Seandainya bukan karena kasih sayang Tuhan, tentu tidaklah mungkin Islam dihadirkan di bumi ini. Islam hadir dengan cinta dan kasih. Cinta dan kasih sayang Islam adalah cinta dan kasih sayang Tuhan. Betapa Tuhan teramat sayang pada manusia, ia ciptakan dan berikan tuntunan kepadanya agar ia kembali kepada-Nya. Setidak itu yang tersirat dari buku islam mengasihi, bukan membenci.
Jikalau tidak ada kasih dan sayang Tuhan dalam agama, mana mungkin Tuhan mengutus nabi untuk menyeru manusia kembali kepada-Nya. Seruan tauhid bukan sekadar seruan untuk menyembah yang tunggal semata, tapi juga seruan untuk kembali kepada hakikat manusia, hakikat sejati seorang hamba diciptakan.
Datangnya Islam pada jazirah Mekkah melalui Muhammad Saw adalah bukti bahwa agama dihadirkan dan diturunkan dengan kasih. Islam datang ke jazirah Arab tanpa kekerasan, meski pembawa dan penyerunya justru ditimpali kekerasan dan hujatan. Muhammad, Rasul mulia itu memberi kabar kepada dunia, bahwa agama ini tidak dibawakan dengan kekerasan dan paksaan. Dalam Surah Ali Imran 159 diterangkan ”Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu bersikap lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekelilingmu”
Semenjak seruan menyembah kepada Tuhan diperintahkan kepada Muhammad, sejak itu pula banyak tantangan dan hujatan yang timbul dari kalangan suku Quraisy sendiri karena mengusik tradisi mereka dan sesembahan mereka. Tapi yang pokok adalah serangan akan dominasi ekonomi dan penguasaan atas manusia lain menjadi serangan yang membombardir mereka. Keadilan itulah yang hendak ditegakkan dalam Islam, perang terhadap ini begitu pelik, penuh onak duri, dan tidak ringan.
Dalam memerangi musuh kemanusiaan, ada pelajaran menarik yang bisa didapat saat tawaran dunia dan segala isinya diberikan kepada Muhamad asal ia berhenti dalam menyerukan ajaran cinta-Nya. Lalu turunlah Surah Al-Kafirun yang memberi penegasan bahwa agama adalah seruan, sementara pilihan kembali kepada manusia.
Betapa merdekanya Tuhan, dan memahami sifat ini tidak dihilangkan dari manusia. Betapa Tuhan penuh kasih, sehingga manusia diberi kebebasan mutlak untuk menentukan ia hendak kembali kepada fitrahnya atau mengingkari fitrahnya. Kehendak bebas yang diberikan kepada manusia inilah yang membuktikan bahwa Tuhan tidak semena-mena dan memberi ruang yang luas untuk kemerdekaan manusia. Seandainya kebebasan dan kemerdekaan jiwa manusia ini dibelenggu, tentu saja Tuhan bisa menjadikan manusia semua satu agama, tapi Tuhan dengan kasih sayang-Nya, ia berikan manusia menentukan pilihannya sendiri.
Lalu mengapa masih saja ada sekelompok orang yang mendaku sebagai muslim dan masih memaksakan kehendak kepada liyan?. Menyeru dengan paksaan, mengajak dengan pukulan, menghimbau dengan pentungan?. Inilah yang hendak dijawab dan diurai Nurul H. Maarif dalam bukunya Islam Mengasihi Bukan Membenci (2017). Nurul merujuk pada buku, hadis, qur’an dan juga sumber klasik untuk menegaskan kembali bahwa Islam tidak hadir dengan kekerasan dan pukulan, Islam hadir dengan cinta dan sentuhan kasih sayang.
Apa yang kita saksikan selama ini yang ada pada sekelompok orang, dan juga oknum yang mengatasnamakan Islam lalu menyeru dengan pentungan dan juga senjata tajam bukanlah karakter akidah Islam yang sejati. Islam yang dibawa nabi bukanlah Islam yang memukul, tapi Islam yang merangkul. Islam yang dibawa nabi bukan Islam yang memaksa, tapi Islam yang mengajak penuh cinta. Tidak ada perintah membunuh dalam agama.
Seandainya Umar bin Khattab, maupun para penduduk Quraisy pada waktu itu diseru dengan pukulan dan juga senjata tajam, tentu mereka tidak bersimpatik pada nabi dan ajarannya, lalu pergi berpaling meninggalkan nabi. Namun dengan kelembutan dan kasih sayang, hinaan, cercaan, tuduhan dan fitnah yang dilontarkan mereka pada nabi ia balas dengan senyuman, kelembutan dan kasih sayang sehingga berbuah simpatik dan cinta kepada Islam.
Keadilan Islam ditunjukkan pula saat nabi hendak hijrah ke Madinah. Di Madinah, komunitas muslim belum banyak, dan juga masih banyak para penganut agama Yahudi dan Nasrani di kala itu. Namun Muhammad Saw memberikan sikap yang asih, dan asuh. Ia merangkul dan mengajak manusia untuk saling mengasihi dan menyayangi. Hingga ketakjuban dan keindahan sikap para penduduk Yasrib (Madinah sekarang) dipuji oleh Tuhan dan menjadi pelajaran penting makna dan sikap kasih antar manusia.
Di negeri kita sendiri Indonesia, sebenarnya sambutan dan sikap ramah dan penuh kasih sudah ditunjukkan oleh para pendahulu kita. Islam hadir di Indonesia dengan penuh kasih sayang, ia hadir dengan sentuhan, sehingga orang berbondong-bondong masuk Islam.
Dengan tanpa kekerasan dan perang, Islam di Indonesia menunjukkan harmoni melalui tradisi, bangunan dan peninggalan kebudayaan yang masih bisa kita baca sampai sekarang. Seandainya mereka menyebarkan Islam dengan pedang dan perang tentu saja masyarakat Hindu-Budha waktu itu tidak bersimpatik memeluk Islam.
Citra Islam telah dirusak oleh para teroris dan para pengusung teologi bunuh diri yang menyerbu tempat ibadah agama lain. Para teroris itu memahami Islam sebagaimana disebut penulis di buku ini—membajak ayat untuk hajat sesaat. Mereka tidak memaknai dan memahami Islam yang dihadirkan nabi. Islam tidak mengutamakan kekerasan apalagi membunuh sesama manusia.
Pemaknaan jihad yang keliru pada akhirnya justru menjerumuskan pada sikap yang salah kaprah dalam memahami nilai luhur agama. Agama tidak diciptakan untuk menumbuhkan kekerasan justru memerangi kekerasan. Agama tidak diciptakan untuk melanggengkan kerusuhan dan konflik namun menghindari konflik dan merawat kesuburan.
Nurul H. Maarif melalui bukunya Islam Mengasihi Bukan Membenci terbitan Mizan (2017) ini hendak menjernihkan kembali nilai luhur Islam yang penuh kasih yang telah dikotori dan dirusak oleh kelompok yang menyebarkan Islam dengan pentung dan bom.
Belum ada tanggapan.