Mengaku

Lelaki yang Mengaku Sebagai Nabi

Mendadak aku tercekat. Kedua bibirku tergagap mendapati sebuah batu cadas, tiba-tiba mengeluarkan suara lenguhan mirip rintihan sapi hendak melahirkan. Alamakjang! Mungkinkah dajjal telah datang? Berkali-kali aku usap kedua mata. Berkali-kali aku tampar kedua pipi berharap apa yang tersaji adalah sebuah mimpi. Nyatanya, batu cadas itu makin bergerak serampangan. Guling ke kiri. Berguling ke kanan. Rintihannya kian menyeruak ke segala penjuru alam.

            O, bukan! Bukan! Ini bukan kisah di luar nalar. Sebab pada adegan selanjutnya, batu cadas itu benar-benar menangis. Dari legam hitam tubuhnya itu, ia mengeluarkan mata air sebagaimana perempuan tak mampu membendung air mata. Bahkan tetesannya kian deras. Anehnya, kilau bening air mata itu tak menyatu bersama aliran sungai tempat batu itu bersemayam. Keduanya berjalan beriringan, tapi satu sama lain bertolak belakang.

            Kusangka kejadian ini akan cepat memudar. Namun, lihatlah! Batu itu kian mengasah rasa penasaran, sedangkan aku tiada sanggup berjalan. Benar-benar tercengang sampai-sampai Mat Ra’i yang menanam bibit tembakau, terheran-heran mendapatiku berdiri tak karuan.

            “Woi, Samir. Mengapa kau berlagak terperanjat begitu? Apa kau menemukan keris peninggalan Minak Jinggo?”

            Kurang ajar! Bisa-bisanya lelaki itu menciptakan lelucon, padahal jelas-jelas aku tengah berdiri di antara aliran sungai sedangkan sarung yang kukenakan masih aku jinjing sampai lutut.

            “Atau kau baru saja menjumpai bidadari kahyangan? Menemukan selendangnya sampai akhirnya menjelma air terjun Tujuh Bidadari di Desa Rowosari?”

            Sungguh. Aku ingin menggampar mulut Mat Ra’i, hanya saja aku tak lagi nafsu berbuat kisruh. Pandanganku masih tertuju pada batu cadas yang masih menangis ini. Entah iblis mana yang meminta Mat Ra’i menemuiku, lelaki itu akhirnya menuruni umpak sawah dan ketika sampai di tepi sungai, ia menatapku dengan raut wajah bingung.

            “Apa yang terjadi pada batu itu, Mir? Mengapa bisa menangis? Kau tak bermain sulap, bukan?”

            Mat Ra’i mencecarku dengan beragam tanya sembari menerobos aliran sungai lalu berdiri di sampingku.

            “Katakan, Mir! Apa yang tampak di hadapan kita ini? Makhluk jadi-jadiankah?”

            Entah malaikat mana yang mencetuskan usulan, aku jawab pertanyaan Mat Ra’i sebagaimana kisah-kisah di zaman purba.

            “Batu itu akan melahirkan seekor sapi betina yang sedang bunting sembilan bulan.”

            “Kau gila!” sergah Mat Ra’i. “Kau pikir aku percaya?”

            “Tunggulah sebentar lagi. Niscaya batu itu akan segera melahirkan.”

            Tiba-tiba petir menggelegar. Orang-orang yang berada di sekitar sawah tercengang. Mana mungkin matahari yang condong ke arah utara, yang artinya musim kemarau telah tiba, tapi langit mengirim petir? Ini pasti pertanda. Begitulah mereka mempercayai isyarat alam. Entah betulan tidaknya, usai cahaya kilat itu melesat cepat, giliran batu cadas menorehkan sejarah yang tak lengang dari ingatan.

            Di antara kesunyian alam dan kebeningan aliran anak sungai, batu itu membelah diri. Dari belahannya muncul seekor sapi limusin betina yang sedang bunting sembilan bulan. Mat Ra’i berteriak macam orang kesurupan. Ia memekik. Berlari dan memanggil orang-orang di sawah. Mereka-mereka yang masih terperanjat akan suara kilat, berbondong-bondong menyaksikan batu cadas yang terbelah dan melahirkan seekor sapi betina.

            Mulut-mulut terkunci rapat. Mereka tak percaya mendapati sapi bunting itu berjalan menuju arahku. Seakan meminta dikasihi, begitulah aku membawanya ke tepi. Orang-orang kian terbungkam, manakala sapi ini mengibas-ngibaskan ekornya, menanggalkan bulu-bulu halus pada tubuhnya lalu berganti bulu-bulu halus yang kemilaunya mirip emas.

Aku bawa sapi yang bermandikan cahaya itu menuju rumah. Orang-orang mempercayai sapi ini beraroma surgawi, dan aku mengamini sebab tubuh binatang ini memang seharum kasturi. Tak sedikit orang-orang terpesona.

            “Mana mungkin batu melahirkan sapi? Samir pasti menipu kita. Pasti,” kata seorang lelaki.

