Oleh Budiawan Santoso
Pada 23 Maret 809 Masehi, Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah dari dinasti Abbasiyah meninggal. Sebelum itu, ia sempat berkata dengan mengutip perkataan seorang penyair. Begini bunyinya, “Mereka yang berasal dari ras yang hebat, harus berani menanggung nasib paling berat.” Hal itu, bukan berarti, ia hanya meninggalkan kata-katanya saja pada yang hidup. Harun Ar-Rasyid meninggalkan suatu kesedihan sekaligus keagungan tersendiri, yang tak bisa disamai oleh khalifah-khalifah berikutnya. Peninggalan Harun itulah, yang disuguhkan oleh Benson Bobrick dalam buku berjudul Kejayaan Sang Khalifah Harun Ar-Rasyid (2013).
Dalam buku ini, pembaca mendapati seorang khalifah Abbasiyah kelima, Harun Ar-Rasyid, sebagai Raja Diraja yang mampu memberi sumbangan kemajuan peradaban Islam dan dunia dalam skala besar. Perannya, yang tak lagi merupakan pengganti Nabi Allah, tetapi sebagai Bayangan Tuhan di bumi, mengawali sebuah zaman baru penuh kemakmuran dan keadilan—dipengaruhi tradisi despotisme Persia.
Sejarah, geografi, dan retorika; musik dan syair; serta ekonomi dalam bentuk pelajaran keuangan, tak terkecuali pelajaran agama yang membungkus semua mata pelajaran dan kehidupan Harun adalah suatu pelajaran, pengetahuan, sekaligus basis yang menjadikan dirinya sebagai khalifah tersohor di belahan dunia Timur dan Barat.
Kenyamanan publik, yakni dengan pembangunannya kantor pos setiap ibu kota provinsi; ratusan rute yang menghubungkan ibu kota kerajaan dengan kota-kota besar dan kecil; sistem jalan raya kerajaan yang bercecabang ke arah timur melalui Rayy, Merv, Bukhara, dan Samarkand; terus hingga kota-kota di Sungai Jaxartes dan perbatasan Cina, menjadi tampuk penting dalam kekhalifahan Harun, yang tak bisa dilepaskan dari pembuat dan penanggung jawab segala bentuk administrasi baru kerajaan, yakni Khalid al-Barmak.
Adapun, Yahya al-Barmak, anak dari Khalid al-Barmak, menjadi wazir (perdana menteri), yang telah diberi kekuasaan luar biasa oleh Harun, untuk mengangkat kepala-kepala departemen. Kecerdikan, kepiawaian, dan kebijaksanaan Yahya mampu mengatasi segala krisis yang mengancam kerajaan Harun. Yahya pun sadar dan memberi sokongan besar terhadap pendidikan maupun kesenian—termasuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai segala hal mulai dari astronomi dan astrologi hingga prisma; kebudayaan Hindu, dan tanaman obat. Itu, belum lagi bila pembaca mengetahui kecerdasan dan ketepatan waktu yang dimiliki Ja’far al-Barmak dalam mengurusi berbagai rumah tangga dalam kerajaan Harun. Kejayaan sang khalifah, Harun pun, tak bisa dilepaskan dari orang-orang di sekelilingnya, terutama keluarga Barmak. Sebab, di situlah, pembaca akan tahu proses dan masa Renaisans-nya Islam.
Pembaca pun kembali pada sosok Harun ar-Rasyid. Dalam bukunya Benson Bobrick, Harun diriwayatkan memiliki selera seksual yang rakus dan memiliki harem yang besar jumlahnya. Ini bukanlah sesuatu yang tabu pada masanya. Hanya saja, yang perlu menjadi garis bawah antara Harun dan hubungannya dengan para perempuan—terutama ketika ia menikahi para wanita yang berasal dari keluarga terhormat sekaligus dari kerajaan lain adalah bagian dari kecerdikan dan kelihaian yang instingtif dalam membangun kanal-kanal persahabatan dengan para penguasa lainnya. Itulah, yang membuat Harun berhasil melakukan diplomasi, mendapatkan bala bantuan dalam berperang, maupun berkembang dalam perdagangannya, yakni dari Asia sampai Mediterania.
Realitas lainnya, kekuasaan Harun mampu mengasimilasi budaya dan bahasa yang dipenuhi berbagai kelompok minoritas, seperti orang Yunani, Hindia Timur, China, Armenia, dan sebagainya, ke dalam budaya dan kebudayaan Islam. Sistem mobilisasi politik yang begitu gencar sampai ke pelosok Eropa, turut memberikan dampak signifikan pada eranya. Dan, lagi-lagi pembaca tahu dan sadar, bahwa satu-satunya jalan utama yang membuat jaya dalam segala hal, yakni pendidikan.
Pembaca tak akan heran apabila kekhalifahan Harun sangat mengepentingkan hal itu. Ini dibuktikan dengan aktivitas meningkatnya minat terhadap usaha intelektual: dalam botani, sastra, kimia, matematika, arsitektur, navigasi, geografi, astronomi, dan penerjemahan lebih dari seribu karya dari India, Persia, dan Yunani—yang juga direpresentasikan dengan produksi buku yang terus meningkat dan pesat, didirikannya toko-toko buku, dan universitas. Harun adalah penyokong berjasa dalam upaya literer, yang lewat dia juga, persoalan pendidikan dijadikan sebagai tujuan nasional.
Hanya saja, yang menjadi pengingat ketika membaca buku ini, tak selamanya pembaca disuguhi dengan segala kejayaan, optimisme, dan positivisme kekhalifahan Harun ar-Rasyid. Namun, pembaca disuguhi pula tentang proses melemah dan jatuhnya kekhalifahan Harun—salah satu yang tertandai oleh pembaca, bahwa dalam putaran takdir, kemewahan dan pendidikan, ternyata dapat mengantarkan pada sebuah kemerosotan atau jatuhnya kekhalifahan; serta rangkaian upaya maupun kehidupan para khalifah beserta amir di Baghdad, Cordoba, Toledo, Sevilla, dan Sisilia (pusat kebudayaan Arab mulai 878 hingga 1091).
Jadi, buku ini pun menjadi ‘sebuah kompilasi ensiklopedis yang penuh dengan berbagai catatan sejarah, etnografis, dan ilmiah yang menarik.’ Yang mana, pembaca (saya) mencatat bahwa di balik kejayaan sang khalifah Harun dan kemajuan peradaban Islam itu, tersirat spirit orang Muslim yang digerakkan oleh hasrat duniawi berpadu dengan semangat keagamaannya.
Belum ada tanggapan.