kue-kering-lebaran

Biskuit dan Kue Kering

Sudah dua kali Aura masuk kamar Buliknya, dua kali pula dia membawa satu buah jelly seharga lima ratusan. Rupanya Aura tak merasa kenyang dengan pemberian jelly dari Buliknya, makanya anak umur dua tahun itu kembali masuk kamar Buliknya dan meminta kembali jelly. Tidak cukup dua kali, Aura kembali memasuki kamar Buliknya untuk yang ke tiga kalinya, namun kali ini Aura tidak mendapatkan apa-apa, dia hanya kembali dengan tangan kosong. Buliknya ternyata sudah menutup semua toples makanannya, termasuk toples jelly.

Aku mengintip dari balik pintu kamarkku, terlihat Aura cemberut. Segera kugendong anak itu dan kupegangi sebatang astor untuk mengobati kekecewaannya. “Makan ini saja, ya! Nanti Ayah pulang kita beli jelly kesukaan Dedek.” Hiburku.

Bertahun-tahun satu atap dengan mertua dan saudara ipar yang sama-sama telah berkeluarga memang tidak mudah. Kita yang sekedar perantau mengikuti suami, harus rela melihat banyak ketidakadilan lalu berdiam saja. Bukan tidak ingin menuntut atau bagaimana, hanya saja tidak ingin cekcok dengan orang satu rumah. Banyak rasa sakit yang harus kutelan dari ketidakadilan yang diberikan mertua. Terlebih jika itu menimpa pada anakku maka sakit itu seakan berjuta kali lipat. Anak iparku dan anakku mereka adalah cucu-cucunya, tapi timbangan berat sebelah nyata jelas di hadapanku.

“Sudah berapa dus THR yang didapat Bapak” Tanyaku pada Suami.

“Sudah banyak, beberapa diantaranya dititipkan padaku dan sudah kuserahkan pada Bapak.” Jelas suamiku. Terlihat dia menghisap rokok dan setelahnya menarik nafas berat. Tatapannya tampak melayang ke arah kosong.

“Beberapa dus tersimpan di kamar si Nur. Mungkin dia sudah membukanya. Isinya ada banyak makanan, kue kering dan kaleng biskuit.”Kembali suamiku menghisap rokok, dia menghabiskan hisapan terakhirnya. “Entahlah, apa Bapak akan membaginya sebagian buat kita atau hanya buat Si Nur dan anak suaminya?” Lanjutnya lagi dengan nada pelan.

“Aku rasa tidak. Selama ini biasanya seperti itu kan? Tapi kalau tidak membagi sedikitpun katakanlah buat anak kita, kok kebangetan ya?”

Suamiku mengangguk. Kuntum rokoknya dilempar keluar, tampak ada sedikit emosi yang ikut terlempar.

“Tadi Aura masuk kamar Buliknya, dia hanya dipegangi satu buah jelly. Dua kali masuk ya hanya dua jelly yang dia dapat. Padahal ada beberapa toples jelly yang didapat dari THRnya Bapak. Sungguh pelit. Kenapa dia tidak membaginya satu toples saja buat Aura, toh masih bersisa banyak. La wong itu makanan semuanya punya Bapak. Jujur saja, aku merasa sakit hati dengan perlakuan adikmu yang sama sekali tak punya rasa ingin berbagi dengan saudaranya, padahal kita berada satu rumah.” Aku berusaha menahan air mata. Ingin menangis tapi rasanya terlalu payah jika harus menangis gara-gara itu.

“Si Nur memang gak ada kenyangnya. Tidak hanya makanan, entah berapa banyak uang Bapak yang dia pakai. Bapak pun sama, dia seakan menganggapku anak tiri. Padahal aku anak sulungnya yang selama ini membantu membiayai sekolah adik-adikku dulu, termasuk Si Nur.” Terlihat gurat kekecewaan di mata suamiku. Kekecewaan itu berbelas tahun disimpannya, jauh sebelum dia menikah denganku. Dan entah kapan dia akan memendam rasa kecewa itu, mungkin dia akan membiarkannya sampai menguap begitu saja.”Andai aku punya banyak uang untuk membeli rumah sendiri, tidak sudi aku tinggal di sini.” Lanjutnya lagi dengan nada agak tinggi.

