Hujan Tak Pernah Salah

Matanya hampir tak berkedip, terlihat genangan di dalam bola mata itu. Genangan itu tak sebesar arus di depannya, tapi cukup mengoyak hati. Nafas Marsudi terlihat berat, dia menarik dadanya ke atas mencoba menahan  air mata agar tidak tumpah. Malu rasanya apabila harus menangis, apalagi dia seorang laki-laki.

Tapi laki-laki juga manusia, dia punya segala rasa: suka dan duka. Selama hidupnya mungkin dia akan menangis untuk kedua kalinya, lima tahun lalu saat wanita yang mengandungnya wafat, dan sekarang. Sekarang dia menangis. Menangis di atas genangan air yang maha luas. Marsudi mengambang di atas ban, menatap haru satu-satunya peninggalan Emaknya, rumah sederhana yang kini tinggal nama. Atapnya telah tertelan air bah selama penghujan ini, dan badan rumah yang tak lagi kokoh sudah dapat dipastikan hancur.

“Aku tak punya tempat tinggal lagi, Mak!”

Marsudi merintih. Sementara tangannya terus mengayuh ban pelampung itu. Dia menyusuri perkampungannya yang kini bagai danau.

Di ibu kota, Marsudi sudah terbiasa menghadapi terjangan air bah yang datang hampir tiap tahun. Tapi selama ini dia bisa mengatasinya. Gerobak jualannya tak sampai hanyut, rumahnya tak sampai tertelan arus. Tapi kali ini sungguh berbeda. Arus kuat itu telah menelan semuanya, kecuali jiwanya dan pakaian yang hanya melekat di tubuh.

Marsudi segera menepikan perahu ban yang ia pinjam dari seseorang. Sendirian dia berkeliling kampung yang kini telah berubah wajah. Sudah beberapa hari ini dia ada di pengungsian bersama warga lainnya, dan tadi pagi tiba-tiba dia merasa rindu akan gubuknya yang ia sebut sebagai istana, sebab di sanalah masa-masa kecil yang bahagia ia lewati.

“Bagaimana keadaan kampung kita setelah tadi kamu berjalan-jalan?” Tanya Pak Imam, seorang pensiunan guru sekolah dasar yang menjadi ketua RW.

“Mengenaskan, rumahku hilang. Atapnya sudah tak terlihat.”

“Bagaimana dengan rumahku?”

“Masih bagus, pak! Lantai dua bapak masih terlihat kokoh. Bapak sangat beruntung.”

“Yang sabar kamu, Sudi.  Nanti pasti ada gantinya dari pemerintah.”

Marsudi hanya terdiam. Malas rasanya menimpali kembali omongan Pak Imam. Menengadah tangan dan mengiba pada yang terhormat di atas sana bukanlah pilihan bagi Marsudi. Iya kalau segala keluh kesahnya di dengar dan Marsudi dapat memiliki bantuan tempat tinggal, bagaimana kalau teriakannya itu hanya dianggap angin lalu, sudah pasti kecewa.

Bagi Marsudi, bertawakal dan berikhtiar sendiri adalah jalan yang tepat, walau berat. Tapi dia yakin dia mampu bangkit suatu saat. Dia bertekad akan memulainya dari nol, apabila air telah surut nanti. Mungkin saja hidupnya akan terasa terseret-seret arus sebab tak segenggam bekal pun yang ia punya. Tapi benar juga kata Imam, barangkali saja pemerintah mau memberikan bantuan berupa modal. Meskipun Marsudi menyadari, bahwa di atas tanah yang dipijaknya ini tidak melulu sekedar banjir yang harus diurusi, ada tanah longsor dan penyakit yang sedang mewabah. Semua yang terdampak sama-sama berharap akan bantuan,maka jangan kecewa jika bantuan yang akan diterimanya hanya cuma-cuma.

Namun, terlalu baik hati juga ya jika Marsudi terlalu bertoleransi pada bantuan kecil dari pemerintah, sementara korupsi merajalela bahkan disaat rakyatnya menderita.

“Ah persetan dengan koruptor, biar mereka membusuk di perut bumi bersama harta haramnya.” Tiba-tiba Marsudi merasa marah, ada rasa ingin menampar keji wajah-wajah maling tak berhati itu. Para maling yang memamerkan muka penyesalan saat pertama kali ditangkap, tapi kemudian bisa kerasan dalam tahanan karena konon katanya kamar tidurnya bahkan lebih mewah dari ranjang kamar Marsudi.

“Hujan kali ini memang berbeda, curahnya tinggi. Makanya banjirnya bisa seganas gini. Kita semua kena susahnya.” Tiba-tiba terdengar lagi suara Pak Imam. Memecah keheningan.

“Hmmm…jangan menyalahkan hujan, pak. Dia tak pernah salah.” Bela Marsudi sambil meniup-niupkan asap rokok dari mulutnya.

“Lah..kan banjir ini gara-gara hujan, kalau kemarau kan gak mungkin banjir.” Terdengar suara Pak Imam aga tinggi.

Marsudi tersenyum kecil, “tidak hanya manusia yang butuh tempat tinggal, air juga. Kalau tempat tinggalnya dirusak manusia, sungainya diambil alih menjadi tempat sampah raksasa, ya pasti air pun murka. Manusia harusnya menyadari itu, tapi sayang manusia selalu pura-pura lupa akan kesalahannya. Matanya ditutup rapat dari perbuatan kejinya, mereka enggan mengakuinya. Ujung-ujungnya mencari kambing hitam, menyalahkan pemerintah. Mereka lupa bahwa pemerintah juga manusia biasa, tidak bisa menghalau banjir hanya dengan kedua tangannya.

Mereka hanya bisa menciptakan peraturan. Dan peraturan itu akan menjadi kekuatan yang sakti apabila kita sebagai warganya bisa taat akan aturan itu. Pemerintah bilang jangan buang sampah ke sungai, tapi kita tetap ngeyel. Percuma. Semua usaha sia-sia. Air bah ini akan tetap terwariskan ke anak cucu, dan parahnya lagi mereka akan selalu menyalahkan hujan.”

Pak Imam terdiam mendengar perkataan Marsudi. Rupanya hatinya sedikit tergores oleh ucapan Marsudi tadi. Bagaimana tidak, setiap hari dia atau istrinya selalu membuang sampah ke sungai yang ada di belakang rumahnya. Bukan dia tak menyadari perbuatan salahnya itu, tapi sebenarnya dia malas kalau harus membayar uang bulanan sampah pada petugas.

“Lima belas ribu hanya buat bayar sampah, mending buat rokok.” Begitu Pak Imam beralasan.

Udara malam menembus perih tulang-tulang. Anak-anak kecil menangis kedinginan. Di luar lapak pengungsian, gemuruh petir saling menyambar. Hujan sejak beberapa jam lalu tak kunjung reda. Setiap butiran yang jatuh ke bumi selalu menumbuhkan rasa takut yang tak berkesudahan. Ada yang menggerutu memaki hujan, menghardiknya tanpa logika. Dia tidak sadar bahwa tanpa air hidup manusia akan lebih sengsara.

“Sudahlah Pak Hamdan, tidak usah memarahi hujan. Dia tidak bisa mendengar. Mending kita bersabar.” Marsudi mencoba menenangkan tetangganya yang dari tadi sibuk dengan sumpah serapah atas datangnya hujan yang lebat.

“Bagaimana aku tidak kesal, rumah dan pekerjaanku menjadi acak-acakan karena curah yang tinggi ini!”

“Istighfar, pak! Ini ujian. Jangan sampai karena ucapan yang tidak beradab Tuhan malah menambah lagi bencana.”

“Ah diam sajalah!”

Wajah Pak Hamdan begitu penuh dendam, dendam yang tak masuk akal. Dia mendendam pada benda yang bahkan tak punya nyawa. Dia mendendam pada benda yang selama ini memberikannya penghidupan yang layak sebagai seorang peternak ikan.

Baca Juga: Tersingkir dan Terbuang 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan