Ibnu Taimiyah- Antara Kalam dan Filsafat karya Nurcholis Madjid ini penting untuk memahami ideologi wahabi. Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama masyur dan terkemuka dalam dunia islam. Beberapa orang mengaitkannya dengan ideologi wahabi. Ia lahir di masa-masa sebelum Baghdad runtuh tepatnya 22 Januari 1263 M di Harran. Saat usia balita ia sudah lari dari kejaran Mongol ke Damaskus. Lahir sebagai keluarga Hambali yang terkemuka. Ayahnya adalah cendekiawan hadis terkemuka pengikut tradisi Hambali. Ia dilahirkan saat masyarakat di masa itu banyak dari mereka melakukan perayaan maulid nabi yang berlebihan.
Di zaman khalifah al-Ma’mun kerap terjadi persekusi antara mahzab yang tidak sejalan. Ibnu Taimiyah menjadi bagian dari yang merasakan persekusi di waktu itu. Perhatian utama reformasi Ibnu Taimiyah adalah membebaskan orang-orang Muslim dari penerimaan secara tidak kritis terhadap doktrin dan meluncurkan kampanye yang akan membuat mereka menyadari konsep-konsep Islam yang sederhana, sahih, efektif dan asli. Dengan kata lain, Ibnu Taimiyah hendak membawa Islam puritan.
Kondisi masyarakat yang semakin banyak terpengaruh oleh takhayul dan fatalisme merupakan hasil dari tasawuf popular. Ia lontarkan kritik yang keras kepada ijma pada waktu itu. Ijma yang menurutnya layak kita ikuti adalah ijma di masa ketiga generasi pertama muslim atau sering disebut sebagai generasi salaf. Pemurnian yang dilakukan Ibnu Taimiyah adalah pemurnian kembali kepada al-quran dan sunnah.
Tidak berhenti pada kritik tasawuf popular yang ia nilai sebagai sebuah kemunduran masyarakat, ia juga keras terhadap falsafah karena ia memandangnya sebagai sumber segala kecenderungan penyimpangan dalam akidah Islam (h.87).
Kritik Ibnu Taimiyah itu disebabkan masyarakat di masa itu kemudian menganggap persoalan-persoalan prinsipil termasuk Tuhan menjadi perbincangan dalam filsafat. Sehingga memungkinkan mereka memahami Tuhan dari kaca mata filsafat atau objek layaknya manusia. Padahal Tuhan tidak bisa dijangkau, dan memiliki sifat yang berbeda dari manusia.
Ibnu Taimiyah membantah doktrin monisme (dikenal sebagai doktrin wahdah al wujud) seperti yang tercermin dalam ajaran Ibnu Arabi merupakan ancaman paling serius dalam agama Islam [h. 168].
Bantahannya terhadap logika (al-manthiq) adalah yang paling ekstensif dan sistematik diantara kritik-kritiknya terhadap falsafah. Demi mengkritik logika ia menulis dua karya Naqlal-manthiq dan al-Radd ‘ala al-Manthiqiyin’ [h.169].
Nurcholis Madjid atau Cak Nur dalam bukunya Ibnu Taimiyah : Antar Kalam dan Falsafah (2020) menerangkan pikiran pokok dan kelebihan Ibnu Taimiyah dibanding dengan pengikutnya kelak. Menurut Ibnu Taimiyah, manusia hanya boleh menggunakan nalarnya terhadap agama sebagai sumber sekunder—untuk membuat analogi ketika diperlukan untuk mencapai kebenaran-kebenaran baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks-teks suci (h.206).
Cak Nur menilai kritik yang dibawa Ibnu Taimiyah dengan semangat penekanan pentingnya ijtihad dan perlawanan terhadap taqlid mestinya menjadi sumbangan besar terhadap muslim modern. Akan tetapi teladan anti taqlid dan pentingnya ijtihad dalam konsep pembaruan Ibnu Taimiyah justru tidak terlalu digubris oleh pengikutnya para ideolog wahabi yang menekankan perlunya kembali kepada al-quran dan sunnah.
Penolakan keseluruhan yang tidak bersumber pada quran dan sunnah serta perang terhadap mereka yang bertentangan dengan al-qur’an dan sunnah dan memusuhinya menjadikan ideologi wahabi menjadi tidak simpatik di kalangan sunni.
Nurcholis madjid dalam buku Ibnu Taimiyah : Antara Kalam dan Falsafah (2020) memberikan batas tegas dan posisi pemikiran Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah percaya pada metode intuitif al-quran yang mengakui fitrah manusia yang bakal menemukan Tuhan. Sementara, ini berbeda dengan pandangan para filsuf yang anggapan Tuhan memiliki sifat-sifat yang diobjektifikasi seperti makhluk. Sehingga para filsuf dianggap sesat dan menyesatkan.
Pada pungkasan buku ini, Cak Nur melihat perlunya memadukan pemikiran purifikasi ala Ibnu Taimiyah dipadu dengan toleransi dan moderasi. Sehingga pemahaman seperti Ibnu Taimiyah di masyarakat tidak selalu identik dengan kaku, keras dan saling baku hantam dengan yang beda pemahaman dan pemikiran. Keberhasilan Cak Nur menjelaskan pola pemikiran Ibnu Taimiyah yang anti terhadap taqlid dan mendukung pada ijtihad dalam beragama membuat kita lebih memahami pemikiran ideologi wahabi ini.
Saya mengandaikan bila para pengikut wahabi ikut serta membaca buku Ibnu Taimiyah : Antara Kalam dan Falsafah karya Nurcholis Madjid, tentu mereka tidak lagi kolot, kaku, dan menyerang yang memiliki pemahaman keagamaan yang berbeda.
Ditulis pertama kali tahun 1984, karya Cak Nur yang brilian ini memiliki relevansi hingga saat ini. Ibnu Taimiyah diangkat Cak Nur karena memiliki metodologi yang menarik dalam menyuarakan ijtihad pada masa itu untuk mencegah helenisme yang marak.
Suara Ibnu Taimiyah yang kritis terhadap ulama yang mengabdi terhadap petinggi kerajaan membuat dirinya menjadi kurang harmonis kepada penguasa. Ia pun kerap dipenjara berkali-kali hingga kematiannya di Damaskus.
Doktrin Ibnu Taimiyah kembali kepada al-qur’an dan sunnah yang disalahtafsirkan oleh para penganut wahabi justru tidak relevan dengan kritik sang filsuf terhadap helenisme. Penyingkiran terhadap yang berbeda paham dan juga perang terhadap sesama muslim justru jauh dari visi Ibnu Taimiyah kala itu.
Semangat ijtihad dan anti taqlid yang dibawa Ibnu Taimiyah justru kurang dirasakan sampai saat ini. Inilah relevansi Cak Nur mengangkat pemikiran Ibnu Taimiyah kepada kita semua.
Belum ada tanggapan.