Tersingkir dan Terbuang

Nasibku sudah seperti lumut saja. Aku menempel di bahu jalan, pondasi tiang listrik, dinding pasar dan terkadang di teras ruko. Namun pantatku hanya bisa duduk sejenak. Saat fajar menyingsing, aku dan pedagang tanpa sepetak tanah lainnya diusir dari tempat-tempat itu.

Kami dianggap merusak ladang rezeki pedagang resmi. Mereka memperlakukan kami hampir seperti hama. Nyatanya, kami memang mondar-mandir berpindah, bagai lalat hijau yang suka hinggap di daging ayam. Hal ini membuatku hina.

Sejak subuh, aku sudah tiga kali diusir. Pertama dan kedua, aku diusir oleh ibu-ibu pedagang sayuran dan pemilik ruko. Ketiga, aku diusir tukang parkir saat kugelar dagangan di balik tembok pagar masjid seberang pasar. Keranjang buah nanasku ternyata memakan tempat selebar dua sepeda motor dari tambang uang receh miliknya.

Cara mereka mengusir kami beragam rupa. Mulai dari menggelar dagangan tepat depan buah nanasku seolah aku hanyalah angin, memintaku pindah dengan sopan untuk membuat kami sungkan, dan kadang membentak kasar. Selain itu, ada cara lain yang paling menggangku yaitu tatapan pedagang nanas kupas di seberang jalan sana. Sepertinya ia merasa tersaing oleh kehadiranku.

Semua pedagang tanpa sepetak tanah telah berangsur pergi saat fajar membuat baliho di sepanjang ruko depan pasar nampak segar berseri-seri. Mereka lelah diusir terus-terusan, tetapi aku tetap bertahan disini.

Aku tidak peduli meski sekarang harus berjualan di samping gang sempit pasar berdekatan dengan keranjang sampah. Ya Tuhan, bahkan seorang pengemis pun akan malu jika lama-lama berjongkok di sini!

Silakan taksir sendiri berapa harga sepetak tanah disini. Bahu jalan selebar setengah meter yang berlumpur dan berlumut menjadi tambang uang yang kerap diperebutkan. Bahkan seseorang mampu untuk menafkahi satu keluarga dengan sepetak ruang di atas plester penutup parit yang berbau menyengat.

 “Setoran mas!” pikiran kusutku buyar. Seorang pria umur lima puluhan berdiri di depanku. Ia melempar-lempar beberapa keping uang receh di telapak tangannya. Bunyi gemercik pun timbul saat keping logam itu mendarat, menubruk keping lain di tanganya.

Ia adalah petugas pasar. Aku mengenalinya dari rompi yang ia kenakan. Sejak hari pertama aku datang, pria tua itu telah menarik uang lapak ilegal dariku.

Aku mendongak, menatap wajah berpori-pori lebar itu. Kedua mata sinisnya tak berubah sama sekali sejak pertama bertemu. Hanya saja, raut mukanya di pagi ini terasa amat sangat memusuhiku daripada sebelumnya. Aku menduga ia diprotes lebih keras oleh pedagang resmi karena tidak segera mengusir seekor lalat sepertiku.

 “Belum ada duit pak, dari tadi diusir terus gimana dapat duit?” ucapku sambil menarik kain kantong jaket yang kumal. Tak ada isi apapun di dalamnya selain remahan tembakau dan abu puntung rokok. Namun bukan pengertian yang kudapat dari petugas pasar. Ia justru justru memincingkan mata, terasa hendak berkata “pergi dari sini!”

Pandangan petugas pasar ini membuatku meradang. Aku pun lalu bangkit berdiri dan memasang sikap menantang. Ia terkaget, namun sigap membalas sikapku dengan pelototan mata.

“Pria tua ini harus diajari mengerti nasib orang lain” batinku mendidih. Sungguh ini tidak adil. Mengapa ia bisa cari makan tanpa perlu sepetak tanah atau barang dagangan disini?

Kami berdua bersitegang sejenak. Adegan perang dingin singkat ini menyedot perhatian para pedagang maupun pembeli yang kebetulan sedang lewat. Riuh kerumunan orang terhenti sejenak. Seluruh tubuhku bisa merasakan tatapan-tatapan mereka. Aku tahu, mata para pedagang itu berharap-harap cemas menanti pengusiranku.

Aku sadar tak punya pendukung. Amarah protes yang sudah menohok kerongkongan harus kutelan lagi. Aku lalu membuang muka dari si petugas pasar dan mengkemasi daganganku. Perang dingin pun berakhir. Petugas pasar meninggalkanku sembari mengomel tak jelas. Sesekali ia menoleh dan menuding ke arahku saat berbicara dengan penjual nanas kupas yang tersenyum-senyum di seberang jalan.

