Buku Ngrasani! (2016) garapan Arif Yudistira. Buku berisi esai-esai pendidikan, dengan sampul buku depan potret beberapa anak ‘tempoe doeloe’ sedang menganyam bambu, dijadikan dompet (mungkin). Mata pembaca sudah mengarah judul buku, begitu memancing perhatian—notabene, berkesan negatif. Sebab, arti ‘ngrasani’ (bahasa jawa), dalam bahasa Indonesia, menggunjing. Lengkapnya, menggosip, memfitnah, mengumpat, membicarakan kejelekan orang. Oh, berarti buku ini tak pantas dibaca, sebab hanya berisi hal itu saja!
Pembaca membuka halaman iv-v dalam buku. Terdapat pengakuan sekaligus pengertian (pandangan) berbeda dari penulis. Baginya, menggunjing penting. Apalagi dikaitkan dalam dunia pendidikan, “menggunjing tak selalu berarti negatif,” katanya. Pembaca malah penasaran, mengapa judul buku seperti itu. Tak mau sesat pikir berlanjut, pembaca mencoba memahami penjelasan lanjut dari penulis: “Ia (menggunjing) seperti aktivitas yang sebaliknya. Hampir setiap tahunnya para pakar, para birokrat, sampai masyarakat bawah menggunjing pelbagai persoalan. Di warung kopi, angkringan, sampai dengan ruang kafe dan ruang kuliah. Rakyat kita menggunjingkan nasib Indonesia. dari hasil mengoreksi, dari hasil ngrasani itulah, ada secercah harapan dan cahaya.” Lanjutnya, “Kita pun berharap, dari upaya ngrasani ini, kita bisa memetik sesuatu hal yang positif, ada upaya memperbaiki daripada sekadar mengkritik habis-habisan. Ada sedikit gagasan yang berbau solusi dan inovasi daripada sekadar diam.”
Setelah itu, pembaca menyimak kumpulan esai-esai. Ada 10 esai, yakni Catatan Pendidikan Kita; Problem Membaca Sekolah Kita; Pendidikan Usia Dini Dan Persoalannya; Belajar Dari Muhammad Kusrin; Pentingnya Pendidikan Keluarga; Pola Asuh Anak Dan Modernitas; Sekelumit Kisah Sastra Anak Kita; Sekolah International!!!; Sekolah ‘Seharian Penuh’; serta Taman Siswa Dan Pendidikan Keluarga. Dari sini dulu, kita cukup mengetahui bahwa penulis ‘menyuarakan’ tentang pendidikan dan anak.
Sekian esai, melentingkan pembaca ke hadapan realitas sosial kini. Tindakan asusila dalam dunia pendidikan, cukup merebak dan santer diberitakan lewat media massa, salah satunya koran. Entah itu dilakukan siswa, guru, teman, remaja, orang tua, pada perempuan (bisa siswi, karyawan, atau sebagainya). Lalu, pendewasaan dini terjadi pada anak-anak, sebab arus modernitas; perbedaan sikap dan perilaku anak-anak termasuk remaja kini dan dulu; kebijakan pemerintah maupun dari institusi pendidikan mengenai pembelajaran anak, dipusatkan pada sekolah. Ini semua menjadi masalah bagi anak-anak, orang tua, dan terutama penulisnya, untuk ke depannya.
Segala masalah itu, salah satunya dan utama, disebabkan ketakbiasaan anak, guru, maupun orang tua dalam membudayakan kegiatan membaca—meski, tak semuanya seperti itu. Ini dapat disimak dalam esai Problem Membaca Sekolah Kita. Dalam esai itu, penulis mengemukakan masalah bagaimana pihak sekolah lebih mengutamakan dan mengajarkan membaca buku paket dan pelajaran, kemudian bergeser ke kegiatan menjawab soal. Sehingga ini bisa menjadikan kegiatan membaca bersifat fungsionalis-pragmatis. Yakni, membaca agar mendapat nilai bagus.
