Dalam dunia ini tak ada yang Cezar inginkan selain hidup dengan kedamaian. Usianya masih lima belas tahun ketika ia mendapati puluhan mayat berjejer ditusuk tongkat besi runcing yang berujung di mulut. Sebagian yang lain bergelimpangan di tanah dengan bekas sayatan di sekujur tubuh. Suara rintihan samar-samar terdengar dari jiwa yang tengah sekarat itu. Darah segar bercucuran menandakan besi runcing ini baru saja ditancapkan di perbatasan Novosen.
Tetes merah menitik ke tanah menebar bau amis yang luar biasa. Wajah-wajah kesakitan dan penuh penderitaan terpancar dari pelototan mata setiap tubuh yang disula. Negeri yang dulu dipuja karena kemakmurannya kini telah berubah. Perang saudara dilegalkan karena ambisi atas kekuasaan telah mengalahkan segalanya.
Semenjak Fane digulingkan, keadaan Novosen semakin buruk. Perbudakan, pelecehan, pembunuhan dan pajak yang mencekik membuat rakyat menderita.
Fane digulingkan karena dianggap tidak cakap dalam pemerintahan karena utang semakin menumpuk ditambah wabah penyakit kulit yang menimpa Novosen beberapa tahun terakhir takhta nya. Ia digulingkan oleh putra pertamanya Razvan dibantu dengan ibunya. Setelah digulingkan, Fane diasingkan dan dipenjara di kastil bawah tanah.
Cezar terdiam, entah berapa mayat yang ia lihat beberapa hari ini. Jiwa-jiwa tak berdosa yang dijadikan umpan bagi pemimpin haus darah, mereka memekik kesakitan meminta ampunan. Razvan, sang pemimpin Novosen tertawa mendengar raungan kepedihan itu. Tanpa keraguan menghunus besi runcing dengan bengis sambil tertawa lebar.
Seperti waktu itu ketika ayah dan ibunya dihukum penggal karena tuduhan penghianatan. Cezar hanya bisa melihat tanpa air mata. Ia dan kastil di Brasov ini menjadi saksi pilu kematian kedua orangtuanya.
‘Dalam perjanjian hidup, semua harus berjuang demi kemakmuran Novosen. Tidak ada pengkhianatan. Namun jika seseorang telah melanggar, kamu harus memutus tali kekeluargaan dengannya. Siapapun itu’
Kalimat itulah yang selalu ayahnya dengungkan. Semenjak itu pula ayahnya memihak musuh secara diam-diam dengan ikut menjadi mata-mata. Bukan tanpa alasan, pundi-pundi koin emas yang melimpah menjadi iming-iming yang utama. Daripada hidup dengan ketidakjelasan penguasa lebih baik memihak musuh dan hidup sentosa, pikirnya.
Cezar tidak boleh sedikitpun meneteskan bulir bening dari kedua matanya. Ia terus melihat algojo yang akan mengeksekusi kedua orangtuanya, tak ada keraguan bahkan mentari bersinar terang, semuanya bersorak girang. Teriakannya tertahan, ia tak bisa berbuat apa-apa. Janji untuk bertahan hidup dan melindungi adiknya terucap di bawah sumpah dengan Ayahnya beberapa hari yang lalu.
Akhirnya pedang itu diayunkan…………
__
Seperti peribahasa sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, maka akan tercium juga. Status Cezar yang ternyata adalah putra pengkhianat mulai terbongkar. Razvan geram karena ia merasa dibodohi selama bertahun-tahun bahkan menjadikan Cezar sebagai prajurit muda primadona. Cezar segera mengajak adiknya pergi menghindari pauskan Razvan, meliuk-liuk berlari diantara pasar raya. Entah berapa dusun yang telah ia lewati hingga akhirnya ia memasuki hutan. Maka, dalam hutan inilah Ia dan adiknya bersembunyi. Melawan rasa takut yang luar biasa. Berhari-hari berminggu hingga bertahun-tahun ia berhasil bertahan hidup dengan baik.
Cezar berdiri di persimpangan jalan, wajahnya terlihat lebih maskulin, badan kekar dan tegap semakin membuatnya terlihat sangar. Ia tidak perlu lagi menyamar alih-alih untuk melarikan diri dari kejaran prajurit, kini ia bebas berseliweran ke pasar raya bahkan permukiman.
Usianya genap dua puluh tahun sekarang, ia bertekad membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya dan penindasan rakyat Novosen lima tahun terakhir.