Ya tentu saja! petugas pasar itulah yang diuntungkan oleh pertunjukan jalanan ini. Kehadiranku sejak awal sudah tak diinginkan oleh pedagang-pedagang lama. Pria tua itu otomatis menjadi pahlawan, sedangkan aku adalah tikus parit perusak pelarisan.

Aku bersiap pergi dan menyalakan motor. Tiba-tiba, aku tersentak oleh sebuah bisikan di kepala saat kuraih seluler dari saku celana untuk melihat waktu. Bisikan itu sangat sugestif dan menggoda.

Setan selalu datang menolong jiwa-jiwa tersakiti! Gagasan brilian yang tiba-tiba menubrukku ini menggoreskan senyum licik di bibirku. “Tunggu saja! Akan kubuat sepi dagangan mereka” ucapku dalam hati.

Aku punya gawai berukuran lima inci. Walau sudah retak di tiap sudutnya, alat ini masih ampuh untuk merontokkan pasar mereka. Lihat saja!

****

Cuaca terasa ikut membenciku. Terik siang hari di kota membuat semangatku terlalu cepat mengabu. Sungguh aneh, ada siang yang begitu menyengat di tengah musim hujan seperti ini.

Jerih payahku hari ini hanya terbayar dengan lima buah nanas, setara dengan harga enam batang rokok kretek murahan ditambah rasa iba. Selebihnya, belasan warung menolakku. Mereka memberi senyum yang menurutku begitu memuakkan saat menunjukan stok buah nanas yang mereka beli di pasar tadi pagi. Tidak hanya itu, mereka bahkan menolak saat kumintai nomor telepon. Mereka tak berniat berlangganan buahku. Sungguh menjengkelkan! Rencana balas dendamku pada pedagang pasar tak semudah aku kira.

“Nanas kecut ya?” Aku kembali disambut oleh pertanyaan ini untuk ke sekian kalinya. “Ah! saya tidak jadi beli mas. Pelanggan rujak saya tak suka nanas kecut. Mereka maunya nanas manis. Rujak saya tidak laku nanti.”

“Ya wajarlah Bu. Buah-buahan banyak yang berasa asam sepanjang musim hujan seperti sekarang. Lagi pula nanas saya tidak disuntik obat kimia pemanis seperti nanas umumnya. Ibu dan pelanggannya justru jadi sehat bukan?”

“Enggak mas, enggak dulu!” Ibu penjual rujak itu membuang muka. Niat baik serta kemalanganku ini tak berguna sama sekali. Apa mereka kira buah organik ini pembawa sial? Seharusnya mereka sedikit menghargai buah sehat yang kujual. Sungguh ironis sekali jika buah sehat berkualitas ini bertemu dengan lidah-lidah kerdil.

Rasa kesal membumbui hatiku sepanjang jalan masuk jauh ke wilayah desa dan meninggalkan warung rujak. Aku kemudian berhenti di sebuah warung sayur kecil di kiri jalan.

“Nanas Bu, dari pertanian organik, menyehatkan jika dikonsumsi Bu.” Wajah ibu itu berkerut seolah sedang menggelisahkan sesuatu. Ia menatapku dan keranjang nanas secara bergantian. Huh! Pertanda sial. Dia pasti menolak daganganku. Namun aku tak peduli. Aku tetap menghampirinya.

“Duh maaf nak, ibu sudah tidak boleh jualan keliling sama bapak.” Ia diam sejenak, seolah hendak mengungkap sebuah rahasia. “Andai saja ibu masih boleh berjualan keliling ke rumah-rumah seperti dulu, ibu pasti beli semua nanas kamu.” Kedua bola matanya lalu menerawang jauh. Sikapnya itu malah membuatku heran.

“Aduuhh, maaf nak, ibu malah jadi melamun”

“Ah, tidak apa-apa bu, santai saja. Kalau saya boleh tahu, mengapa ibu tidak jualan keliling lagi?” Tanyaku berbasa-basi.

“Oh itu sudah enam bulan lalu nak.” Ibu pemilik warung menceritakan semasa dia masih berjualan keliling. Ia juga mengaku bahwa berdagang adalah kegiatan yang paling ia sukai. Setiap hari, dia bisa mengolah beberapa segmen pasar.

Mulai petang dini hari, ia menjual gorengan di pasar. Ketika fajar mulai menyingsing, ia berjualan kue keliling di sepanjang desa jika tidak berjualan di kos mahasiswa dan perumahan. Di siang hari hingga sore ia membuka warung menjual sayur yang ia beli di pasar tadi pagi. Aku kagum pada keuletannya. Tidak heran jika ia sanggup membiayai tiga anaknya hingga tamat gelar sarjana.

****

Tak terasa hangat sore mengajak siapapun untuk pulang. Kami masih tenggelam dalam obrolan yang bersahabat. Ya Tuhan, aku telah berburuk sangka kepada ibu ini. Ia bahkan menyemangatiku dan memberi gagasan agar buah nanasku bisa memperoleh nilai tambah

“Mas, bikin nastar saja dari buah nanas. Sebentar lagi kan bulan puasa, nanti pasti laku keras.” Ia begitu bersemangat walau barisan giginya sudah tanggal serta tidak beraturan. Ia tak kalah hebat dari seorang motivator seminar kewirausahaan.

Aku mengikuti penjelasannya sembari membayangkan angka-angka keuntungan yang ia sebut. Sesekali aku juga ikut tertawa. Hanya saja aku sebenarnya tak menikmati seluruh percakapan ini. Aku berlagak seolah terkagum dengan saran-sarannya agar tak merusak semangatnya saja. Pikiranku masih kacau oleh kegagalan rencana untuk mengambil alih semua pembeli nanas di pasar melalui seluler pintar.

“Wah lumayan juga Bu, apalagi kalau nanti saya pasarkan via online. Bisa cepat kaya nih.” Ibu pemilik sayur itu mendadak terdiam. Raut wajahnya berubah serius dan dingin. Sungguh! Aku tak menduga respons ini sama sekali. Aku menjadi salah tingkah dan dengan perlahan membersihkan sisa-sisa tawaku yang berlepotan di mulut.

“Ibu tak suka zaman seluler pintar seperti sekarang.” Aku hanya menyimak saat ibu itu memecah kebisuan yang sejenak ia ciptakan sendiri. Detik terasa lebih keras mengetuk hatiku saat menebak-nebak kalimat apa yang akan keluar darinya kemudian.

            “Sebelum ada seluler pintar, dagangan ibu selalu habis begitu tiba di kos-kosan mahasiswa atau di perumahan. Ibu bisa untung bersih seratus ribu di pagi hari.”

“Zaman sekarang, kalau lapar tinggal pencet, makanan datang sendiri. Setiap ibu datang ke rumah-rumah atau kos mahasiswa seringkali mereka sudah memesan makanan melalui seluler pintar. Anak-anak mahasiswa tak perlu menunggu jajanan ibu lagi.” Ia merunduk, menghela napas panjang seolah udara di warung sayurnya telah menipis. Sejenak kemudian, ia menatapku dengan tajam.

“Sejak ada seluler pintar, dagangan ibu tak laku. Kue-kue itu ibu bagikan kepada tukang becak yang sedang parkir sepanjang jalan raya kota. Nasib mereka juga sama dirugikan oleh seluler pintar. Mereka hanya bisa tidur-tiduran di becak siang dan malam karena sepi penumpang.”

Ia lalu menatap dagangan sembari mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan keluh kesah. Jemari keriput berusia separuh abad itu mengusap-usap sayuran layu di hadapannya.

“Tak lama kemudian ibu jatuh sakit karena kelelahan mencari pembeli. Bapak akhirnya melarang ibu berjualan keliling. Padahal  kegiatan itu adalah kesenangan ibu.”

Aku menghela napas panjang sembari mengintip seluler pintarku di balik saku. Ya Tuhan, haruskah niatku pagi tadi benar-benar berhenti disini? Aku merasa jengkel dan menyesal sekaligus. Rasa dendam dan dorongan nurani yang muncul bersamaan di hati membuatku sangat lelah secara tiba-tiba.

            “Bu, mulai besok ibu bikin jajanan lagi ya.” Ucapku kemudian. Ibu itu nampak bingung oleh permintaanku barusan. Aku lalu tersenyum sembari menunjukkan benda persegi yang ia kutuki sedari tadi. Ia tak menggubris.

Aku menduga, ibu itu sebetulnya tak suka pada anak generasi gadget sepertiku yang menghancurkan kehidupan orang-orang kecil seperti dia. Ucapanku tadi, lebih tepatnya dendam yang kusembunyikan ini, menyinggung luka hidupnya.

            “Saya pamit dulu ya bu, besok pagi saya kesini. Mudah-mudahan kue jajanan ibu sudah siap jadi bisa saya bawa. Selamat sore.” Aku meninggalkan ibu itu yang masih tenggelam dalam tanya. Apakah dia akan membuat kue lagi? Entah, aku tak peduli.

Sepanjang jalan pulang, pikiranku tak menentu. Ada bagian hatiku memprotes mengapa aku bersedia menyusahkan diri seperti ini? Tak ada yang menjawab. Badanku berjalan pulang, tak menggubris, seolah sudah jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan berbau filosofis. Oh kegelisahanku yang malang! Ia meringkuk dirundung sepi.

Baca Juga: Tersesat

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan