Oleh Arif Saifudin Yudistira
Apa yang Anda tahu tentang Kartosuwiryo? Kemungkinan besar pikiran Anda akan melompat ke sosok tinggi besar dan suram bernama pemberontakan DI/TII. Sebuah bayangan kekalutan pada suatu jaman yang hingar bingar dengan kekerasan, pembantaian dan segala hal yang berbau anyir darah. Itulah sejarah Kartosuwiryo yang banyak dapat kita baca dari buku – buku sekolah. Tentu saja buku – buku sejarah di sekolah tersebut sulit dipisahkan dari kepentingan penguasa pada jamannya.
Penyair sekaligus filsuf India Rabrindanath Tagore pernah mengatakan “Sejarah adalah cerita pratyahik sukhduhkha, “suka-duka sehari-hari” manusia, yang disampaikan secara kreatif” (GM, 2013). Pengertian sejarah menurut penyair Tagore berbeda dengan pengertian sejarah yang ditulis dalam historiografi. Sejarah belum tentu mampu menangkap—suka dan duka sehari-hari. Tetapi penyair mampu menangkap apa yang ada dalam emosionalitas, perasaan sehari-hari. Tidak hanya peristiwa yang ditangkap oleh penyair melalui puisinya, lebih dari itu, penyair mampu menyublim mengurusi kedalaman peristiwa.
Karena itulah, penyair disebut sebagai manusia yang kreatif. Penyair mampu memantulkan apa yang ia tangkap ke dalam mata pembaca. Saat itulah, puisi memiliki peran penting dalam menyuarakan suara lain yang berbeda dari yang biasa kita tangkap. HB Jassin menyebut dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya (1961) bahwa seorang penyair juga seorang pemikir. Karena itulah, ia menilai bahwa sudah menjadi hal yang wajar kalau penyair juga harus belajar dan terus membaca. Karena itulah, penyair yang kreatif, kata Jokpin adalah penyair yang mampu membentangkan sesuatu yang baru dalam puisi-puisinya.
Bila menyimak buku Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015) karya Triyanto Triwikromo, kita akan menemukan hal yang baru dalam puisi-puisinya. Bila di puisi-puisi sebelumnya Triyanto sempat dipuji dengan ketekunannya menggarap tema wayang dan tokoh-tokohnya pada bukunya Pertempuran Rahasia (2010), tetapi di buku ini, Triyanto menampakkan diri sebagai seorang penyair yang religius. Pada buku kumpulan cerpen sebelumnya,-yang dikenal dengan kumpulan cerpen Celeng Satu Celeng Semua (2013), ia disebut sebagai seorang yang membawa harapan baru dalam sastra Indonesia. Sedang di kumpulan cerpennya yang lain, –Surga Sungsang (2014) Triyanto begitu puitis dan liris mengungkap sejarah tanjung.
Buku Surga Sungsang (2014) tak hanya lihai dalam urusan bahasa, tetapi menurut pengakuan penulis, buku ini digarap secara intim dan tekun dalam membuka arsip dan data sejarah. Tampaknya apa yang dilakukan oleh Triyanto juga terlihat pada buku puisinya Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Triyanto, tak hendak membantah sejarah, tetapi Triyanto hendak mewartakan sisi lain dari sejarah. Tampak benar di buku puisinya ini, pembaca diperlihatkan sisi lain dari sejarah kematian Kartosuwiryo atau dalam ejaan lama Kartosoewirjo.
Di satu bagian, Kartosuwiryo tampak sebagai seorang pejuang yang benar-benar mempertahankan nilai-nilai yang ia yakini, yang tak sepenuhnya bisa dipahami oleh orang banyak. Kita bisa menemukan gambaran itu melalui puisi berikut : Siapa yang mampu mengubah cinta menjadi bunga?/ siapa yang mampu mengubah takdir menjadi takbir? (Tentang Sabda Yang Tak Sampai). Pada puisi ini, kita melihat ada penggambaran dan tafsir puitik yang dilakukan penyair.
Sebagai seorang penyair, Triyanto berhasil menangkap suka-duka penyair di saat-saat menjelang eksekusinya. Kartosuwiryo justru digambarkan sebagai seorang kesatria yang tak mau tunduk meski raganya takluk : Ragaku yang takluk/ jiwaku tetap merdeka/ aku tak terpisah dari kakbah/ aku tak terpisah dari madinah/ aku tak terpisah dari Allah. Kita akan menyimak betapa kematian Kartosuwiryo digambarkan sebagai kematian ala sufi yang sufistik seperti kematian Rumi.
Kental sekali pada buku puisi ini, bahwa kata-kata Gusti, Alloh, Surga, adalah kata-kata yang mengandung do’a dan dzikir yang liris dari Kartosoewirjo. Sejak di mobil sampai pada saat eksekusi. Triyanto menggambarkan bagaimana perasaan getir dan perasaan yang canggung baik yang ada pada eksekutor, penembak maupun tentara yang menangkapnya. Triyanto ingin mengatakan bahwa Kartosoewirjo baik-baik saja. Kartosoewirjo tak akan melawan, Kartosoewirjo sudah siap dan pasrah untuk menjalani eksekusi. Ia tak gentar dan goyah keyakinannya pada apa yang ia perjuangkan. Maka tak heran tatkala ia ditanya oleh berbagai tanya, ia menjawab dengan penuh kepercayaan : perjuangan ini tak akan pernah ada, sampai ratusan tahun mendatang.
Di ujung eksekusinya Kartosoewirjo dilukiskan terus melantunkan doa dan memohon agar kelak ia sampai kepada harum surga. Do’a itu seperti dijawab dengan puisi Kesaksian yang melukiskan betapa Kartosoewirjo begitu wangi jasadnya, begitu enteng raganya saat dijunjung, dan begitu menebarkan harum seperti seorang sufi atau seorang syuhada.
Di buku puisi ini, Kartosoewirjo jauh dikesankan sebagai seorang pemberontak, sebagai seorang yang melakukan makar. Melalui buku puisi ini, Triyanto telah menyuarakan sejarah dengan irama lain. Sejarah melalui buku Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015) justru menjadi begitu liris, perih dan puitis. Melalui buku puisi ini, Triyanto hendak mewartakan kepada kita, ada yang berbeda dari sejarah, yang tak selalu sama di buku-buku sejarah kita. Triyanto telah berhasil mengungkap betapa pedih, dan menyentuh kematian Kartosoewirjo. Bukan sebagai pemberontak dan pengkhianat, tetapi sebagai seorang nabi yang tak didengar suaranya, seorang penyeru yang tak dihiraukan, seorang kiai yang tak memiliki santri.
Judul Buku: Kematian Kecil Kartosoewirjo
Tahun terbit: Januari 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 128
Pengarang: Triyanto Triwikromo
ISBN: 978-602-03-1263-7
*) Penulis adalah Pegiat di BILIK LITERASI SOLO
Belum ada tanggapan.