—-
“Nyawa dibalas dengan nyawa, mata dibalas dengan mata..”
Cezar terdiam di samping pusara adiknya. Gavrill meninggal tak lama setelah mereka mengungsi ke hutan. Ternyata Gavrill telah terinfeksi wabah penyakit kulit dari pasar raya. Karena tidak mendapat pengobatan yang semestinya, nyawa Gavrill tak tertolong dalam malam yang dingin dan mencekam. Untuk kesekian kalinya Cezar hanya bisa terdiam melihat keluarganya mati sia-sia. Cezar mengubur Gavrill dalam hutan di samping gubuk persembunyian mereka.
Hari ini tepat tiga tahun setelah tragedi hukum pacung kedua orangtuanya, Cezar akan kembali. Melangkah meninggalkan hutan tempatnya mengadu hidup selama ini. Ia akan kembali ke Novosen, lebih tepatnya ia akan kembali ke kastil Brasov.
Jalan setapak itu, ia kembali teringat tatkala mengajak Gavrill melarikan diri tiga tahun yang lalu. Saat ini ia kembali berdiri di sini, di persimpangan jalan menuju kastil dan pasar raya. Ia mengamati bunga Arnica yang dihinggapi kupu-kupu yang indah berjejer diantara parit yang memanjang. Cezar tersenyum tipis, ia terus berjalan hingga pilar-pilar kastil terlihat semakin dekat. Permukimannya dulu telah berubah, bahkan camar-camar pun tidak sudi hinggap di ranting pohong yang sekarat. Ia terus melaju, matanya memerah penuh amarah. Pilar-pilar itu semakin dekat, bau amis selalu menjadi ciri khas setibanya di gerbang utama.
Baca: Tidakkah Kita Akan Menua Bersama?
Bak pendekar ulung, ia berhasil menyelinap memasuki kastil dengan menyamar sebagai prajurit. Cezar berjalan dengan waspada, bola matanya memutar memastikan tidak ada yang mencurigai gerak-geriknya.
Cezar ingat betul jika Razvan memiliki kebiasaan menonton mayat yang baru saja disiksa di ruang bawah tanah sebelum ditancapkan berjejer ke depan kastil. Cezar mengamati keadaan sekitar sebelum menuruni tangga bawah tanah. Berjalan mengendap-endap mendekati pintu, tidak terlihat prajurit berjaga karena memang Razvan tak mau ada yang mengganggunya selama meditasi di ruang bawah tanah itu.
Razvan duduk dan memainkan pedangnya, ia kemudian melempar pedang yang bersimbah darah itu sambil tertawa lebar. Ia kemudian kembali duduk di altar, menyilakan kedua kaki dan memejamkan mata.
“Dasar bodoh!” Umpat Cezar. Ia tersenyum licik dan berjalan perlahan mendekati tubuh Razvan sembari mengambil belati. Tangannya gemetar hingga membuatnya sedikit goyah. Namun bayang-bayang akan wajah nelangsa kedua orangtuanya sesaat sebelum eksekusi dan wajah pucat Gavrill menahan rasa sakit membuatnya kembali bergairah.
Belati itu menusuk punggung Razvan berkali-kali. Tidak ada perlawanan, tubuh bersimbah darah itu tidak berdaya dan terjatuh ke tanah. Cezar tersenyum lebar, ia melihat sisa darah di belatinya. Darah orangtua dan adiknya telah terbayar lunas.
Dreg dreg dreg….. suara hentakan sepatu besi dari luar ruangan. Cezar bergegas, ia harus menyelamatkan dirinya. Sebelum pergi ia menarik rambut Razvan dan ingin melihat wajah tersiksa di akhir hayatnya. Namun, betapa terkejutnya Cezar ketika melihat seorang pria yang sekarat itu bukanlah Razvan. Kakinya lemas, keringat becucuran.
“Tangkap penghianat itu!” Razvan dengan penuh amarah mendobrak pintu ruang bawah tanah membawa puluhan prajuritnya untuk menangkap Cezar. Tiba-tiba terompet berbunyi, mereka tercengang. Tanda adanya serangan musuh dengan jumlah yang besar.
“Ini pasti jebakan!” Razvan mengumpat kasar.
Cezar tersenyum tipis kemudian berlari dengan gesit dan melompat untuk menghindari kejaran prajurit.
‘Ternyata surat penyerangan itu tiba tepat waktu.’ Pikirnya dalam hati.
Belum ada tanggapan.