Obrolan kami terhenti ketika Nur, adik Iparku, terlihat akan masuk rumah sehabis menjemur pakaian. Aku dan suami tak berani melanjutkan percakapan karena takut terdengar olehnya dan memicu persoalan.

“Maaf Mas, Mbak Nur ada?” Tiba-tiba Mbak Yati, tetangga kami datang.

” Ada, masuk saja.” Suamiku mempersilahkan.

Mbak Yati datang bersama anak bungsunya yang sedikit lebih tua dari Aura. Anak itu terlihat mengikuti ibunya masuk ke kamar Nur. Entah apa yang mereka bicarakan namun terlihat mereka berbincang cukup lama.

Aku pun masuk kamar menemani Aura yang sedang nonton kartun. Tiba-tiba anaknya Mbak Yati datang ke kamarku.”Adek…!” katanya sambil mendekati Aura.

“Ayo main sini.” Ajakku seraya membenahi mainan yang berantakan diatas kasur.

“Dek Aura mau ini?” Anak itu menyodorkan beberapa biskuit dan kue kering. Sementara di tangannya masih tersisa banyak makanan kering dan biskuit plus banyak jelly.

“Kok makanannya banyak banget?” Tanyaku penasaran.

“Ini dikasih Bulik Nur barusan.”

Oh…Tuhan!! Sesaknya dada ini. Begini yang namanya saudara? Empatinya lebih besar ke orang lain ketimbang sama ponakan sendiri. Nur, dia bisa memberi anak tetangga banyak makanan. Tapi untuk anakku, hanya demi mendapat dua buah jelly saja dia harus mengemis bolak-balik masuk kamarnya. Bahkan untuk yang ke tiga kalinya, Nur cepat-cepat menutup semua toples makanannya. Dan anakku kembali dengan tangan kosong.

Rasa-rasanya aku ingin membalas semua rasa sakit ini, tapi sekali lagi aku tidak mau menjadi manusia yang dikalahkan nafsu amarah. Aku hanya bisa berdo’a semoga kelak aku bisa sejahtera dan bahkan bisa membantu mereka.

***************

“Ayu, ibu kemana?”Tanyaku sehabis turun dari motor.

“Ibu kerja.”

“Kerja? Kerja dimana?”

“Di rumah Pak Ihsan bantu bersih-bersih.”

Aku terdiam heran.

“Aku maen dulu ya Bude.” Ayu pamit dan segera pergi ke arah teman-temannya yang sudah menunggu di seberang rumah.

“Apa kabar Mbak, lama gak ke sini?” Sapa Mbak Tin tiba-tiba.

“Baik Mbak, ini saya mau ke rumah Nur ada penting.”

“Kalau siang Nur kerja di rumah Pak Ikhsan”

“Sejak kapan?”

“Sudah beberapa bulan lalu. Lah sekarang kalau gak mau cari duit ya susah dia. Kalau dulu kan dibantu Bapak mertuamu, tapi sekarang siapa yang bantu. Suaminya kena struk, anak sulungnya sudah punya tanggung jawab sendiri, belum lagi Ayu masih butuh biaya sekolah. Jadinya repot banget kan?”

Penjelasan Mbak Tin sudah cukup menjelaskan keadaan Nur sekarang. Semenjak Bapak mertua meninggal, semenjak itu pula aku tak tinggal bersama dengan Nur di rumah warisan. Aku memutuskan untuk membeli rumah sendiri dengan uang yang kami kumpulkan dengan susah payah. Dan sejak pindah rumah itu pula ekonomi kami semakin membaik.

Besok adalah Hari Raya. Aku mendapatkan banyak kiriman kue kaleng biskuit dan kue kering. Aku tak suka menumpuk-numpuk makanan apalagi sampai mubazir. Makanya hari ini aku datang ke rumah Nur dan membawakannya beberapa toples kue kering, biskuit dan dua toples jelly.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan