Muhammad

Muhammad Sang Utusan

Kisah Muhammad seolah tak pernah usai dan habis untuk dikisahkan. The Stranger menyebut Hazleton menulis dengan keluar dari kebiasaan : melihat Muhammad sebagai manusia fana, seorang pria yang hidup, renta dan akhirnya mati. Begitulah sebenarnya Muhammad, ia tak lebih dari manusia seperti kita. Akan sulit bagi kita yang tanpa satu kesadaran religius memahami Muhammad sebagai seorang yang istimewa.

Sejarah mencatat, bahwa keistimewaan-keistimewaan yang ada pada diri Muhammad tidak lebih dari penyangkalan-penyangkalan yang dianggap irasional bagi manusia di jaman dulu maupun sekarang. Kehadiran Muhammad sebagai sosok manusia utusan itulah yang membuat orang tak lekas berhenti membicarakan Muhammad, bahkan hingga saat ini. Muhammad sudah menghadirkan diri dalam sejarah, ia hadir tanpa kemampuan baca dan tulis, yang bagi sebagian orang jelas ini merupakan satu kemustahilan, tetapi bisa juga sebaliknya ia adalah satu perkecualian.

Kehadiran Muhammad sebagai seorang utusan lebih banyak dihadirkan oleh narasi-narasi dan cerita-cerita orang di masa jauh sebelum ia menjadi nabi. Masa sebelum kenabian adalah masa yang penuh dengan penggemblengan bagi Muhammad kecil. Sudah semenjak usia kecil, ia menjadi bocah yatim. Bocah yatim adalah perumpamaan dan metafora menyedihkan bagi jiwa yang kehilangan ibunya. Bila kita mempelajari teori Freud, maka kehadiran Ibu bagi kanak-kanak sangatlah penting hingga ia merasa benar-benar bisa lepas darinya, tetapi itu tak dialami oleh Muhammad. Muhammad adalah bocah kecil yang yatim, yang tak lama kemudian disusul oleh kematian Ibunya hingga ia menjadi yatim piatu. Gemblengan psikologis ini membuat Muhammad menjadi manusia yang secara kebudayaan Arab tak memiliki kekuatan bila dilihat dari sisi keturunan, sebab Sang Ayah sudah meninggal. Akibat dari kondisinya yang yatim piatu, ia seolah mencari pelindung dan mencari sosok yang mampu ia jadikan pengganti Ayahnya, tidak lama setelah sang kakek wafat, pamannya Abu Thalib yang dijadikan pelindung dan yang mengurusnya. Meski demikian, Abu Thalib sendiri sebenarnya tak begitu rela, akan tetapi karena posisinya sebagai bagian dari petinggi suku terpandang Quraisy, ia merawat Muhammad. Hal ini akan dibuktikan lebih jauh, terlebih ketika Sang Paman menolak lamaran Muhammad yang akan mempersunting anaknya, Hazleton menyebut ini sebagai titik awal sejarah perubahan Muhammad karena kelak ia akan menemukan Khatijah yang akan menguatkan dan memantapkan posisinya.

Keajaiban-keajaiban           

Setelah Muhammad menginjak remaja, ia kemudian mengalami peristiwa-peristiwa yang disebut pendeta Bahira sebagai tanda-tanda utusan. Tanda-tanda itu seperti ketika Muhammad selalu diikuti awan yang menyelimutinya dan didampingi dua malaikat di samping kanan dan kirinya. Hingga pengabaran Bahira kepada Abu Thalib yang mengatakan : “Masa depan besar terhampar di hadapan keponakan Anda ini”. Akan tetapi, legenda itu berfungsi sebagai ilustrasi klasik tentang takdir. Tidak diketahui dan tidak dikenal di kalangan rakyatnya sendiri, sang pahlawan malang langsung dikenali oleh orang suci dari masyarakat lain (hal.62-63). Selain peristiwa dan kisah pendeta Bahira, berita tentang keajaiban Muhammad juga tersebar ketika dia dicuci hatinya oleh malaikat. Peristiwa itu cepat beredar dan menjadi berita tentang keistimewaan Muhammad yang semula terpinggir dan tersisih dari masyarakatnya.

