Pernahkah anda merasakan setiap jengkal keindahan dalam penyusuran setapak panjang bersama orang yang dipuja? Saya pernah bersama si Prikitiw, gadis jelita paling cantik di kampus. Namun ini kali saya menyusuri setapak jalan panjang bersama seorang yang samasekali belum saling kenal sebelumnya. Namanya Anton Kurnia, ia menyuguhkan padaku kepuasan lewat penyusuran yang ia sebut Mencari Setangkai Daun Surga (2016) -selanjutnya akan saya singkat MSDS-sungguh perjalanan luar biasa!
Membaca buku MSDS karya Anton Kurnia bagi saya seperti sebuah dharmawisata ke sebuah perpustakaan yang sungguh mengagumkan, penuh dengan buku referensi penting. Di lain sisi perpustakaan ini tidak hanya kita dapati buku-buku apik saja, namun para martir-martir dunia, para peraih nobel yang tersohor kebesarannya dan lain sebagainya. Sungguh membahagiakan!
*
MSDS terdiri dari 70 esai yang bertebaran di berbagai media dalam kurun waktu 2003-2015. Dalam pembagiannya buku ini ditulis dalam tiga batasan bab yang sangat menarik, antara lain: sastra, politik, dan kebudayaan. Anton Kurnia juga menambahkan tulisan di balik layar yang ia pasang sebagai penutup tulisan-tulisan dengan tajuk Mencari “Setangkai Daun Surga” yang menceritakan inspirasi dari judul bukumya.
Pada bagian pertama, Anton menuliskan 25 esai tentang khasanah kesusastraan Indonesia dan dunia. Beberapa tulisannya juga mengupas secara mendalam beberapa sastrawan para peraih hadiah nobel. Di lain sisi banyak pula referensi buku sastra yang penting untuk pengembangan pengetahuan sastra nusantara. Baginya sastra begitu penting untuk kemajuan kebudayaan dan perdaban yang rasional. “Siapa tahu, dengan merenungi kegilaan orang lain, kita bisa lebih waras dan lebih bijak menghadapi kegilaan-kegilaan kita sendiri. … Membaca sastra, dengan demikian, adalah semacam tamasya imajinasi yang mengasyikkan dan barangkali ada gunanya.” (hlm 69)
Adapula diceritakan tentang para sastrawan besar nusantara, tentang peran penerjemah (baca: kurir sastra), fakta tentang tokoh-tokoh bangsa yang gemar sekali membaca dan mau beraksi mengamalkan ilmunya untuk revolusi Indonesia. Secara sadar kita akan dibawa pula pada sebuah cerita-ceriua di balik buku, sebuah perjuangan para penulisnya! Para penulis yang memberitakan kebenaran dalam tulisannya walau harus dibenci pemerintah. Barangkali juga kita akan sangat senang dengan cerita-cerita tentang Orhan Pamuk, Mo Yan, Murakami, Pramoedya, Kafka, Ayu Utami, Eka Kurniawan dan lain sebagainya nan inspiratif.
Bagian kedua, Anton menuliskan perihal politik kontemporer yang sebagian besar terjadi di Indonesia saat ini. Misalnya, tentang integritas para pemimpin daerah, optimisme kabinet kerja pemerintah Jokowi, dan lain sebagainya. Daripada itu dibahas juga peran dan pencapaian para tokoh pergerakan yang jarang kita ketahui nasib buruk hidupnya karena perlawanan. Sebut saja Soe Hok Gie, seorang Mahasiswa Indo yang beretnik China, seorang penulis kritik di berbagai media ketika orde lama dan orde baru. Bagi Anton, “Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik-baiknya kata Gabriel G. Marquez. Dengan cara itulah dia berbakti kepada bangsanya.” (hlm. 131)
Di bagian terakhir, tiga, kia akan temui banyak tulisan yang cukup kontemplatif dan kritis. Sekalipun terkesan begitu acak dan kurang tersambung antar tulisannya, justru berangkat dari sini kita mampu melihat hal remeh-temeh yang menggangu kepala kita dalam nyamannya merupakan hal prinsipil yang sangat penting. Fenomena yang coba ia soroti sebagai dagelan paling lucu, juga menggelisahkan, di dunia yang nyata ini. Misalanya adalah fenomena selfie, hantu korupsi, dan lain sebagainya.
Akhir cerita, saya sungguh bertanya-tanya pada Anton dan tulisannya. Sebanyak yang bertebaran di media, berapa banyak buku yang sudah ia khatamkan? Berapa lama ia bertahan dalam jalan sunyi untuk menulis dan melawan? Sungguh hebat dan produktif Anton! Kini, pada Anton aku percaya bahwa kepiawaian menulis sejalan dengan rajin atau malasnya membaca. Tetapi, tidak sekedar kita menulis, tidak pula sekedar kita membaca, sebab membaca dan menulis adalah sebuah tekad memberi makna pada hidup lewat harapan-perlawanan. Semoga dalam setapak jalan yang sungguh indah, pencarian kita akan menuai permai rimbun hijau daun surga.
*Penulis adalah Gasrul Romadhon; Giat Rumah Baca Srawung.
Belum ada tanggapan.