“Buat Bapak, keluarga ditempatkan di bawah kepentingan agama, kemanusiaan, bangsa, serta rakyat indonesia. Di bawah keluarga, barulah bapak menempatkan kepentingan dirinya sendiri”. Pengakuan ini ditulis oleh anak Gus Dur sendiri, Yenny Wahid. Jalan dan keyakinan Abdurahman Wahid atau di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Gus Dur itulah yang mampu membawanya menjadi besar. Kebesarannnya ia tempuh untuk mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan, agama dan bangsa.
Saya rasa ini seperti yang sering dikatakan oleh bapak bangsa kita Tan Malaka, barangsiapa menginginkan kemerdekaan (bangsa), ia mesti merelakan kemerdekaannya sendiri.
Lahir sebagai keturunan berdarah biru, keturunan kiai, tak membuatnya pamer, congkak, dan pongah. Gus Dur justru menyadari, beban moral, dan kultural yang harus dibawanya. Mengalami kecelakaan di masa kecil yang membuat matanya cacat sebelah tak menyurutkan langkahnya untuk terus belajar dan menjadi manusia berarti.
Anwar Hudjono menuturkan bagaimana Gus Dur tak hanya menguasai kitab-kitab klasik seperti kitab kuning, maupun ihya ulumuddin, tetapi juga menguasai Das Kapital Karl Marx saat masih di SLTP. Ia adalah seorang otodidak yang cerdas (h. 67). Di kalangan NU sendiri, ia dianggap sebagai walilullah.
Laku dan kerja kerasnya melampaui jalan sufisme. Ia tak hanya menguasai ilmu pesantren, menggelutinya, dan juga tak menafikkan perannya sebagai manusia yang memiliki kedudukan dan peranan penting dalam wilayah kebangsaan.
Melalui buku-buku dan kekayaan ilmu yang ia baca, Gus Dur mampu menempatkan diri di jalan politik, sosial, maupun wilayah keagamaan dan kemasyarakatan. Bagi Gus Dur, hidupnya tak lebih dari menjalankan titah yang diberikan oleh Tuhan. Karena itulah, gelar yang disandangnya hanyalah sesuatu yang semu.
Gus Dur dinilai telah membawa islam yang otentik, yang dimaknai sebagai islam yang membawa rasa aman bagi orang-orang disekitarnya. Ia berjuang dan menempatkan agama sebagai rahmah. Karena itulah, ia sadar dan menyadari bahwa melalui kekuasaan, melalui politik tulis Dawam Rahardjo, ia bisa melakukan perubahan paradigma masyarakat mengenai pluralisme dan multikulturalisme.
Banyak kalangan mengkritik Abdurahman Wahid memaknai pluralisme sebagai upaya menyatukan semua agama. Padahal, apa yang dibawa Gus Dur hanya upaya mengembalikan sesuatu yang sudah dirintis oleh bangsa ini selama ribuan tahun silam melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Sujiwo Tedjo, untuk melakoni jalan damai, Gus Dur menawarkan sesuatu yang kini semakin hilang. Gus Dur dinilai telah membuka kejujuran jiwa melalui ceplas-ceplosnya. Melalui urakan, yang dekat dengan egalitarian inilah yang saat ini jarang dalam kehidupan kita. Biasanya, setelah orang menjadi besar, ia tampil dengan berbagai tatanan resmi, dan mengukuhkan kekuasaannya. Gus Dur sendiri seperti tampil sebaliknya, ia hadir sebagai oase di tengah kemandekan dan kejumudan berpolitik. Ia hadir dengan celana kolornya tanpa memandang ia sebagai presiden.
Justru karena itulah, istana menjadi dekat dengan rakyat. Gus Dur telah membuka mata bagi kita semua, bahwa pemimpin tak bisa menolak kehendak rakyat. Maka saat ia dimakzulkan, ia lebih rela dan tak melakukan perlawanan. Ia sadar, bahwa kekuasaan hanyalah jalan bagi pengabdian kepada bangsa ini.
Melalui pluralisme yang ia gaungkan, banyak masyarakat minoritas tak merasa sebagai minoritas. Mereka kaum Tionghoa, agama Konghuchu, sampai pada kalangan Ahmadiyah senantiasa merasa aman di bawah kepemimpinan Gus Dur. Islam yang dihadirkan Gus Dur telah membawanya pada jalan islam yang disegani, tanpa harus menggunakan cara-cara kekerasan.
Gus Dur selama ini peduli terhadap kaum-kaum minoritas, kaum pinggiran yang meskipun beda agama, ia tak rela ada konflik yang hanya mengatasnamakan agama demi kepentingan sesaat semata. Ia ingin agar setiap agama memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang semakin membawa agama pada rahmah, bukan sebaliknya yang selalu hadir dengan cekcok dan konflik.
Dengan kondisi fisik yang rapuh, ia tetap tak berhenti untuk menyumbangkan apa yang ia bisa, pemikiran dan hidupnya untuk kepentingan agama, kemanusiaan dan bangsanya. Di bawah kepemimpinannya, masyarakat indonesia bukan hanya merasakan kebebasan berekspresi, tetapi juga merasakan payung kebangsaan dibawah pluralisme yang ia usung, dan merasa damai dengan sikap anti kekerasannya yang ia bawa.
Bersama pejuang kemanusiaan lainnya, Gus Dur patut dikenang karena telah membawa islam indonesia yang menempatkan agama sebagai rohmah, sebagai pengayom, yang membawa kesejukan, dan perdamaian. Agama yang membawa orang lain, atau kaum agama lain merasa nyaman.
Ketika agama lain merasa nyaman dengan islam yang kita bawa, maka bukan sesuatu yang musykil untuk melakukan kerjasama dan kerja kemanusiaan secara bersama-sama. Itulah warisan Gus Dur yang membawa kita kepada jalan damai. Melalui pluralisme dan multikulturalisme yang ia bawa, Gus Dur telah membawa angin segar dan berkah bagi pemeluk agama lain merasa sama dan berhak untuk menjalankan agamanya tanpa diskriminasi dan intimidasi.
Warisan itulah yang semestinya kita jaga, Gus Dur telah mempelopori hadirnya islam yang bersahabat, bergandengan tangan dengan pemeluk agama lain. Inilah tantangan kebhinnekaan kita kedepan. Bisakah kita menghadirkan agama yang membawa pada jalan kedamaian, ataukah seperti yang masih sering terjadi selama ini di negeri kita, berbagai kekayaan agama yang ada di negeri kita justru sering menghadirkan islam dengan wajah yang keras, kaku, dan intoleran.
Tugas inilah yang mesti disadari oleh setiap umat beragama di negeri ini. Tantangan kebhinnekaan dan kemajemukan harus disadari sebagai rohmah, bukan sebagai potensi untuk saling menyerang dan merendahkan.
*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.