Kisah Muhammad kemudian menjadi—“kaledioskop kesakralan”—begitu Hazleton menyebutnya. Keajaiban Muhammad sebagai manusia kemudian mengundang popularitas dan kepercayaan masyarakat Mekah manakala Muhammad memikat karena aura dan kejujurannya dalam berdagang . Muhammad segera menemui keajaiban berikutnya manakala masyarakat Mekah menuai konflik tentang siapa yang pantas untuk memasang kembali Hajar Aswad. Peristiwa ini hampir saja menumpahkan darah diantara para petinggi suku, karena mereka semua saling mengklaim suku mereka yang paling pantas mengangkat Hajar Aswad. Lalu datanglah Muhammad keluar dengan ide jernihnya, karena itulah ia kemudian semakin menemui kepercayaan dan kepopuleran. Keajaiban berikutnya adalah ketika Muhammad mendapatkan Khotijah. Ini merupakan satu peristiwa yang luar biasa bagi masyarakat Mekkah di masa itu. Bukan hanya karena cibiran dan hujatan yang mengira Muhammad menikah atas motif harta yang dimiliki oleh Khotijah.  Akan tetapi penyangkalan orang-orang akan status Muhammad makin kental. Muhammad pada satu sisi semakin kuat dengan hadirnya Khotijah, akan tetapi di sisi lain ia semakin disangkal karena posisinya sekarang. Peristiwa keajaiban-keajaiban berikutnya semakin mengukuhkan pada penyangkalan umatnya kepada Muhammad. Penyangkalan-penyangkalan itu semakin keras tatkala ia menyampaikan berita bahwa ia seorang utusan. Di samping itu, perlawanannya kepada ketidakadilan dan ketimpangan. Hazleton menyebut : “Ini merupakan persoalan politik sekaligus keimanan. Kitab suci ketiga agama monoteis menunjukkan bahwa mereka sama-sama dimulai sebagai gerakan protes popular terhadap kekuasaan yang istimewa, dan arogan, entah itu kekuasaan Romawi sebagaimana dalam Injil, atau kalangan elite suku sebagaimana dalam al-Qurán”.

Asing           

Meski Muhammad bagi seorang Muslim adalah sosok tauladan dan sosok yang dijadikan kiblat, akan tetapi Muhammad tetaplah seorang yang asing dan tak diketahui secara benar-benar utuh. Inilah barangkali suatu keajaiban dari Muhammad. Ia adalah mukjizat bagi kaum Muslim maupun non Muslim. Meskipun hanya dari kisah sejarah narasi dan pengisahan orang-orang tentang Muhammad, tak mampu juga menggambarkan Muhammad sebagai sosok manusia yang benar-benar utuh. Sebagai sosok yang memancarkan pesona dan kisah hingga saat ini, Muhammad tetap saja selalu berpotensi dengan penerimaan dan penolakan hingga akhir  jaman. Karena itulah, meski Muhammad adalah seorang yang penuh dengan keistimewaan dan mukjizat, ia juga kerap dan tak luput dari fitnah dan penyangkalan. Bagi seorang yang buta huruf dan buta tulis, adalah suatu keajaiban untuk membuat manusia terpikat dan melirik sosoknya sebagai teladan. Muhammad memang sudah menjadi buku, ia adalah kitab yang tak pernah habis dibaca. Akan tetapi, Tuhan justru memberi satu batasan yang tak berlebih, dengan mengatakan “ Muhammad adalah manusia biasa, sama seperti kita semua”. Karena itulah keimanan dan kepercayaan, dan kerinduan bersamanya merupakan esensi dari pengalaman religious yang bersifat puitis. Sebagaimana Walt Whitmen menyebut sebagai “rumbai dan tepuk tangan terakhir ilmu pengetahuan”.

 

*)Penulis adalah Pengasuh MIM Kartasura Santri di Bilik Literasi SOLO

           

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan