Siapa Moh. Fathor Rois? Pertanyaan simpel ini menuntun kita untuk mengenal penulis beserta bukunya berjudul Menyimak Kisah dan Hikmah Kehidupan Nabi Khidir (2015). Dimana, kehadiran buku ini bermula dari si penulis dihadiahi sebuah kitab oleh Kak A. Warits, Direktur Lakpesdam NU Kabupaten Sumenep, judulnya az-Zahr an-Nadhir fi Naba’ al-Khadir karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani—sebuah kitab berisikan banyak data dan cerita tentang laki-laki misterius bernama Khadhir (orang kebanyakan menyebutnya Nabi Khidir).
Dari kitab pemberian itu, ia mau menerjemahkannya. Tapi, ketika niat itu timbul, keraguan muncul, karena setelah melakukan perbandingan dengan sumber-sumber yang lain, ternyata banyak keterangan tentang Khadhir yang tidak tercantum dalam kitab az-Zhar an-Nadlir itu. Pertimbangan tidak gegabah itulah, yang membuatnya tak langsung menerjemahkan, tapi ia berusaha menulis sendiri buku tentang Khadhir berdasarkan sumber-sumber bacaan seirama dengan isi az-Zahr an Nadlir (hal. 6), dan hasilnya buku ini.
Adapun buku ini menyuguhkan tentang nama dan nasab Khadhir, kelahiran, masa hidup, sebab dinamai Khadir, status spiritualnya, perdebatan tentang kekekalan Khadhir, dan tentu saja, paling banyak disuguhkan, yakni kisah-kisah tentang Khadhir. Seperti, Khadir bersama Dzul Qarnain, Musa, Rasulullah saw., Khadhir menjadi budak , Khadir melawan Dajjal, Khadir bersama Ilyas a.s., Umar ibn Khattab r.a., Abu Ishaq al-Marastani, bahkan sampai ada kisah Khadhir bersama Kiai Khalil Bangkalan, dan bersama K.H. Raden As’ad Syamsul Arifin.
Kisah-kisah dihadirkan Rois dengan menyelisik pelbagai sumber, yakni kitab suci, kitab-kitab klasik, dan referensi-referensi terkini. Tentu, dari membaca kisah Nabi Khadhir dalam buku ini, pengetahuan dan pemahaman tentangnya bertambah melimpah. Kita mahfum bahwa Nabi Khadhir merupakan sosok misterius, kisahnya menggema mulai dari dulu hingga kini. Sampai-sampai, kisahnya menjadi perdebatan panjang dan sengit di antara ulama. Sebagian, khususnya kalangan sufi, berkeyakinan bahwa Khadhir masih hidup sampai sekarang. Sebagian lain, khususnya para muhadditsin (ulama ahli hadis), berkeyakinan Khadhir telah wafat (hal. 27).
Lebih lanjut, golongan pertama berpegangan pada sejumlah hadis yang menceritakan pertemuan Khadhir dengan Rasullullah saw. dan para sahabat sesudahnya, bahkan dengan sejumlah ulama, dari dulu sampai sekarang. Sedangkan golongan kedua mendasarkan keyakinannya kepada satu hadis sahih yang menyatakan bahwa tidak ada orang di muka bumi yang hidup melebihi seratus tahun dari hijrahnya Rasulullah saw., sedangkan hadis-hadis yang diceritakan oleh golongan pertama dipandang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah (landasan) (hal. 27-28).
Hal ini, bisa memberi keterangan pada pembaca bahwa kenapa Rois tidak gegabah untuk langsung menerjemahkan kitab pemberian Kak A. Warits, Direktur Lakpesdam NU Kabupaten Sumenep, judulnya az-Zahr an-Nadhir fi Naba’ al-Khadir karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani. Di sisi lain, itu menjadi penanda sekaligus pengingat bagi kita (pembaca) bahwa suguhan Rois tentang kisah dan seluk beluk mengenai Nabi Khidir, tak seluruhnya, dijadikan landasan atau kita amini dan imani.
Saya menyatakan itu, sebab, Rois sendiri telah memberi keterangan-keterangan di setiap tulisan atau kisah-kisah Nabi Khidir yang ia hadirkan dalam buku ini. Dari lubuk hati saya (pembaca), terbersit tanya agak naif, begini: ‘Jika kita tak seluruhnya amini dan imani kisah-kisah Nabi Khidir dalam buku ini, kenapa Rois harus bersusah payah untuk menulis, menerbitkan buku ini agar dibaca?’
Sebagai pembaca, saya memberi pernyataan atas pertanyaan sendiri—barangkali, pertanyaan itu juga terbersit dalam benak pembaca lain. Yakni, buku ini dihadirkan si penulis, sebab, selain menjadi informasi bisa memperkaya pengetahuan kita—yang pada kenyataannya masih minim atau miskin tentang seluk beluk dan kisah Nabi Khidir; juga memberikan pelajaran dan pengajaran pada kita untuk mencermati dan meresapi segala kompleksitas kehidupan, terutama terkait masa kini.
Dari kompleksitas hidup ini, maka, setiap realitas yang hadir dalam hidup kita, entah secara langsung atau tidak langsung; entah dari sumber utama apalagi sumber lain yang sudah tercampur dengan pelbagai hal, tak sepenuhnya, kita telan, resapi begitu saja, tanpa harus dipikir, dipertimbangkan, dan ditanyakan kebenarannya, dan dicermati-ditelaah mendalam. Justru, sebaliknya, dari hal semacam itu, kita harus memikir, mempertimbangkan, menanyakan, dan mencermati-menelaah mendalam, seperti yang ditulis Moh. Fathor Rois dalam buku ini. Dimana, lebih jelasnya, menyimak kisah Nabi Khidir dalam buku ini, bila dicermati, kisah-kisah perlu kita saring. Sebab sekali lagi, ia telah memberi keterangan ada kisah bisa dijadikan landasan kuat, diragukan, atau sama sekali tak bisa dijadikan landasan bagi kita.
Lebih dari itu, kisah-kisah telah tersaji dalam buku ini, bisa kita ambil, serap, dan resapi hikmahnya, terwakili lewat judul buku ini. Yakni, pelbagai hikmah dari membaca kisah Nabi Khidir, seperti kepatuhan, kebijaksanaan, kejujuran, kemurahan hati, kesabaran, ketabahan, kekuatan, kepercayaan terhadap hal gaib, dan tentu saja, hubungannya dengan Tuhan.
Belum ada tanggapan.