Adapun, menurut kacamata penulis, kultur membaca sendiri belum tercipta atau dibiasakan guru-guru. Mereka masih menganggap urusan bacaan dan urusan membaca bagi anak didik adalah urusan nomor dua. “Tatkala istirahat, guru-guru lebih asyik terlihat santai atau berbincang tentang urusan administrasi dan sertifikasi di kantor mereka” (hal. 10).
Penulis berharap agar guru (dan termasuk orang tua) menciptakan kultur membaca buku dan mengoptimalkan perpustakaan.
Dalam hal ini, pembaca (saya) hanya mengimbuhi. Kultur membaca buku tetap perlu digerakkan dan dibiasakan pada anak-anak, terutama guru dan orang tua. Sebab, mereka menjadi contoh dan teladan pertama yang akan diketahui dan diserap oleh anak-anak (didik). Di sisi lain, kultur membaca tak selalu dihadapkan pada teks (buku). Anak-anak bisa diajarkan membaca realitas di sekelilingnya. Seperti, ketika ada sampah di dalam kelas, anak dapat kita nasihati untuk membuang sampah pada tempatnya. Paling baik, guru memberi contoh dan teladan terlebih dahulu, lalu bisa memantik anak-anak didiknya (bila mengetahui dan bersama gurunya) dengan pertanyaan maupun pernyataan konstruktif) mengenai sebab-akibat jika sampah tidak dibuang pada tempatnya, dengan menyuguhkan realitas sosialnya. Atau bila guru dan anak didik sedang di halaman sekolah, lalu memandang langit sedang mendung, anak bisa dipantik pertanyaan atau diberitahu tanda-tanda jika langit mendung.
Tentu, pendidikan ‘membaca’ tersebut, tak melulu diserahkan pada pihak sekolah (terutama, guru). Malahan, hal dan peran penting dalam menumbuhkan kultur membaca sekaligus kesadaran dan mentalitas anak, bermula dari keluarga (orang tua). Maka, tak asing bila penulis getol ‘menyuarakan’ tentang tanggung jawab orang tua dalam bingkai keluarga terkecil. Sebab, baik-buruknya anak nanti, juga tak terlepas bagaimana pihak orang tuanya mendidik anak.
Saat penulis cukup mahfum akan hal itu, wajar, bila ia mengalami perhatian, kecemasan atau kegelisahan, dan malahan ketidaksetujuan adanya peran orang tua diambil alih pihak sekolah; atau malahan, orang tua, mengalihkan tanggung jawab pada pihak sekolah; serta malahan, pihak sekolah menggoda orang tua untuk peran dan tanggungjawab diambil alih oleh pihak sekolah dengan pelbagai kelengkapan dan kemodernan fasilitas—ditambah, ini disahkan atau diinstruksikan oleh pemerintah, seperti penambahan jam belajar, tersirat di beberapa esai, seperti: Pendidikan Usia Dini, Sekolah International!!!, Sekolah ‘Seharian Penuh’.
Nah, dari apa yang disuarakan dan dipermasalahkan penulis, cukup pantas diperhatikan dan disadari bagi kita (pembaca). Tapi, di sisi lain (ketika membaca buku ini), kita tak serta merta memandang mereka (guru, orang tua, pemerintah) paling bertanggungjawab akan masalah yang menimpa dalam dunia pendidikan, apalagi dalam zaman serba simpangsiur ini.
Maka, ketika membaca buku ini, pembaca cukup merefleksi diri, lalu menutup kembali, membaca, dan menimang-nimang judul dan isi buku: Ngrasani! Pantaskah pembaca mengunggah sampul buku ini? Adakah nuansa edukasinya dari judulnya? Apakah lebih baik, judul ini diganti: Catatan Pendidikan Kita, termasuk perbaikan ejaan agar tak terjadi sesat dan gangguan pikir-bahasa pembaca lainnya?
Belum ada tanggapan.