Wanita Pemilin Kematian

Mengapa kematian tidak dirayakan? Bukankah arwah akan senang ketika pemberangkatannya bertemu Illahi dirayakan sanak famili dengan sukacita? Mengapa harus diwarnai isak tangis? Tidakkah kehidupan sesudah mati lebih abadi daripada kehidupan dunia?

Laksana bayi yang baru dilahirkan selalu disambut bahagia. Padahal ia baru saja meninggalkan rahim ibunya. Sebaik-baiknya tempat untuk berlindung. Namun, ketika masanya telah habis, ia mesti hadir di dunia dan meninggalkan rahim ibunya untuk bertemu dua orang yang telah membuatnya ada. Tak ubahnya dengan bayi, kematian sudah selayaknya untuk dirayakan. Orang-orang yang mati juga meninggalkan dunia. Tetapi kepergiannya untuk menempuh perjalanan bertemu sebenar-benarnya pencipta. Lalu malaikat menyambutnya dengan sukacita.

***

Aku ingin berlari. Mendekap hangatnya pelukan ibu. Berlindung di balik lembutnya belaian tangannya, ketika gelap menyergap. Menatap lekat-lekat kedalaman batinnya. Menghadirkan ketenangan. Kedamaian. Sebarkan benih-benih harapan di nurani para insan. Atau berharap kehadiran ayah. Agar menuntun dan menggenggam ke mana pun arahku pergi. Setia mendengar cerita dan keluh kesah. Agar resah berujung sirna. Gelisah berujung lebur. Tiadakanlah jiwa-jiwa yang sendu.

Namun, sudikah memberi ayah dan ibu untukku? Kurasa tidak akan ada yang mau menjadi orangtua dari wanita penunggu kematian sepertiku. Ya, wanita yang saban hari memilin kematiannya sendiri.

Sudah lama aku terkungkung dalam ruangan gelap ini. Bersembunyi di ruang kesunyian. Kumuh berdebu. Kubangan anyir. Tembok-tembok menganga menyimpan sejuta misteri. Sampai kapan aku harusberdiam diri di sini? Kapan aku bisa berjumpa dengan kematianku?

Hari itu belum juga tiba. Hari di mana aku bisa melepaskan diri dari ingar bingar dunia. Saat ini aku masih hidup dengan sisa-sisa napas yang ada. Getaran nadi yang semakin lama kian melemah.

Aku berlari ke atas bukit. Jalan terjal. Bebatuan tajam. Jurang curam. Barang kali di sana aku berjumpa dengan ajal. Semua kulalui demi mencapai puncak. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Namun, Izrail tak kunjung menyambutku. Empat jam. Lima jam. Enam jam. Masih tetap sama.

Aku berlari ke sungai. Tidak ada yang istimewa dari sungai yang kudatangi ini. Kecuali arus deras yang menghantam bebatuan besar di sekitarnya. Keruh. Pekat. Mungkin saja di sanalah tempat kematianku. Angin berembus pelan menyapa dedaunan dan menjalar dari rambut hingga ujung kaki.

Aku menapak jejak jalan tak berujung. Membawa pesan dan harap dalam genggaman. Susuri jalan setapak berkerikil. Semak dan ilalang. Kubangan lumpur. Agaknya tujuanku akan tercapai di sana. Tetapi, justru jalan hidupku sama dengan jalan ini. Tak berujung.

Ke mana lagi aku harus pergi? Ke dalam ruang runyi itu lagi?

Keabadian yang sesungguhnya. Itulah tujuanku memilin kematian. Dunia ini hanyalah fantasi dan imajinasi. Berbagai peran bertebaran menghiasi kehidupan.

Kuputuskan untuk kembali ke ruangan sunyi itu. Berhubung tidak ada lagi selain ruangan sunyi itu tempatku untuk pulang. Ruang kosong melompong di siang bolong. Tempat yang senyap saat malam pekat merapat. Jendela usang merisik. Pintu reyot berderit. Tembok tua mengisak. Ubin retak bercorak. Nyaris hancur tak bersisa tanpa pola yang tercipta.

Semut berpesta ria di rumah tua. Tak kasat mata berkeliaran di sana. Kisah perjalanan waktu terus berlalu. Tak tahu waktu.

Malam merana tak terarah. Kidung sendu bergamat. Lara merana membungkam ceria. Kisah ini hanya sebatas ilusi. Narasi menebak teka-teki. Menghalaukan sebuah kefanaan agar menjadi kenyataan. Mustahil, bukan?

“Tidakkah engkau menerima rentetan doa-doa, wahai Tuhan?”