            “Kau tak ingat mukjizat Nabi Shaleh yang meminta Tuhan mengirimkan seekor unta betina sedang hamil lahir dari sebongkah batu?”

            “Itu zaman nabi. Sekarang kita berada di akhir zaman.”

            “Kau kira, Tuhan hanya mengirim sesuatu di luar nalar hanya pada zaman lampau, begitu? Buktinya, istrimu tidur dengan adik kandungmu dan itu tidak masuk akal sebab mereka pertama kali berjumpa, bukan?”

            Segala ucap yang keluar dari bibir-bibir tak aku indahkan. Aku juga tak cemas akan sebagian orang yang setia menunggui sapi bunting ini. Tiga hari kemudian, sapi ini melahirkan seekor anak sapi jantan. Seperti ibunya, anak sapi ini tak kalah kemilau. Dan yang membuatku kian terkesiap, puting sang ibu mendadak mengeluarkan susu sebagaimana sapi perah. Mereka meyakini kalau susu sapi ini mujarab. Mampu menyembuhkan beragam penyakit bahkan segala persoalan. Akhirnya mereka berebutan.

            “Berhentilah bertindak seperti orang yang tak mengenal Tuhan!” kataku sembari melemparkan pandang ke arah orang-orang. “Susu ini akan aku bagikan secara cuma-cuma sesuai porsi masalah yang kalian alami.”

            Mereka mengangguk setuju. Maka, mulai hari itu, rumahku tak pernah sepi dari tamu. Pernah malam buta, ketika aku sedang bersenggama, tiba-tiba pintu belakang digedor-gedor seseorang. Karena aku menganggap sebagai risiko memiliki sapi ajaib, terpaksa aku keluar membuka pintu. Dan setelah aku buka, astaga! Samhadi berdiri di depan pintu, dan tanpa mengucap permisi, ia langsung duduk di ruang belakang.

            Raut Samhadi amat tegang. Lama sekali tak mengucap sepatah kata. Aku hanya menerka-nerka, apa yang hendak bandit ini ucapkan? Mungkinkah ia meminta petunjuk demi melancarkan aksinya merampas harta orang? Ai, aku tak punya jalan keluar semacam itu.

            “Aku tak meminta jimat pelindung atau apalah namanya, Mir. Aku kemari karena aku tahu kau bisa memberi solusi,” katanya. Aku garuk-garuk kepala tak mengerti. “Sepekan ini aku bermimpi melihat bulan purnama bertengger di atas rumah. Cahayanya menembus genteng dan menyusup ke segala penjuru ruangan. Tiap kali aku berjalan mengitari rumah, aku selalu terjatuh karena silau. Saat bangun, aku jatuh kembali. Begitu seterusnya berulang-ulang. Begitu mimpi itu datang tujuh kali.”

             Sesaat aku undur diri. Samhadi menyilakanku menemui sapi demi memaknai mimpi. Pada binatang itu aku sampaikan perihal apa yang Samhadi alami. Anehnya, sapi yang tengah terlelap itu terbangun. Moncongnya mendengus-dengus pakan. Aku berikan sejumput rumput. Dikunyahlah makanan itu, dan tak lama kemudian aku perah putingnya. Dari proses memerah inilah aku peroleh ilham terkait mimpi Samhadi.

            Lekas-lekas aku kembali ke ruang belakang. Aku sodorkan segelas susu yang belum matang itu.

            “Pulanglah, Sam! Kau masak susu ini, lalu teguklah perlahan. Resapi tiap tegukan. Rasakan tiap cecapan seakan-akan kau mengingat perbuatan masa silam. Niscaya kau akan mengerti makna bulan purnama dalam mimpimu.”

            “Kau memintaku berhenti menjadi bandit?”

            “Tuhan sedang memberi hidayah untukmu. Sambutlah ia dengan tangan terbuka.”

            “Kau tahu sendiri tanganku penuh dosa.”

            “Tuhan tak hanya milik mereka yang mengaku beriman, Sam. Kau lupa, kalau Dia menciptakan iblis, dan itu artinya, makhluk paling sial itu juga milikNya?”

            Samhadi menerawang jauh. Aku biarkan ia melihat ke belakang. Lagipula, sewaktu memerah sapi tadi, binatang itu terus merunduk seakan tak kuat memandang silau lampu, dan itu artinya, bulan purnama dalam mimpi Samhadi tak ubahnya cahaya Tuhan. Sebagaimana cahaya yang memberi petunjuk, aku meyakini kalau sudah waktunya Samhadi berhenti menjadi bandit yang tersohor di kawasan Tapal Kuda.

            Aku tak tahu, apakah ucapanku pada malam itu yang menyebabkan Samhadi berhenti menggasak harta orang, atau memang benar ia memperoleh hidayah Tuhan. Nyatanya, Samhadi tak lagi menekuni profesi yang digelutinya itu. Orang-orang menggeleng tak percaya. Tak menyangka kalau Samhadi bakal berhenti jua. Bahkan, orang-orang kian menaruh hormat padaku. Padahal berkali-kali aku katakan, baik aku maupun sapi yang lahir dari batu cadas itu bukanlah Tuhan. Mereka tak boleh menyembah kami sebab sesungguhnya Tuhan masih ada dan Dia-lah yang patut disembah.

            Mereka mengangguk setuju. Mereka mengamini ucapanku dan menjalani perintah Tuhan yang mulai terlupakan sebagaimana pinta sang sapi saat menemuiku melalui mimpi. Masjid-masjid kembali ramai sembahyang. Anak yatim tak lagi terpinggirkan. Mereka kerap bahagia memperoleh santunan dari orang-orang yang kelebihan harta, seperti Nizar yang mendatangiku dengan satu persoalan; hidupnya terasa sempit. Terasa makin sulit. Aku sampaikan padanya untuk bersedekah pada anak yatim. Setelah menjalani nasihatku selama berbulan-bulan, Nizar kembali datang dan menyatakan ucapan terima kasih sebab hidupnya terasa lapang.

            Aku bahagia. Setidaknya, Desa Randu Agung yang terletak di lereng Raung ini kembali tenteram. Tak seperti dulu yang kerap terjadi pemerkosaan. Pembunuhan. Pencurian bahkan urusan masjid hanya ramai saat shalat ied. Kini, mereka saling berjibaku membantu sesama. Pentungan-pentungan di pos ronda juga tiada. Semua aman nan sentosa. Hanya satu lonceng yang sengaja dibiarkan berbunyi. Letaknya di bawah pohon mangga kantor desa. Di sanalah lonceng itu dibunyikan berkali-kali apabila terdapat permasalahan desa yang menuntut mufakat dari rakyat.

            Seperti malam ini. Lonceng itu mengeluarkan suara berisik sedari tadi. Sebagai suri tauladan, tentu aku harus datang. Sesampainya di sana, ternyata Pak Kades mengeluarkan sebuah masalah yang menurutnya harus didengar banyak orang. Yakni, terkait jalan tak beraspal di sebelah utara desa. Usai bersiar begitu, Pak Kades meminta orang-orang mengusulkan jalan keluar. Banyak orang memberi jawaban, dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan; orang-orang akan ikut iuran. Bila tak punya uang, bisa dengan hasil alam. Apabila masih tak punya, cukuplah membantu dengan sedikit tenaga.

            Aku bahagia. Betul-betul bahagia. Sebab desa yang dulunya semrawut, kini mulai tertata kembali. Aku tidak bisa mengatakan kalau perubahan ini terjadi berkat keberadaan sapi. Hanya saja, sejak kedatangan sapi yang menjadi simbol perekat umat, kami hidup berdampingan tanpa ada kekisruhan. Semua perbedaan bersanding tanpa merasa mengungguli.

Sayangnya, kebahagiaanku mesti diuji. Di tengah-tengah kemesraan musyawarah yang telah mencapai titik temu, tiba-tiba segerombol orang yang mengenakan pakaian serbahitam, datang membawa sebilah golok, palu dan batu. Mereka melempari kantor desa bertubi-tubi. Orang-orang menyelamatkan diri. Aku yang masih penasaran akan segorombol orang itu, tiba-tiba ada yang menarik lengan. Dia menyeret kasar lalu menghantam tubuhku dengan sbeongkah batu.

            Orang-orang mengumpat kasar bahkan Pak Kades berteriak lantang meminta mereka berhenti memukulku, namun segerombol orang ini kian beringas.

            “Kami tak akan berhenti sebelum dia mati. Samir bukan Nabi layaknya Nabi Shaleh yang memiliki mukjizat seekor unta betina lahir dari batu. Apalagi kalian menyembahnya sebagaimana menyembah Nabi. Kembalilah pada jalan Tuhan! Pada jalan kebenaran.”

            “Kau tak lihat ketentraman yang kami rasakan? Samir bukan Tuhan juga bukan Nabi. Dia sama sekali tidak mengaku sebagai Nabi seperti yang kalian tuduhkan. Bahkan ia meminta kami sembahyang setelah lama kami tinggalkan. Meminta kami mengingat Tuhan setelah sekian purnama hilang dari benak pikiran. Samir juga meminta kami menjauhi hal munkar setelah sekian lama menjadi kawan karib. Kami tak menyebahnya sebagai Tuhan. Kami menurutinya karena memang itu benar.”

            “Diamlah, Kades keparat! Sudah jadi perintah Tuhan memberantas yang bukan ajaranNya.”

            Aku melihat orang-orang beringsut maju hendak melawan, tapi salah seorang dari segerombol orang berpakaian serbahitam ini tiba-tiba menarik pelatuk. Moncongnya diarahkan ke kepala, mencetuslah sebuah letusan. Orang-orang tercekat. Langit gelap. Pandanganku pudar. Dalam ajal yang kian menyusutkan tubuh, aku masih bertanya pada lelaki yang memegang senjata; apakah agama kalian gemar bunuh orang?

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan