Rahmania menatap dalam suaminya. Semalam tadi, lelaki yang telah menikahinya sembilan tahun lalu itu bersikap sungguh mesra. Ada banyak macam cumbuan dan rayuan. Tapi entah kenapa Rahmania tidak pernah merasa tersentuh. Selama bertahun-tahun mencoba jatuh cinta pada suaminya, tapi tetap tidak bisa. Mungkin karena ini pula Rahmania bisa melahirkan anak-anak tapi tidak pernah merasakan kepuasan dalam ranjang, terkecuali suaminya saja.
“Yusman lelaki pilihan bapakmu, penuhilah keinginan terakhirnya. Ibu yakin kamu anak yang berbakti.” Terngiang lagi perkataan ibunya dulu. Perkataan yang kemudian membuat Rahmania harus rela menjalani biduk rumah tangga dalam kehampaan.
Orang bilang cinta akan datang kemudian. Kebersamaan yang terus menerus itu yang akan membuat cinta tumbuh perlahan. Tapi entah kenapa Rahmania tak mendapatkan itu. Ia rela melahirkan dua anak dari suaminya hanya karena takut dosa, dosa apabila tak melayaninya.
Kadang Rahmania kembali merindukan Indra, kekasih hati yang telah ia tinggalkan demi perjodohan. Lelaki yang kini ada di hadapan Rahmania, yang ia temui secara tidak sengaja.
“Aku tak menyangka bisa bertemu di sini. Bagaimana kabar anak suamimu?” Tanya Indra dengan senyum yang tak pernah berubah sejak sembilan tahun lalu.
“Kabar keluargaku baik.” Bergetar bibir Rahmania. Suaranya pelan.
“Anakmu berapa? Kalau aku baru satu. Anak perempuan yang manis. Dia baru tujuh tahun.” Senyum tipis nan elok mengembang di bibir Indra. Hati Rahmania pun bergetar melihat keindahan itu.
“Anakku sudah dua.” Terasa datar sekali jawaban dari Rahmania. Mungkin dia kikuk karena lama tak bertemu Indra.
“Suamimu pasti bahagia memiliki istri sepertimu. Kamu wanita paling lembut yang pernah aku kenal.”
“Jangan memujiku, Ndra! Kita sudah berbeda. Aku takut…”
“Takut apa, Rahma? Bukankan dulu kamu sangat suka dipuji?”
Perlahan tangan Indra menggapai lembut jari jemari Rahmania hingga menggetarkan jantung wanita berkulit sawo matang itu. Rahmania berusaha melepaskan genggaman Indra, “aku sudah bersuami dan kamu sudah beristri.”
Sesaat Indra terdiam. Pandangannya beralih ke jauh, ke tempat yang kosong. Matanya tak berkedip, entah apa yang dibayangkannya. Perlahan nafasnya tertarik pelan-pelan, lalu dihembuskannya. “Istriku telah tiada tiga tahun lalu. Kini aku hidup berdua dengan anakku.” Terangnya terasa berat.
Rahmania terlihat kaget, tiba-tiba dia merasa prihatin atas nasib yang menimpa mantan kekasihnya itu. “Aku turut berduka cita, semoga kamu tabah.”
Indra mengangguk pelan. Perlahan wajahnya yang menunduk layu diangkat, “sejujurnya aku merindukanmu kembali, Rahma.”
Seketika hati Rahmania penuh bunga. Entahlah, kenapa tiba-tiba perasaan gila itu datang. Kenapa kabar kepergian istri Indra sedikit membuat hatinya senang karena kini Indra tak terikat oleh siapa pun. Lalu, tiba-tiba di hati kecilnya terbersit keinginan untuk ditinggalkan suaminya, sama seperti Indra ditinggal mati oleh istrinya. Dengan begitu ia dan Indra akan sama-sama sendiri dan kemudian dapat memadu kasih kembali seperti dulu.
Rahmania tersenyum kecil membayangkan hal itu, tapi kemudian akal sehatnya kembali normal, “oh Tuhan, maafkan aku!”
Rahmania menyadari betul bahwa angan-angannya untuk ditinggal mati suaminya adalah angan-angan yang sangat konyol. Meskipun tak cinta, tapi Yusman adalah bapak dari dua anaknya. Tidak mungkin Rahmania membiarkan anak-anaknya menjadi yatim. Dan bukankah Yusman juga adalah lelaki yang penuh tanggung jawab terhadap ia dan anak-anaknya?
“Aku harus pulang, Ndra. Suamiku menungguku. Tadi aku pamit sebentar.”
“Rahma…aku hanya ingin bilang bahwa sejak kamu meninggalkanku sesungguhnya aku tidak pernah membencimu. Aku berharap kelak kita akan berjodoh.”
Ya Tuhan, perkataan Indra benar-benar membuat Rahmania terjebak pada dilema. Ada Yusman yang harus dipatuhinya sebagai suami dan Indra yang ia cintai. Siapa yang harus dipilih, siapa yang harus ditinggalkan.
“Aku percaya kamu pun masih mencintaiku. Kita merasakan hal yang sama. Jangan bohong, kamu pasti selalu merindukanku?” Indra menggeser tempat duduknya menjadi begitu dekat dengan Rahmania dan tangannya kembali memegang erat jari jemarinya.
“Kamu bergetar, Rahma. Getaran ini adalah getaran cinta. Getaran ini sama kurasakan saat dulu pertama kali aku mengutarakan cintaku padamu.”
Keringat dingin Rahmania seketika bermunculan dari pori-porinya. Benar kata Indra, bahwa getaran yang dirasakannya itu adalah getaran cinta yang tak pernah habis sejak pertama Indra menyatakan cinta padanya. Nafas Rahmania mulai terasa memburu, ada rindu yang ingin segera disampaikan. Ia ingin bersandar ke pundak Indra, lalu menangis bercerita tentang rumah tanngganya, kemudian memeluknya erat dan mengakui bahwa memang dia selalu merindukannya. Tapi segala rasa itu ia tahan. Entah mengapa wajah Yusman tiba-tiba selalu membayanginya. Suaminya itu seakan selalu memanggilnya untuk segera pulang.
“Aku mau pulang.” Rahmania segera menggeser tempat duduknya menjauhi Indra. Dia bangkit dan membalik badan.
“Tunggu, Rahma!” Indra beralih tempat ke hadapan Rahmania. “Maafkan aku, aku hanya bicara jujur. Apa aku boleh minta nomor teleponmu?” Lanjut Indra dengan wajah memohon.
Dengan tanpa suara Rahma segera mengeluarkan kartu nama. Di sana tertera alamat rumah dan nomor telepon dirinya.
“Terima kasih, Rahma.” Indra tersenyum, senyum yang mengiringi kepergian Rahma dari hadapannya.
Dalam perjalanan pulang, telepon Rahma dikejutkan oleh bunyi pesan singkat, “hati-hati sayang.” Begitu bunyi pesan singkat itu. Dan di pesan kedua berbunyi, “Dari Indra-mu.”
Membaca pesan itu, tiba-tiba hati Rahmania merekah. Senyum bahagia mengembang di bibirnya. Ingin rasanya membalas kembali ungkapan sayang dari Indra. Tapi ketika hendak melakukannya, lagi-lagi wajah Yusman menari-nari di pelupuk matanya. Di telinganya seakan terngiang panggilan dari Yusman untuk segera pulang. Akhirnya, Rahmania pun mengurungkan niat membalas pesan cinta dari mantan kekasihnya.
Mobil yang ditumpanginya telah tiba di depan rumah. Rahmania melihat perbedaan di rumah itu, terasa lebih hangat dengan banyaknya orang. Bukan dua tiga orang melainkan puluhan. Ada banyak tetangga dan kerabat. Rahmania memaku mengamati sekitar, ada apa gerangan?
“Mbak Rahma sudah datang. Maaf aku belum sempat menghubungi Mbak.” Tiba-tiba terdengar suara Gofur, adik kandung Yusman.
“Ada apa, Fur?” Terlihat keheranan di wajah Rahmania.
“Tadi…tadi Mas Yusman pingsan saat momong anak-anak. Tapi ternyata dia tidak bangun lagi.”
“Maksudmu…?”
“Mas Yusman telah pergi. Meninggal mendadak.”
Seketika kaki Rahmania kehilangan kekuatannya. Dia bersimpuh dan menangis. “Mas Yusman….” Ratapnya pelan. Rahmania terlihat menangis sesenggukkan.
Tanah ini masih merah, meskipun seminggu sudah Yusman meninggalkan alam kefanaan. Rahmania menabur bunga, sementara kedua anaknya hanya berdiri mematung disampingnya.
Terrrr…terrrr…tiba-tiba terasa ada getaran di ponselnya. Rahmania segera membuka sebuah pesan singkat yang berbunyi “apa kabar sayang, aku rindu. Kita bertemu ya Rahma sayang.”
Pesan singkat itu dari Indra. Memang setelah kepergian Yusman, Rahmania tak pernah sekalipun membalas pesan-pesan dari Indra. Dia benar-benar telah mengabaikannya. Sejak Yusman berpulang entah kenapa dia menjadi begitu sangat merindui suaminya itu. Rahmania tak lagi menyimpan nama Indra dalam hatinya. Justru kini Rahmania merasa kalau dia begitu mencintai Yusman. Saban waktu rasa rindunya tak terbendung. Dan jika ingat dengan rasanya yang dulu yang selalu berpaling dari Yusman, Rahmania selalu merasa bersalah.
“Maafkan aku, Mas! Aku pernah berfikiran konyol agar aku bisa ditinggal mati olehmu demi kembali ke masa laluku. Dan ternyata Tuhan mengabulkannya. Tapi ternyata tak kuat menghadapi siksa ini. Aku dihukum oleh rinduku sendiri. Aku hampir gila karena ingin bertemu denganmu.”
Rahmania menangis penuh sesal di atas pusara suaminya. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Indra telah meneleponnya berulang kali.
Rahmania menyesal kenapa dia harus merindui suaminya di saat dia tak dapat melihatnya lagi. Rahmania jatuh cinta pada manusia yang tinggal nama. Cintanya tak akan pernah tersampaikan kecuali dalam do’a.
Belum ada tanggapan.