Aku tak mampu menjadi penerang. Bara penyesalan melumat habis intuisi yang menguasai. Sukma bergeming menyaksikan panggung takdir berselimut kabut penantian tanpa ujung. Seperti waktu yang luruh. Keruh.

Aku menyusuri ruang demi ruang dalam rumah tua ini. Bayangan kematian turut mengendap-endap di balik pintu. Menyelinap di setiap pojok ruangan. Seonggok pigura lusuh masih tegak berdiri.

Pyar ….

Kuhantam kaca pigura itu dengan sebalok kayu. Serpihan kaca berjatuhan. Aku bisa menggunakan beling ini untuk apa saja. Menusukkannya ke dalam perut. Mengerat urat nadi. Atau menggoroh leher dengan beling itu. Selama ini aku tidak melakukannya, sebab kupikir barang kali akan ada kematian yang layak yang telah dipersiapkan Tuhan untukku. Tetapi, nyatanya kematian yang layak tidak pernah ada. Kematian tetaplah kematian. Tidak ada cara terbaik untuk menghadapi kematian.

Baca: Kastil Brazov 

Mula-mula aku hanya memainkan belingnya. Kucoba mengerat jari kelingking kiri. Lalu kupotong. Asik ternyata. Tidak ada rasa takut sedikit pun. Darah mengalir begitu deras. Tak apa, ini tidak lebih sakit daripada dihempas dari kematian. Aku semakin tertantang melakukannya. Kemudian kulanjutkan jari-jari selanjutnya. Giliran si jempol, lumayan sulit untuk terputus. Kucoba berkali-kali. Yeah, akhirnya bisa juga. Darah mengotori setiap sudut ruangan tua ini. Aku tak peduli.

Kulanjutkan dengan memotong sepasang kaki.

Ah, mana mungkin sekeping beling bisa memotong tulang kaki yang keras ini?” gumamku.

Tetapi, aku terus mencobanya. Yeah, berhasil. Sepasang kaki telah buntung. Tangan kiriku juga buntung tanpa jari. Inginku melanjutkannya dengan memotong tangan kanan. Namun, bagaimana caranya?

Hmm. Agaknya aku berubah pikiran. Biarlah tangan kanan kubiarkan semestinya. Barang kali di akhirat nanti Malaikat memberikan air surga untukku, dan aku akan meneguknya dengan tangan kanan.

Tak ada erangan keluar dari bibirku. Namun, sukmaku bergemuruh riuh menanti ajal tiba. Dalam diam aku bertanya : siapa yang akan merayakan kematianku?

Bahkan orangtua pun aku tidak memilikinya. Semua ratapan dan rintihan jiwa larut dalam kesepian. Tak ada melodi berdendang. Tak ada tarian erotis mengiringi. Agaknya tidak ada yang merayakan kematianku.

Tidak ada yang tahu persis jam dan menit ke berapa aku akan meninggal. Tetapi yang pasti, aku sudah mempersiapkannya. Ajal tak kunjung tiba, tanpa sadar diriku tertidur pulas. Dalam buaian lelap, mimpi seketika menyergap.

Kepalaku pusing dan di saat yang bersamaan, terdengar suara pintu diketuk. Kuintip dari celah jendela. Tak ada siapa-siapa. Hanya seberkas cahaya putih menyilaukan mata tepat berada di depan pintu. Kubukakan pintunya : aku tahu ia bukanlah manusia. Setan barang kali? Ah, mana mungkin setan bercahaya. Malaikat?

Perlahan, cahaya itu berangsur menghilang. Tampaklah laki-laki berjubah putih. Kulitnya pun putih benderang. Sepasang sayap menempel di punggungnya. Lebar sekali.

“Tidakkah engkau menyiapkan sepetak surga untukku?” tanyaku pada seberkas cahaya yang menghampiriku.

Malaikat. Ya, aku menganggap cahaya itu adalah sosok malaikat yang diutus untuk menjemput ajalku. Kedatangannya untuk mengabarkan kematianku. Tidak ada jawaban keluar. Malaikat berwajah sayu itu hanya menatapku.

“Jadi, kapan engkau mengambil nyawaku? Aku tidak bisa hidup di tempat kemunafikan ini. Dunia penuh tipu muslihat. Aku ingin mati. Rayakanlah kematianku. Kabarkan kepada orang-orang.”

Laki-laki bercahaya itu masih tetap bergeming. Tiba-tiba, aku hanya merasakan gelap merambat begitu cepat. Secepat kilat. Cahaya itu menghilang. Diiringi dengan suara laki-laki berjubah itu yang akhirnya membuka suara, “Kau akan terus hidup dan lupakanlah kematian sia-sia yang kau harapkan itu. Kau akan tetap hidup ….”

***

KOMPAK Yogyakarta, Juli 2021

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan