Saya tak mampu mengelak dan menolak, ketika ibu membawa napas waktu telungkup dalam kepahitan yang menantang. Saban petang, perempuan itu meloincat-loncat, meninju perutnya yang melembung atau membenturkannya pada dinding berlobang. Pernah suatu malam, saya merasakan sentuhan tangan kasar di atas perut ibu, dan tak lama kemudian, ada tangis menguar ke segala sudut ruangan.
“Aku takut, Laksmi. Aku tak bisa.”
“Kau pengecut! Bukankah kita tak menginginkan janin ini? Pukul saja. Tinju saja.”
“Kau gila! Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang mengancam nyawamu sendiri?”
“Kalau begitu tendang perutku.”
Ibu pindah ke atas lantai dan terentang. Saya bergetar mendengar suaranya yang mengulang permintaan.
“Tendang, Ram! Tendang! Kalau tak mau, kau bisa menginjaknya.”
“Kau gila, Laksmi! Benar-benar gila. Aku tidak bisa!”
“Mumpung masih empat bulan, Ram. Masih bisa digugurkan.”
Saya hanya mampu meremas usus dan lambung ibu, tapi perempuan itu makin angkuh dalam rundung bayang-bayang kelabu. Ia bersimpuh pada lelakinya sehingga keduanya menempuh jalan yang mencengkeram tubuh saya. Ketika itu saya baru saja membuka kelopak mata, manakala tetes-tetes hijau kehitaman menelusuri kerongkongan ibu, dan tak lama kemudian berlabuh di dalam indung yang saya diami seratus dua puluh hari.
Desah napas saya tetiba buram. Bebayang ajal yang hilang arah diam-diam menyebut nama saya seakan saya hendak mati sendiri. Saya betul-betul terdampar pada detik tercekik, sebelum akhirnya seberkas cahaya tanpa suara menarik tubuh saya yang meradang. Mata saya penuh kunang-kunang.
Samar-samar saya mendapati raungan ibu manakala saya menggeliat dan tak sengaja menendang dinding rahim. Ia seperti menyesali keberadaan saya sebagai takdir buruk. Pada sela-sela tembang tangis itulah, saya dengar ibu menyebut masa kanak-kanaknya yang tak pernah alpa dari sejadah suci. Lantas, apakah janin yang berkawan dengan sunyi seperti saya pantas dipulangkan, padahal Tuhan menunjuk bumi dan laut tempat segala kekacauan manusia berserakan?
***
Janin ini betul-betul bebal. Meskipun dibenturkan ke dinding bahkan diminumi racun masih tak henti mengantar debar. Padahal perut saya makin menggelembung. Sedangkan kekasih saya hanya tercenung serupa patung. Ia baru akan bertindak manakala saya meraung-raung, melempar bantal dan guling, atau mencomoti kapuk di dalam kasur.
Kami tak menghendaki janin ini. Kalaupun ada yang mengilhami pada malam yang memercikkan kehangatan, itu semata-mata buah dari usia. Sementara yang menggeliat di dalam perut ini bukanlah akhir dari tujuan. Bagaimana mungkin saya menghadap pada orang tua membawa nestapa, sedangkan hidup saya dan hidup ibu adalah bagian dari kesunyian yang terus berputar-putar pada kami berdua.
Sewaktu kecil─sebetulnya sampai sekarang─kerap saya dapati ibu menangis sembari mengajari saya bahwa hidup adalah teka-teki air mata. Ia tak akan surut oleh usia atau merapuh sebab tubuh makin ringkih. Pernah suatu ketika, sepulang dari pasar membawa keranjang berisi beragam sayur, mendadak ibu menghantam bapak dengan beragam tanya. Saya yang mengintip dari balik pintu kamar membungkam bibir Naila. Adik saya itu kadang tak mengenal bilangan masa kala melontarkan pertanyaan yang berawal dari penasaran.
Saya menangkap adegan tak mengenakkan manakala ibu menyebut Rahma, istri pertama bapak. Saya tahu, malam sebelumnya keduanya bertengkar hebat musabab bapak berkata masakan ibu tak seenak masakan Rahma. Ini tak sekali. Bapak kerap mengulang-ulang perkataannya, baik membandingkan masakan ibu dengan madunya, atau dengan perempuan lain yang entah punya siapa. Barangkali bapak menyangka hati ibu beku dan terbuat dari batu.
Saya akui, selama ini ibu lebih banyak menyimpannya dalam sungai waktu. Namun, malam itu saya melihat pertahanan ibu rubuh. Ibu memberontak tajam. Mukanya pucat tak keruan menahan gemetar. Tangannya menunjuk-nunjuk muka bapak, sedang lelaki itu tak diterima dihina.
“Kau tak tahu kalau istri Nabi itu tak pernah melawan suami?”
“Kau yang tak tahu!” balas ibu sengit. “Nabi saja tak pernah berkata masakan istrinya buruk. Bahkan saat masakan Ibunda Aisyah sangat asin, Nabi mengutarakan dengan kalimat manis.”
