Entah berapa lama aku berdiri menunggu bis jurusan Jakarta tiba. Yang pasti kaki ini sudah sangat sakit dan pegal. Sepanjang trotoar ini tidak ada tempat untuk sekedar duduk. Aku hanya berjongkok sesekali, merelaksasi otot-otot kaki.
Dari arah utara apa yang kutunggu tiba. Bis itu akhirnya menampakan diri. Aku yang membawa sekardus makanan oleh-oleh dari ibu di kampung untuk bekal makan beberapa hari di tempat kost, juga tas ransel yang berisi pakaian, cepat-cepat berlari memburu bis yang melaju ke arahku. Tanganku melambai-lambai, berharap agar bis itu bisa berhenti.
Tiba-tiba pundakku ditarik seseorang sebelum bis itu benar-benar berhenti. “Tidak usah naik!” Terdengar seseorang berteriak.
Aku terkejut. Seketika kupalingkan wajahku ke arah suara itu. Tujuh langkah dari arahku, aku melihat seorang lelaki umur tujuh puluh tahunan berdiri. Dia berpeci putih, berbaju koko putih dan bercelana komprang putih.
Lelaki tua itu melambai-lambaikan tangannya isyarat bahwa aku harus mendekat ke arahnya.
“Ada apa, kek?” Tanyaku setelah ada di hadapannya.
“Tidak usah naik bis itu, tunggu saja yang lainnya.” Pintanya dengan wajah datar.
“Tapi aku sudah menunggu lama. Aku harus segera ke Jakarta.”
“Turuti saja perkataanku.”
Kakek itu kemudian pergi tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menimpalinya. Aku hanya tertegun, merasa tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya.
Lalu hati kecilku memaki lelaki tua itu, apa urusannya dia melarangku naik bis. Dasar kurang kerjaan!
“Hey! Jadi naik bis ini gak? Daritadi cuma bengong.” Teriakan kernet bis tiba-tiba mendarat di telingaku. Aku pun segera menoleh, “iya bang, aku segera naik.”
Segera aku masuk ke dalam. Di dalam sudah penuh sesak. Mau tidak mau aku harus berdiri. Tanganku bergelantung pada pegangan di atas kepalaku. Kuperhatikan satu persatu tempat duduk penumpang, barangkali ada sedikit tempat buatku. Tapi sayang semuanya terisi. Aku harus bersabar sampai beberapa penumpang turun agar mendapat tempat duduk.
Bis berjalan lamban karena macet. Hari ini hari Minggu, semua orang beramai-ramai menunggangi kendaraannya menuju tempat liburan. Kuperhatikan banyak kendaraan pribadi memadati jalanan. Ada juga kendaraan roda dua yang dengan pandainya menyelinap apik diantara kendaraaan besar lainnya. Mungkin karena kecil, akhirnya para pengendara roda dua bisa segera bebas dari kemacetan. Andai aku bawa motor sendiri,mungkin akan cepat sampai. Begitu fikirku.
Kring…kring…tiba-tiba kudengar suara ponselku. Ibu. Ternyata ibu yang menelepon.
“Halo…ada apa bu?”
“Kamu sudah berangkat?” Terdengar suara di ujung telepon.
“Sudah, ini lagi di dalam bis. Kena macet.”
“Ya sudah hati-hati. Ibu tiba-tiba merasa khawatir, gak enak hati. Takut terjadi apa-apa.”
“Ibu tenang saja. Do’akan saja aku selamat.”
“Iya. Hati-hati ya, nak!” Kemudian Ibu menutup teleponnya.
Kakiku sudah sangat pegal, ingin rasanya duduk. Tapi kulihat tidak ada satu penumpang pun yang turun. Jangan-jangan mereka menuju Jakarta semua? Ah, sial! Itu artinya aku harus berdiri sepanjang jalan. Padahal jarak Bandung-Jakarta bukanlah jarak dengan sepelemparan batu. Jauh. Bahkan sangat jauh.
