang rapat, nanti terlambat. Lakukan yang terbaik Mas!”

“Rania, terima kasih. Rapatnya sekitar 1 jam, tolong kamu tunggu aku di kantin kantor! Setelah rapat aku akan menemuimu di sana.”

“Baik, Mas.”

Aku pun bergegas ke ruang rapat. Rapat berjalan dengan lancar dan memuaskan. Bahkan aku mendapat pujian dari atasanku. Setelah itu, aku segera menuju kantin kantor. Kucari wanita berkerudung coklat. Kulihat dia sedang menyandarkan kepalanya di atas meja.

“Rania!”

“Rania!” panggilku untuk yang kedua kalinya membuat dirinya mendongak lemas.

“Mas Arman! Bagaimana Mas? Lancar?” tanyanya dengan tersenyum

“Alhamdulillah lancar. Ini semua berkatmu Rania. Tapi kamu tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali?”

“Tidak apa-apa Mas, hanya sedikit lelah. Saat menuju ke sini tadi aku merasa perutku sakit. Tapi ini sudah baikan kok Mas.”

“Sakit? Kita ke dokter ya?”

“Tidak perlu Mas. Aku hanya ingin beristirahat sebentar saja.”

Entah mengapa, lagi-lagi tanganku reflek mengusap perutnya, berharap bisa meredakan sakitnya. Namun tak berapa lama, aku terkejut karena Rania mencengkeram bahuku begitu kuat dengan meringis kesakitan.

“Mas Arman perutku sakit sekali Mas.”

Tanpa berpikir panjang aku langsung menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit. Di rumah sakit, Rania langsung diperiksa dan dokter menyatakan bahwa Rania akan segera melahirkan. Aku pun menunggu di depan ruang bersalin dengan rasa cemas. Ibu dan sanak keluarga yang lainnya pun mulai berdatangan. Lalu ketika dokter menghampiriku, kabar gembira dan sedih yang kudapatkan. Kabar gembiranya  ternyata Rania melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan. Namun karena pendarahan yang dialaminya ditambah riwayat Rania yang memiliki anemia, sampai saat ini Rania belum sadarkan diri. Bahkan sekarang dokter membutuhkan donor darah sesegera mungkin. Aku pun hanya terdiam dan tertegun. Aku tak tahu apa yang sedang kurasakan. Bahagia dan sedih kurasakan menjadi satu.

Bayangan peristiwa hari ini menyadarkanku betapa beruntungnya diriku memiliki istri seperti Rania. Dari awal pernikahan, aku rasa dirinya sudah tahu bahwa aku tidak mencintainya. Namun ia tak pernah menunjukkan wajah masamnya kepadaku, ia selalu berbakti dan mengabdi sebagai istri bagiku. Aku sadari aku terlalu mengacuhkannya. Saat aku tahu dia hamil pun, aku jarang memberikan perhatianku padanya. Bahkan sekalipun aku tak pernah menemaninya memeriksakan kandungannya. Diriku menjadi orang yang lebih jahat lagi ketika tidak memikirkan kondisinya saat hamil. Sering ia menungguku pulang, berharap bisa makan bersama. Namun ketika aku tiba di rumah, aku tak mencicipi masakannya, bertanya ia sudah makan pun tidak kulakukan. Apalagi hari ini, karena kecerobohanku ia menjadi seperti ini.

Kupandangi wajah teduhnya, kuusap pipinya, dan tanpa kusadari air mata telah menggenang di pelupuk mataku.

“Rania. Maafkan aku! Aku tak pernah menganggapmu berharga, aku selalu meremehkanmu. Padahal kau telah mencurahkan cinta tulusmu. Sungguh apa yang kuberikan padamu selama ini tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perhatian, ketulusan, dan pengabdianmu sebagai istri. Rania, bangunlah! Aku ingin membahagiakanmu! Aku baru menyadari bahwa aku benar-benar mencintaimu Rania,” ucapku dengan air mata tak terbendung lagi. Kugenggam tangannya dan kukecup keningnya.

“Rania buah hati kita kembar, laki-laki dan perempuan. Mereka sangat lucu dan menggemaskan. Bangunlah, Rania! Mereka membutuhkan malaikat sepertimu.”

Tangisku pun semakin menjadi. Batinku terguncang dipenuhi kecemasan. Sudah 6 jam lebih ia tak sadarkan diri. Dinginnya malam dan temaram rembulan pun menemaniku yang bersimpuh dan memohon pada Allah.