Sejak itu, saya melihat ibu berani mengungkapkan apa yang ia rasakan. Getir luka jiwanya yang selama ini tak menemukan tempat berlabuh, akhirnya dilampiaskan. Meski itu tak mengurangi perih tak berkesudahan, setidaknya ada ruang dalam diri perempuan yang selama ini dibungkam atas nama pengorbanan, mampu melecut dan menghasilkan sedikit gaduh.
Pernah saya menyuruh ibu meminta cerai daripada hidup dimadu, tapi ibu bersikeras bertahan musabab kasihan melihat dua putrinya tak memiliki sosok ayah. Padahal dalam benak saya, lebih baik tak serumah dengan lelaki yang saban hari menunjuk langit dan menunjuk bumi bahwa poligami adalah ajaran Nabi. Bayangkan, bapak menyalahgunakan poligami dengan membawa perempuan lain ke dalam rumah. Mengenalkan pada saya kalau ia menjadi ibu sambung, dan tentu tanpa persetujuan ibu sebelumnya. Dua bulan berikutnya, bapak kembali membawa seorang perempuan dan mengatakan pada saya bahwa ia adalah ibu sambung saya yang terakhir.
Sejak itu saya memutuskan pergi dari rumah. Izin kuliah di luar. Bapak melarang. Namun, saya bersikukuh. Sebab putra dan putri bapak dari istri pertamanya diizinkan kuliah di luar kota, lantas mengapa saya tak diperkenankan?
Kini, setelah saya tak tinggal di rumah, pantaskah saya menghadap ibu sembari membawa perut yang menggelembung, sedangkan hidup ibu sendiri tak ubahnya pohon layu yang menunggu angin kencang, maka akan tanggal?
***
Sejak mengandung, Ratri kerap menyulam hari demi hari dengan permintaan tak masuk akal. Benar kami tak menghendaki janin ini, tapi menyuruh saya menginjak perutnya tak mungkin saya perbuat. Biar ia meraung-raung, saya tak bakal mampu menyentuh perutnya yang makin membesar itu. Pada kenyataan yang makin mencengkeram begini, saya ingin menempuh jalan tanpa kekerasan seperti apa yang pernah ayah lakukan pada ibu.
Muak saya melihat adegan pukulan, hantaman atau injak-menginjak seperti yang Ratri pinta. Sedari kecil saya hidup dalam kepungan tindakan kasar. Bayangkan, ibu pernah dijambak, diseret sampai kamar mandi, dan ayah memandikannya dengan air. Dan ibu tak melawan. Pernah pula ayah tak pulang berminggu-minggu, lantas setelah tiba di rumah, ia menghardik ibu melalui bahasa iblis.
Seingat saya, ayah tak seburuk itu sejak saya kecil. Ia lelaki baik. Menyayangi saya dan kedua adik saya tanpa cela. Cela itu baru tiba di rumah pada siang setelah ayah datang dari luar kota. Ia membawa kabar neraka. Sejak itu keduanya tak lagi seperti suami-istri. Muka ibu kerap lebam. Tubuh ibu kerap ditendang. Saya tak tega melihat ibu yang kian sengsara. Akhirnya, saya memberanikan diri meminta ayah tak lagi tinggal serumah, dan baiknya tinggal di istri keduanya. Ia sempat menggampar tubuh saya, tapi lelaki itu pergi jua.
Tak heran jika saya ketakutan mendengar pinta Ratri untuk menendang janin yang tengah dikandungnya. Benar kami tak menginginkan kelahiran bayi itu ke dunia, tapi membunuh dengan cara kasar mengingatkan saya pada perilaku ayah. Karena itu saya lebih memilih menyodorkan jamu berisi ramuan penggugur kandungan. Awal meminum, saya yakin janin ini bakal mati. Sayangnya ini sekadar harapan. Janin ini masih menggeliat. Kami saling bersitatap.
“Adakah yang lebih ampuh dari ramuan ini, Ram?”
Saya tak menyahut. Kedua mata Ratri riuh akan ketakutan.
“Apa yang akan terjadi kalau kita menghadap, Ram? Bapak tak hanya mengamuk. Ibukku pasti tak kalah berkecamuk.”
Saya masih diam. Masih bimbang mengutarakan usulan.
“Harusnya kita tidak bertemu pada malam itu, bukan?”
***
“Beginilah kisah saya hingga berada di sini, Teman-Teman.”
Teman-teman saya yang terdiri dari bayi-bayi mungil yang mengalami nasib serupa dengan saya berkaca-kaca. Mereka seolah merenungi jalan hidup masing-masing sampai akhirnya terdampar pada nasib segaris.
“Orangtuamu memakai obat yang sama seperti kedua orangtuaku,” kata salah seorang bayi perempuan. “Rasanya sangat pekat bahkan setelah kita mati.”
Saya mengangguk. Memang obat yang ditegak ibu masih menyisakan rasa lekat sampai sekarang.
“Mereka tak menghendaki kehadiranmu musabab melakukan hubungan seks di luar nikah?”
Saya menggeleng. Saya berusaha mengingat aroma kasih ibu dalam benak. Sayangnya, tak berhasil.
“Orangtuamu sengaja mengaborsi karena punya banyak anak?”
Saya menggeleng lebih kuat.
“Mereka satu ayah, tapi beda ibu. Karena itu mestinya saya tak ada di dunia.”
Kerennn