Tidak hanya orangtua tapi kulihat banyak anak kecil di dalam bis itu. Mereka dipangku ibunya dengan keringat yang membuat mereka tidak nyaman. Beberapa diantaranya menangis kehausan. Ada yang merengek minta minum dan dikipasin, ada juga balita yang meminta disusui. Yang paling menarik perhatianku adalah anak kecil yang hampir sepanjang perjalanan selalu menangis minta turun, “Dedek mau turun, bu! Dedek takut…takut….” Begitu rengeknya.
Melihat anaknya merengek terus, ibunya mencoba menenangkan, “tidak usah takut, dedek kan udah biasa naik bis. Katanya dedek gak takut naik bis gede.”
Alih-alih berhenti menangis anak itu semakin berontak. Dia menarik-narik jilbab ibunya, meminta turun. “Dedek gak mau, dedek takut. Dedek gak mau naik bis ini.”
Ibunya hampir kewalahan. Aku kira pemberontakan anak itu di luar kewajaran. Tubuhnya seperti dirasuki kekuatan lain, sampai-sampai bapaknya tak bisa menahan badannya yang terus berguling-guling di lantai bis. Andai bis itu berjalan kencang, entah apa yang akan terjadi dengan tubuh anak itu. Mungkin dia akan terguling ke sana kemari karena ayunan badan mobil. Tapi karena macet, hal demikian pun tidak terjadi.
“Sudah, dik! Nanti juga akan cepat sampai. Adik mau permen?” Aku mencoba membujuk anak itu. Jujur aku merasa kasihan melihat orangtuanya yang kewalahan menghadapi bocah lima tahun tersebut.
Sesaat anak itu terdiam, mungkin dia sedikit tertarik dengan permen yang kutawarkan. “Tidak suka!” Jawab anak itu, suaranya terdengar tinggi.
Aku tersenyum, lalu kukeluarkan minuman dingin dari tas. “Mau ini? Enak loh rasa jeruk. Manis….sekali.”
“Tidak! Aku mau turun!” Terlihat anak itu semakin marah.
Aku terdiam. Aku merasa sudah tidak punya akal lagi untuk membujuknya.
“Maafkan anak saya mas, memang tidak biasanya dia seperti ini. Mungkin dia kurang fit aja, bisnya begitu sesak. Panas juga kali ya.” Kata Bapaknya dengan wajah yang lelah.
Aku mengangguk. Kini anak itu terus ditenangkan oleh bapaknya. Bermacam-macam cara mulai diberikan hape agar mau diam dan bermain game, ditawarkan makanan, minuman bahkan dijanjikan dibelikan mainan apabila tiba di Jakarta, sampai akhirnya bapaknya melantunkan sholawat nabi. Tapi anak itu terus berontak meminta turun. Dia selalu bilang bahwa dia takut, padahal bis masih berjalan merayap. Entahlah, apa mungkin anak ini punya phobia naik kendaraan tapi orangtuanya tidak menyadarinya?
Aku yang masih berdiri sudah tak tertarik lagi dengan drama anak tadi. Mataku lebih asyik melihat ke luar bis. Sungguh padat dan ramai hari libur ini. Di trotoar, orang-orang berjejer menunggu kendaraan dengan macam-macam jurusan. Dan diantara orang-orang itu, tiba-tiba mataku menangkap satu sosok yang aku kenal, Si Kakek!
Ya, kakek yang melarangku naik bis kini sedang berdiri di trotoar itu. Kugosok-gosok mataku berulang kali. Sungguh aku tidak percaya ini. Dia benar-benar kakek itu. Tapi kenapa dia ada di sini? Bukankah jarak antara tempatku menunggui bis dengan tempat ini begitu sangat jauh? Kenapa dia bisa mendahuluiku padahal tadi tidak kulihat dia naik kendaraan lebih dulu dariku? Mungkinkah dia naik roda dua ke sini sehingga bisa tiba lebih cepat? Tapi kok kebetulan sekali ya aku bisa melihatnya lagi di sini?
