Oleh Budiawan Dwi Santoso
Ini buku puisi terbaru Mochtar Pabottingi berjudul Konsierto di Kyoto (2015) terbitan Bentang Pustaka. Buku dengan sampul puitis ini bisa mengundang selera kita untuk membaca puisinya. Apalagi, ia bukan sekadar seorang sastrawan, tapi juga intelektual andal. Dimana, ia sejak 1977 bekerja di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Buku ini bisa membuat tertarik dan penasaran bagi kita (pembaca), sebab, jarang dari kalangan intelektual atau peneliti, menulis puisi, menerbitkan buku puisi. Malahan, kita kadung menyoroti bahwasanya, mereka yang bekerja di dunia penelitian adalah orang-orang serius dan kaku. Tapi, berkat kehadiran puisi Pabottingi, buku ini seakan menjadi penepis mainstream tersebut, sekaligus mampu melegitimasi bahwa seorang intelektual punya jiwa seni, romantis, dan melankolis.
Buku puisi menyalakan ingatan bahwa puisi tak bisa lepas dari kehidupan kita. Ini bila kita tilik dari biografi kehidupan kita, pasti selama itu, kita pernah bersinggungan dan menulis puisi, meski puisi cinta. Dan, tentang ini, penyair juga tak terlepas dari hal itu, dibuktikan dengan puisi Konsierto di Kyoto, telah dijadikan judul buku ini sekaligus dipersembahkan sebagai hadiah untuk istri tercinta.
Kita bisa simak, bagaimana seorang peneliti menulis puisi untuk istri tercinta, nukilannya, begini: “Kau bacakan hasratku pada liuk/ rumpun ilalang. Yang tumbuh memanjang/ seperti siang musim gugur. Bergetar/ bersama angin. Menarikan irama ricik sungai// Seperti itulah, Nadia, jari-jemariku/ bergetar. Seperti pertama kali lagi/ menyusuri lekuk-lekuk malam. Mencari/ buah-buah ranum yang mereka rindu di peraduan Shugakuin” (hal. 22).
Di sini, selain puisi menjadi bukti kerinduan atau kecintaan seorang pada yang dicintai, juga menyodorkan kepekaan si penyair dalam membaca dan meresapi alam sekitar. Dan, Mochtar pabotingi dalam buku ini, selalu memunculkan diksi dan imaji-imaji alam, dapat kita jumpai di puisi-puisi lainnya, seperti Serpih Kapas; Tekukur Akhir Desember; Kaliurang, Rembang Kabut; Selalu Aku menjelma Dalam Hujan.
Secara keseluruhan, buku puisi ini selain menyodorkan imaji alam, imaji tubuh, juga dipenuhi imaji berkenaan dengan sosial, politik, psikologi, religi, sejarah, dan budaya. Imaji ini hadir dalam ‘persekutuan’ imaji-imaji tiap puisi. Keberadaan ini menunjukkan keberisian penyair sebagai manusia multidimensi.
Kita bisa simak nukilan sebuah puisi prosa berjudul Mimpi, begini: “Lalu kudapati diriku seketika membuka-buka dan membaca sebuah majalah edisi luks berilustrasi yang luar biasa. Di dalamnya ada potret dan tulisan seorang ketua partai reformasi yang berkoalisi mengusung calon presiden jebolan Orde Baru. Majalah edisi luks ini berisi gambar-gambar yang begitu dibuka langsung bisa hidup sendiri dengan ceritanya masing-masing. Seumur hidup, belum pernah kujumpai majalah kertas sedemikian hebat. Dunia nyata dan dunia maya telah menyatu. Di situ, dalam keremangan serta pelukan udara sejuk, sempat kusaksikan laga seru antara Roger Federer dan Rafael Nadal, dua favoritku di dunia tenis” (hal. 79). Atau kita simak puisi berjudul Ayat-Ayat Pohon Rinduku, nukilannya begini: “Ayat-ayat suci itu mata air gunung/ yang terus berkecipak. Membasuh dukaku.// Ayat-ayat suci itu akar reranting tepian sungai/ yang tanpa terasa merentang gapai/ menjulurkan jari-jemari pohon rinduku” (hal. 40).
Lebih lanjut, membaca buku puisi ini, membaca perjalanan cinta Mochtar Pabottingi sebagai penyair, peneliti, pembaca, penafsir, dan pengapresiasi, baik secara teks dan konteks. Terbukti, dari puisi Mishima, mengisahkan sastrawan Jepang, Yukio Mishima bunuh diri; puisi Dari Titik Patri, mencoba menautkan dengan lagu-lagu nostalgia, mitos, dan apresiasi terhadap tokoh pahlawan nasional Robert Wolter Monginsidi yang gugur di depan regu tembak Belanda di Paccinang, Makassar, 5 September 1949; dan puisi Seperti Zeus Kepada Apollo Pada Usianya Yang Ketujuh Ratus”, suatu upaya restartement dari tema klasik FAUST, karya Goethe (kendali tentu tidak dalam porsi dan kaliber mahakarya itu), bisa kita baca di Empat Catatan Kecil, halaman 96 buku ini.
Belum ada tanggapan.