Pemaknaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara memang memiliki kekhasan. Meski ia mengakui belajar metode ala Montessori dan Frobel, ia punya gagasan sendiri dalam hal pendidikan. Ki Hajar Dewantara menganggap pendidikan memiliki tiga kata kunci pokok yakni kemerdekaan, kebebasan, dan kemandirian. Ketiga konsep pokok ini melahirkan konsep nasionalisme dan kebudayaan. Gagasan nasionalisme diambil karena Ki Hajar faham meski bangsa kita begitu majemuk, ia memerlukan persatuan dan kesatuan yang membawa kepada keselarasan serta kedamaian. Bicara soal kedamaian, kata ini merupakan salah satu asas pendidikan dalam taman siswa.
Sedangkan mengapa memakai konsep kebudayaan dalam pendidikan?. Ki Hajar tak ingin menjadi manusia yang lupa daratan. Ia memang pernah diasingkan ke negeri Belanda. Disana ia memang mempelajari ilmu pendidikan di negara manca, tapi ia sadar bahwa bagaimanapun juga pendidikan tak boleh melepaskan diri dari akarnya, dari sumbernya, dari jati dirinya. Seorang yang sudah berpendidikan tak boleh lupa bahwa ia dibesarkan oleh adat, tata krama, etika, serta nilai-nilai dari sebuah masyarakat di sekitarnya. Singkat kata, pendidikan perlu dibarengi oleh kebudayaan dalam perkembangannya.
Rupanya Ki Hajar Dewantara tak melihat di masa itu semata, tetapi juga melihat di masa-masa mendatang. Di bukunya Taman Indrya, ia mengurai bahwa Duludidjaman Belanda tak ada orang berfikir memasukkan permainan kanak2 itu di dalam daftar-daftar peladjaran sekolah rakjat kepunjaan pemerintah. Di HIS diberikan permainan2, sajang hanja Hollandsche Kinderpelletjes, jang tak berarti sedikitpun bagi perkembangan rasa kebangsaan di hati-sanubari kanak2 kita (dan djauh lebih rendah nilai kebudajaannja daripada dolanan anak bangsa kita). Dulu, di HIS anak-anak kita tidak boleh diberi peladjaran lagu2 dari bangsanja sendiri, misalnja tembang macapat, tembang gending dll. Njanjian jang mereka dapat ialah njanjian2 Belanda (h.27).
Apa yang dilihat Ki Hajar pun kini benar adanya. Ketika semakin menghilangnya nyanyian-nyanyian daerah, tembang macapat maupun tembang kebudayaan daerah sudah kian menghilang dari sekolah. Guru dan kanak2 kita tak semakin mengenali kebudayaannya sendiri. Kesenian gamelan seolah menjadi milik sekolah-sekolah tertentu semata. Padahal, dahulu pelajaran itu akrab dengan sekolah-sekolah di masa lalu. Bukan hanya karena pentingnya nilai budaya nyanyian-nyanyian serta musik daerah itu, tetapi juga karena sudah menjadi nafas dalam keseharian kita. Seni dan lagu daerah, dulu memang sudah menjadi bagian dari kebudayaan kita.
Akan tetapi karena tak diwariskan dan diajarkan turun-temurun, maka anak-anak kita semakin tak mengenali kesenian dan kebudayaannya sendiri. Inilah konsep yang menurut saya penting dari pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. Ia tak melepaskan kebudayaan sebagai bagian penting dari pendidikan nasional kita.
Dalam hal pendidikan, Ki Hajar Dewantara tak terlampau berpusing ria dengan urusan kognitif dan angka-angka. KHD lebih cenderung memikirkan bagaimana perkembangan jiwa dan pikiran anak. Karena itulah, ia mengambil konsep dan nama pendidikan yang ia canangkan bukan scul atau sekolah, tetapi lebih memakai nama taman. Taman siswa ingin menjadi ruang pendidikan yang kuturil dan nasional ( 1959 : 15).
Di masa-masa awal utamanya di anak usia dini, ketika di taman kanak-kanak, KHD berpendapat bahwa mereka masih berada dalam tahapan melatih pantja-indera. Karena itulah, pelajaran-pelajaran yang didapat di taman kanak-kanak bukanlah pelajaran yang serius. Anak-anak lebih diajak untuk menggiatkan tangan, kaki serta jiwa mereka, bukan pikiran mereka. Mereka anak-anak dilatih untuk mengenali tubuh dan fungsinya dengan baik utamanya adalah panca indera mereka.
Maka tak salah kalau taman siswa sering sekali mengadakan kegiatan kriya yang melibatkan tangan seperti membuat janur, membuat pincuk, yang bukan hanya bahannya dari alam, tetapi sering terjadi dalam keseharian kita. Manfaatnya makin jelas bahwa bukan hanya pikiran yang dilatih, serta fisik tangan dan kaki kita yang digerakkan, tetapi juga jiwa kita menginsafi bahwa pada kegiatan kriya kita, ada kebudayaan dan warisan kulturil bangsa kita.
Di sisi lain, taman siswa bukanlah lembaga pendidikan yang bernafaskan kolonial, tetapi nasional. Selain berbeda dari pendidikan kolonialisme dari segi materinya. Taman siswa adalah pendidikan yang menghindarkan diri dari pendektean, otoritarianisme, serta pendidikan ala militer. Taman siswa lebih mirip pendidikan yang berbasis kultural, bebas, serta membebaskan. Bukan hanya belajar senang, tetapi juga senang belajar. Istilahnya taman siswa adalah lembaga perguruan yang menghindari perintah dan ancaman dalam sistem pendidikannya. Bila melihat karakteristik ini, kita menduga pendidikan taman siswa benar-benar menerapkan pendidikan berbasis terbangunnya kesadaran.
Di buku Taman Indrya (1959) inilah, kita bakal disuguhi bukan hanya model atau kurikulum di taman kanak-kanak, tetapi juga bisa lebih rinci bagaimana gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara yang tak hanya mengarusutamakan proses, bukan hasil. Ki Hajar lebih condong pada pendidikan yang membebaskan bukan disiplin otoriter. Ia lebih memilih pendidikan yang menyenangkan, serta membuat jiwa anak makin bebas dan merdeka.
*) Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, tuan rumah Pondok Filsafat Solo
Belum ada tanggapan.