Hatiku dipenuhi dengan banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab. Dan belum selesai rasa penasaranku, tiba-tiba aku melihat lambaian tangan dari kakek itu. Aku terkesiap, bisa-bisanya dia melihatku di dalam bis padahal kaca bis ini berwarna hitam dan aku berdiri di tengah, jauh dari jendela. Sangat mustahil rasanya orang dapat melihatku dari luar.
Bis terus melaju meninggalkan tempat dimana kakek itu berdiri. Tapi anehnya, kakek itu seolah mengikuti. Aku bisa melihatnya terus melambai-lambaikan tangan ke arahku. Aku rasa dia menyuruhku untuk turun. “Cepat turun!” Suara kakek itu menggetarkan gendang telingaku. Aku kaget, bagaimana mungkin aku bisa mendengarnya padahal dia tidak berada di dalam bis?
Lambaian tangan si kakek terus bermain di pelupuk mataku. Terus, terus dan terus. Hingga akhirnya hatiku terpincut pula untuk mengikuti ajakan kakek itu. Aku berjalan ke depan, ke arah kernet. “Kiri di depan ya bang.”
Tak lama sopir pun memberhentikan mobilnya. “Gak jadi ke Jakarta?” Tanya kernet, dia memang tahu kalau aku akan menuju ke Jakarta. Aku menggeleng saja. Lalu kukeluarkan beberapa lembar rupiah dari dompetku. Sebelum aku keluar, tiba-tiba terdengar teriakan anak kecil dari belakang, “Om…dedek ikut turun…!”
Kupalingkan wajah ke arah suara itu. Kulihat anak kecil yang tadi ngamuk berhambur ke arahku. Dia menatapku penuh harap. “Dedek takut naik bis ini.” Ucapnya setengah menangis.
Aku menoleh ke arah bapaknya yang sudah berdiri di belakang anak tersebut. “Sepertinya anak bapak kena phobia naik kendaraan. Lebih baik bapak turun dulu dan tenangkan adik ini.” Saranku.
“Hmmm…bagaimana ya? Tidak sepertinya dia seperti ini, padahal sudah sering naik bis. Kami harus segera sampai di Jakarta untuk menengok orangtua kami yang di rawat di rumah sakit. Kalau harus menunggu bis lainnya rasanya gak mungkin. Kami tidak bisa menunggu.” Bapak itu terlihat bingung. Terlihat tangannya mengelus-elus rambut anaknya. Berharap anaknya tak lagi merengek minta turun.
“Adik ikut saja sama bapak ibu. Om turun karena ada keperluan. Ini ada permen dari Om, rasanya enak sekali. Ayo ambil.”
Anak itu terdiam, beberapa saat memandangi permen yang kuberikan. Bujukanku rupanya manjur juga. Dia mau menerimanya.
“Om pasti ingat aku.” Celetuknya.
Aku mengangguk, meskipun tidak tahu apa maksud perkataannya.
Aku pun turun dari bis. Sebelum berlalu kupalingkan wajahku memandangi anak polos itu. Saat itulah aku melihat tangannya melambai dan di matanya ada riak kecil yang akhirnya tumpah. Tumpah tanpa suara. Melihatnya menangis, entah mengapa hatiku begitu haru. Aku seperti sedang ditimpa kesedihan yang tak terkira karena kekasih hati tiba-tiba pergi. Aku seperti ibu yang akan ditinggal jauh oleh anak terkasihnya.
Bis itu melaju menjauhiku. Dan mataku terus mengikutinya dengan rasa sedih yang serasa aneh. Hatiku merasa kalau anak itu benar-benar ingin ikut denganku. Tapi bagaimana bisa dia turun denganku sedang dia bersama ibu bapaknya?
Bis itu lenyap dari pandanganku, dan aku masih memaku.
“Kenapa malah diam di situ. Itu jalan raya bukan trotoar?” Tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku.
Aku segera menoleh ke belakang, dan tampaklah si kakek yang tadi melambai-lambaikan tangan. Sesaat kuperhatikan tubuh si kakek, kakinya berpijak. Oh…dia manusia. Aku pun segera terhindar dari rasa takut..
“Kenapa kakek mengikutiku. Siapa kakek ini?” Segera kutumpahkan rasa penasaranku akan identitasnya.
“Jangan memikirkan anak di dalam bis tadi. Dia makhluk Tuhan yang masih suci. Malaikat tidak akan mencatat segala keburukannya, sebab mereka fitrah. Andai dia meninggal pun Tuhan akan tempatkan dia di syurga. Lain lagi jika kau atau manusia baligh lainnya yang meninggal, akan ada pertimbangannya. Maka jangan sia-siakan hidup yang masih diberikan Tuhan untukmu.” Ucap Si Kakek agak panjang.
Sementara aku hanya melongoh tidak mengerti. Jujur, aku merasa Si Kakek tidak menjawab pertanyaanku tapi dia sedang berdakwah. Kulihat orang tua itu hendak pergi meninggalkanku. Aku yang segera sadar akan hal ini segera menyusulnya, “lah kok kakek malah meninggalkanku. Aku harus kemana? Tadi Kakek melambaikan tangan padaku seperti memintaku turun tapi…”
“Tujuanmu ke Jakarta, sebentar lagi bisnya datang.” Dia menyela ucapanku, lalu pergi begitu saja.
Aku ingin menyusulnya tapi rasanya malas juga mengejar orang aneh. Ah, sudahlah! Mungkin dia gila. Hatiku kembali memakinya.
Sudah 45 menit aku menunggui bis lainnya. Dan bis itu akhirnya datang juga. Di dalam bis ini aku dapat duduk dengan nyaman. Penumpangnya tidak sepenuh bis yang tadi. Aku merasa lega karena perjalanan yang nyaman akan segera dimulai. Jujur, aku ingin segera tiba di ibu kota. Badanku sudah sangat lelah. Aku merindukan kasur mungil di kamar kostku. Aku ingin tidur nyenyak.
Telah banyak daerah yang terlewati, bis pun telah masuk ke ruas tol hampir setengah jam lalu. Bis melaju kencang, bebas tanpa hambatan. Beberapa mobil kecil melewatinya, tapi si sopir tidak merasa iri. Dia tetap berkendara dengan aman walau dengan kecepataan tinggi. Aku pun terlelap karena merasa dininabobokin oleh laju kendaraan di atas jalanan yang halus. Sampai akhirnya aku terbangun oleh banyak suara riuh rendah orang-orang, dan kurasa bis yang kutumpangi telah berhenti dan menepi di tepi jalan.
Aku bangkit dari duduk, menengok ke arah kaca depan. Hal yang sama dilakukan pula oleh penumpang lainnya.
“Kecelakaan!” Teriak sang kernet.
Seluruh penumpang merangsek ke depan. Mereka ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa kita menabrak orang?” Tanya seorang bapak yang berdiri di baris ke empat. Sebagian orang hanya menggelang, karena mereka belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bukan. Bukan mobil kita. Tapi mobil di depan!” Jelas penumpang lain yang berdiri di baris ke satu.
“Lebih baik semua turun dulu. Jalan ditutup sementara oleh polisi.” Anjur sopir.
Semua penumpang pun turun, termasuk aku yang setengahnya masih dilanda kantuk. Aku segera menuju tepian jalan. Aku lihat banyak polisi di sana. Aku lihat orang-orang berjalan ke tempat kejadian perkara. Karena rasa penasaran akupun mengikuti langkah mereka.
“Jangan dekat-dekat!” Seorang polisi menyuruh kami mundur.
Aku yang masih penasaran karena belum melihat kendaraan nahas itu mencoba bertanya pada orang yang berdiri disampingku, “mobil apa yang kecelakaan?”
Orang itu memandangiku sebentar, lalu berucap, “mobil bis jurusan Bandung-Jakarta.”
“O…sama dong sama yang kita tumpangi?”
“Bukan. Tapi ini dari perusahaan bis lainnya. Dia berangkat 45 menit lebih awal dari kita. Katanya tadi terjadi tabrakan beruntun. Dan semua penumpangnya meninggal, kecuali kernet.”
Dadaku terasa berat menerima informasi tersebut. Ada kengerian yang membayangi mataku.
“Bis yang mana ya?” Aku masih belum tahu bis mana yang terlibat kecelakaan itu karena memang sangatlah banyak bis yang menuju ibu kota.
“Lihat saja ke depan!” Perintah orang itu.
Aku pun langsung menyelinap diantara kerumunan menuju arah paling depan. Mataku langsung terbelalak melihat kejadian nahas di depanku. Mayat bergelimpangan ngeri, sebagian ada yang sudah ditutupi. Darah merah mewarnai aspal hitam. Sandal dan sepatu tercecer. Ada juga pecahan kaca dan sobekan kain. Ada juga tas mungil dan sepatu kecil milik para balita. Kulihat sopir bis terjepit diantara kedua kendaraan. Dia sudah tak berherak, mungkin dia sudah tak bernyawa. Polisi dan warga terus berusaha mengevakuasi korban tersebut. Di depannya terdapat pula kendaraan lain yang terjungkal. Rupanya ini kecelakaan beruntun. Tak dapat kuhitung entah berapa banyak kendaraan yang menjadi korban. Aku bergidik. Dan tiba-tiba tubuhku terasa bergetar. Ada rasa takut yang menghampiri, takut kalau kejadian nahas ini terjadi padaku.
Meski diliputi rasa ngeri, aku tetap penasaran dengan bis yang membawa para korban. Beberapa langkah kuarahkan kaki ke depan, ke arah muka bis. Oh, Tuhan! Aku melihatnya. Aku dapat membaca tulisan nama bis itu, Bis SELAMAT LAJU. Iya, bis itu adalah bis yang kutumpangi pertama kali. Seketika aku mengelus dada, merasa bersyukur dengan takdirku.
Dadaku terasa berat, terbayang apa jadinya jika aku yang berada di dalam sana. Mungkin kini aku tak lagi bernyawa, dan sanak saudaraku akan menangis begitu haru mendengar kepulanganku yang tinggal nama, bahkan mungkin dengan jasad yang tak lagi berbentuk.
Kututupi wajahku, aku ingin menjerit dan menangis ketika kuingat tentang anak kecil yang mengamuk kepada orangtuanya karena ingin turun dari bis. Terbayanglah wajahnya yang penuh iba memohon agar ia bisa ikut turun bersamaku. Dan lambaian tangannya serta air matanya saat kubiarkan dia tetap berada dalam bis terus bermain di pelupuk mataku. Aku terjebak rasa bersalah yang tak berkesudahan. Andai saja aku mengajaknya turun mungkin nyawa anak itu akan selamat.
Aku yakin rengekan si anak yang meminta turun adalah sebuah pertanda bahwa akan terjadi kecelakaan pada bis itu. Dan mungkin Tuhan telah membuka mata bathin anak suci tersebut untuk melihat semua kejadian mengerikan yang menimpa hari ini.
Tiba-tiba aku ingat akan Si Kakek yang selalu memintaku untuk tidak naik bis nahas tersebut. Kini kusadari bahwa dia bukan orang gila. Kurasa dia malaikat yang telah menyelamatkanku. Aku bersalah telah memakinya dalam hati. Maafkan aku, kek!*****
Suara adzan bergema di shubuh yang dingin. Aku telah berada di mesjid menyambut datangnya waktu shubuh. Untuk pertama kalinya sejak usiaku menyentuh angka akil baligh, aku akan melaksanakan sholat. Hatiku tergerak untuk menjadi insan yang lebih taat sejak kejadian mengerikan yang kulihat beberapa waktu lalu. Benar kata Si Kakek, bila anak kecil yang tiada maka sudah pasti syurga untuknya karena mereka adalah jiwa-jiwa yang suci. Tapi apa jadinya jika aku yang mati itu, padahal diri masih berlumur dosa, mungkin azab saja yang kuterima.
“Adik pasti sudah berada di syurga”. Bisik hatiku. Aku pun tersenyum membayangkan bagaimana indahnya syurga.
Belum ada tanggapan.