Oleh Arif Saifudin Yudistira
Goenawan Mohamad (GM), siapa tak kenal tokoh ini. Tokoh sekaligus penulis kawakan sekaligus mantan pemimpin di Tempo. Puisi menjadi sisi lain dari seorang tua ini. Puisi masih memikat dan menariknya untuk tetap menulis kehidupan dalam sisi puisi. Puisi ikut memberi sentuhan tak sekadar dalam wujud diksi dan kata-kata indah. Meski sudah berumur uzur, kata-kata masih mengalir dalam tubuh dan dirinya. Kita menikmati puisi tentu tak bisa melepaskan dari biografi sang penyair.
Tapi saya kira ini adalah pengecualian untuk GM. GM menulis puisi dengan penuh kesadaran estetis dan kesadaran biografis. Kesadaran estetis dan biografis menuntunnya menyusun kata-kata tak sekadar urusan estetis semata. Tetapi GM memperhatikan apa yang dimaksud dari kualitas puisi itu sendiri. Ia memerhatikan betul bagaimana puisi disebut berkualitas sebagaimana kata Robert Louis Stevenson “kualitas utama dari puisi adalah kepadatan dan kepekatan yang khas serta kesinambungan kedekatan jeda”.
Akan tetapi, GM pun tak mau meninggalkan yang utama dari puisi, yakni pembaca. GM menyampaikan ini dengan kalimat sederhana di pengantarnya : “mudah-mudahan pembaca menyukainya”. Ini tak hanya merupakan kalimat pengantar bagi seorang penyair untuk buku puisinya, tapi lebih dari itu, ia merupakan satu bentuk kesadaran biografis. Bahwa puisi tak tentu dianggap baik oleh pembaca satu, dan tak tentu di anggap buruk oleh pembaca yang lain. Puisi memiliki jalan dan pembacanya sendiri. Itulah kesadaran penyair yang dimiliki GM.
Daya Cipta dan Kreatifitas
Puisi tentu bisa dinikmati dengan alasan kepuasan atau bisa saya sebut pantulan dari kata-kata dalam puisi tersebut, atau sebaliknya dari kontekstualitas ide dan gagasan dalam puisi. Gagasan dan estetika adalah dua hal yang menjadi taruhan bagi penyair. Ia bisa jadi hidup dengan dua hal itu, atau sebaliknya ditinggalkan dengan alasan dua hal itu. GM menyadari, dengan kesadaran biografisnya, ia dengan sendirinya mengikutkan kesadaran estetis dalam puisinya. Kita bisa melihat dalam judul kumpulan puisinya. Gandari, tak hanya merujuk pada pengalaman biografis GM dengan wayang, tapi juga merupakan kesatuan dari penghayatannya terhadap khazanah cultural yang hidup dalam dirinya. Ini terlihat dalam petilan puisinya : ….. Dimana ‘aku’ hanya kata sebelum amnesia/ Mari kita pergi ke sebuah kota/ dimana kabar adalah tafsir yang terlambat (Gandari).
Penulisan puisi tak hanya merupakan penceritaan kembali sejarah Gandari sosok ibu kurawa, tapi puisi adalah sentuhan dan aksentuasi terhadap peristiwa sekarang. ‘Aku’ dalam petilan puisi ini bisa jadi adalah gandari sendiri atau kita yang hampir lupa terhadap khazanah kita sendiri. Pada bait berikutnya kita menemukan sebuah ajakan untuk melakukan penafsiran yang terlambat untuk urusan Gandari yang merupakan cerita bersilam-silam usianya. Saat puisi ini ditulis, GM barangkali merasa terlambat untuk menemukan Gandari dalam tubuhnya yang baru bisa ditulisnya 2010-2011.
Puisi GM tak seluruhnya merupakan kesatuan dari kesadaran estetis dan biografisnya. Akan tetapi, selain puisi Gandari, kita bisa menemukan judul puisi lain yang bisa kita lihat sebagai pantulan gaya menulisnya di esai.
Yang Tak Menarik Dari Mati /Yang tak menarik dari mati adalah kebisuan sungai ketika aku menemuinya/Yang menghibur dari mati adalah sejuk batu-batu,patahan-patahan kayu/ pada arus itu.
Puisi ini bisa dilihat dari sebuah ungkapan dan luapan perasaan penyair. GM menganggap kematian adalah sesuatu yang menarik sekaligus tak menarik. GM tak menganggap kematian adalah urusan kematian secara fisik, ia lebih membuat metafora kematian terlihat sebagai kematian ide. Kekayaan metafora ‘sungai’ membuat pembaca fleksibel melihat kematian, bisa jadi ia adalah kenikmatan dari sesuatu yang alamiah dan mengalir. Tapi sebaliknya kita akan melihat kematian sebagai prasasti ketika ‘batu’ dihadirkan untuk mengatakan kematian. Disinilah, sebenarnya GM lihai memainkan dan memadukan apa yang ada dalam konsepsi pikirannya tentang kematian dengan puisi yang singkat tapi tetap memikat.
Puisi ini lebih terlihat sebagai keseharian dan kesadaran biografis penyair ketimbang merujuk pada kesadaran estetis. Meski kita lihat dalam buku kumpulan puisinya Gandari ini, kita bisa menemukan keduanya berpadu jadi satu. Kesadaran biografis itu adalah keseharian GM di masa lalu dan saat ini. Bila dalam masa lalu kita melihat GM sangat menyukai wayang, maka kita bisa melihat judul-judul puisinya yang kerap merupakan pengalaman tubuhnya bersama wayang. Hikayat Sri Rama,Gandari. Maka di pengalaman dan kesadaran tubuhnya saat ini, kita menemukan puisi yang erat dengan tema-tema modernitas dan teknologis, seperti dalam judul puisi berikut : Di Plasa Dusun, Teleskop, Pada Sebuah Laptop. Selain itu, kita pun bisa melacak biografi dan ketekunan penyair sebagai seorang yang bergelut dalam dunia teater dan pementasan. Maka kita melihat judul-judul puisi yang bertautan erat dengan dunia tersebut seperti : Not, Adegan, Ritme, Aktor.
GM memang sudah tua, tapi ia tak berhenti bersuara melalui kata-katanya. Selain sudah menerbitkan kumpulan puisi sejak usia mudanya, di usia tuanya ia masih melakukan kerja ciptanya melalui menulis esai dan puisi. Dalam buku kumpulan puisi ini, puisinya bisa dilihat sebagai sebuah daya cipta yang tak henti dari seorang tua yang memunguti peristiwa di sebuah masa lalu dan masa sekarang yang erat dengan intensitas tubuhnya. Suguhan GM adalah persembahan, dan sebuah keberbagian antara penyair dan pembacanya. Melalui puisi Gandari itulah GM menyapa kita.
*)Penyair, Pegiat di Bilik Literasi Solo, Buku puisinya Hujan Di tepian Tubuh (2012)
Belum ada tanggapan.