“Ya Allah, Ya Rabbku. Ampuni aku yang terlena dengan dunia, terlena jabatan, hingga aku tak menyadari bahwa Kau telah mengirimkan bidadari surga dalam kehidupanku. Aku telah lalai menjaganya Ya Allah. Aku telah menyia-nyiakannya. Ampuni aku Ya Allah. Berikanlah aku kesempatan untuk membahagiakannya. Sadarkanlah Rania Ya Allah. Aku baru menyadari bahwa aku benar-benar mencintainya, aku ingin benar-benar menjalankan tugasku sebagai imam untuknya. Ya Rabbku, terimalah doa hamba-Mu yang hina ini ya Allah. Aamiin aamiin ya rabbal’alamin.”

Kuusap wajahku dan kuseka air mataku. Tanpa kusadari belaian lembut ibu mendarat di kepalaku, aku menengok padanya dan menghambur di pelukannya. Tangisku pun kembali pecah. Ibu terus mengusap dan membelai tubuh dan kepalaku seakan memberi aku energi untuk bersabar.

“Arman anakku, bersabarlah Nak. Yakinlah istrimu akan segera bangun dan tersenyum padamu,” ucap ibu menenangkanku.

“Ibu, Arman suami yang jahat. Arman tidak mempedulikan istri Arman. Arman hanya memikirkan diri Arman sendiri. Arman . . . Arman . . . ,” kataku tercekat dan lidahku mulai kelu.

“Arman, berdoalah Nak agar Allah memberimu kesempatan untuk menjadi imam yang baik untuk Rania dan anak-anakmu. Dan jika Rania bangun nanti benar-benarlah mencintainya dan melindunginya. Pengabdian dan cintanya sebagai istri terhadapmu sungguh luar biasa. Kau harus tahu Nak, istrimu sangat mencintai dan menghormatimu Nak.”

“Iya ibu, Arman sadar bahwa Rania adalah bidadari Arman. Arman berjanji akan mencintainya dan melindunginya. Arman minta doa dari ibu untuk kesembuhan Rania. Arman yakin doa seorang ibu itu sangat mustajab.”

“Pasti Nak, Ibu pasti akan mendoakan kesembuhan Rania. Ibu menyayangimu dan Rania Nak. Ibu ingin kalian hidup bahagia dalam naungan dan ridha Allah Nak.”

Malam pun kian larut. Aku duduk di samping ranjang Rania. Kupegang erat tangannya dan kucium punggung tangannya. Hingga kuterlelap di sampingnya. Ayam mulai berkokok. Azan Subuh berkumandang. Aku masih terlelap nyaman di sampingnya. Tiba-tiba belaian lembut kurasakan di kepalaku. Kubuka mata dan kumulai kembalikan kesadaranku. Kuangkat kepalaku tuk mencari asal belaian itu. Kutemukan senyuman terindah dalam hidupku.

“Mas Arman, sudah azan Subuh. Ayo sholat dulu!” ucap Rania lirih.

“Rania!” ucapku lalu mencium kening dan pipinya. Kulihat wajahnya penuh dengan keheranan.

“Rania, alhamdulillah kamu sudah sadar. Aku sangat mencemaskanmu. Kapan kau tersadar? Akan kupanggilkan dokter untuk memeriksamu.”

Aku merasa cemas ketika Rania diperiksa. Aku sangat berharap ia baik-baik saja. Dan alhamdulillah ternyata kondisi Rania baik-baik saja. Ia hanya perlu banyak istirahat untuk memulihkan kondisinya pasca melahirkan. Dalam sholat Subuhku, aku benar-benar bersimpuh dan bersujud tuk bersyukur karena Allah mengabulkan doaku. Aku berjanji akan menjadi imam yang baik untuk Rania.

“Rania, Rania mau makan buah?”

“Aku ingin melihat anak kita, Mas.”

“Tentu Sayang, tapi kamu harus mengisi perutmu dulu, agar memiliki tenaga.”

“Mas Arman memanggilku ‘sayang’?”

“Iya, Sayangku. Karena Mas sangat sayang dan cinta dengan Rania. Mas merasa sangat berdosa. Mas baru sadar bahwa Mas sangat mencintaimu dan takut kehilanganmu. Jantung Mas terasa berhenti melihat kondisimu seperti kemarin.”

“Mas berjanji akan selalu mencintai, menjaga, serta melindungimu dan anak-anak kita. Mas janji Rania.”

Senyumnya pun mengembang lebar. Aku pun mendekat dan ia pun menghambur di pelukanku. Sungguh damai dan bahagia yang kurasakan.

3 tanggapan ke Bidadari Tak Dihargai

  1. Mardha 24 September 2017 pada 20:05 #

    Begitu menyentuh ternyata

  2. Ismail 25 Juni 2017 pada 09:21 #

    Luar biasa cerpennya…..

  3. Ismail 25 Juni 2017 pada 09:19 #

    Luar biasa cerpennya….

Tinggalkan Balasan