budaya-balas-dendam

Pada Malam, Dendam Itu Menyalang

Usiaku sepuluh tahun ketika itu. Dalam lelap dan jaga, entah derap langkah atau pekik suara, aku pasang telinga lebar-lebar dan yang terdengar hanyalah detak jantung yang kian bengkak. Meski keringat dingin mengucur ke sekujur badan, embu’ tetap menyelimuti tubuhku memakai selembar kain jarik, sembari berkata kalau maling tak berani masuk rumah. Mengapa tak berani, tanyaku hati-hati. Tidurlah, kata embu’ sembari menuding celurit yang tergantung di dinding.

Akhir-akhir ini aku susah tidur malam. Sejak eppa’ dipercaya menjaga gudang tembakau di Ajung selatan, aku merasa rumah diintai orang tak dikenal. Ketika kuceritakan pada embu’, perempuan paruh baya itu menganggap ketakutanku muncul sebab sehari sebelum berangkat ke Ajung, eppa’ bercerita soal bandit. Dulu, sewaktu eppa’ kecil, seorang bandit masuk ke dalam rumah, dan menebas leher Simbah yang kebetulan terbangun.

Membayangkan peristiwa kelam itu, aku merasa bunyi jangkrik, derit tikus di bubungan, dan anak katak yang dikulum mulut ular seperti saling bercakap. Tak jarang saat aku membuka mata, embu’ yang semula lelap tiba-tiba terjaga. Jemari kasarnya mengelus ubun-ubun dan tak lama kemudian mendekap tubuhku erat-erat. Tiada terkira rasanya saat embu’ memelukku. Hangat lekapnya berhasil menenangkan gemuruh. Meski pada akhirnya ia kembali tidur, dan ketakutan kembali menelungkup dalam gelap malam, aku bersyukur embu’ berada di sampingku saat derau risau terus bercokol dalam angan.

Seingatku, ketika embu’ benar-benar nyenyak, bahkan dengung nyamuk yang seliweran tak berhasil membangunkan, aku mendengar bunyi knalpot dari kejauhan. Aku yakin itu bukan mimpi atau halusinasi. Makin lama, suara itu makin mendekati rumah. Makin lama, tubuhku kian bergetar mendapati kendaraan berhenti di dekat kangai yang terletak di samping rumah. Dan tak lama kemudian terdapat suara gedebuk seperti batang pisang terjatuh. Entah pada detik ke berapa, aku merasa ada yang tercebur. Entah orang, entah batang tanaman, aku yakin malam menyimpannya sebagai cerita.

Tubuhku yang kian gigil tak berhasil menahan kencing. Mati-matian aku berusaha menahan buang air kecil di atas ranjang, nyatanya keluar jua. Apalagi ketika mendengar derap langkah orang yang kemudian disusul bunyi kendaraan menjauhi pekarangan. Semua terasa nyata dan tersuguh di depan mata. Aku cubit lengan embu’, perempuan itu tak bergeming. Aku betul-betul gemetar. Keringat kian bercucuran. Mungkin ada yang terdampar di antara batu besar atau setidaknya hanyut terapung. Berkali-kali aku cubit lengan embu’, perempuan itu hanya membetulkan pelukan. Aku memaksakan mengatupkan kelopak mata. Sekali. Sepuluh kali. Dua puluh kali. Entah berapa puluh kali, pada akhirnya aku lelap ketika ayam menyambut suluk fajar dari arah timur.

Aku baru terbangun kala riuh suara memenuhi kangai. Semula aku takut embu’ marah mendapati kasur bau pesing. Ternyata ia membangunkanku musabab ada orang mati di tepi kangai. Aku ingin menceritakan apa yang kudengar semalam, tapi suaraku tersendat di kerongkongan. Bisaku lekas-lekas menyusulnya ke kangai yang suasananya benar-benar ramai.

Orang-orang dari luar dusun turut menyaksikan mayat lelaki itu. Tak di atas, di bawah rimbun bambu, tampak lautan manusia. Tubuhku yang kecil memungkinkan meliuk-liuk dan menyibak pinggang orang dewasa. Saat tiba di baris paling depan, polisi tengah memasang garis batas agar orang-orang tak mendekat. Aku yakin kalau apa yang aku dengar semalam adalah peristiwa ini. Dadaku mulai sesak. Aku tak lagi tahu bagaimana cara menenangkan diri sebab bayang-bayang suara gedebuk dan kecebur silih berganti memenuhi ingatan.

Polisi yang meminta bantuan beberapa lelaki untuk mengangkut mayat menemui kesulitan. Hanya Lek Mat mengangguk setuju sedang yang lain bergeming. Mereka tak ingin menjadi saksi jika nanti dimintai keterangan. Hanya eppa’, ya, hanya ia yang berteriak mengiyakan. Aku tak tahu kapan ia datang. Tapi aku begitu girang. Apalagi sewaktu orang-orang memberi jalan dan eppa’ berjalan membawa tas selempangnya yang kusam, aku merasa eppa’ seperti pahlawan di buku pelajaran sekolah.

Selepas mengangkat mayat dan menaruhnya di mobil polisi, eppa’ menghampiriku. Aku kira ia akan bertanya soal embu’, tapi, lelaki itu malah menggenggam lenganku dan menjauhi kerumunan. Sewaktu aku bertanya hendak ke mana, eppa’ bilang ke Pasar Raboan. Aku melonjak senang.

Di sini, di Pasar Raboan yang berisi beragam transaksi dari jual-beli sapi hingga pakaian ini, lautan manusia menyeruak hingga ke jalan. Meski baju yang kupilih bukan pakaian anyar, setidaknya masih layak pakai dan warnanya tak terlihat pudar. Aku tak memedulikan bau kotoran sapi dan kambing yang menguar ke udara. Eppa’ sendiri sibuk memilah daster. Pilihannya jatuh pada hijau tembakau. Ah, bisa juga lelaki ini memilih baju untuk istrinya.

Usai membayar, eppa’ menuntunku ke tempat penjual daging kambing. Ia memesan tiga kilo. Lagi-lagi aku girang sekaligus penasaran. Barangkali ia baru diberi upah setelah dua pekan tak pulang-pulang. Kita makan kenyang hari ini, kata eppa’ sembari menenteng plastik berisi daging, sementara yang berisi pakaian aku dekap begitu kuat. Aku belum mengangguk setuju saat eppa’ berhenti di depan toko emas Haji Abror. Matanya tampak berbinar. Kilat cahaya itu berpendar saat jemarinya memilih liontin.

Embu’mu pasti suka. Kali ini, aku mengangguk mengiyakan meski aku penasaran besar upahnya. Kami akhirnya pulang sembari bergandengan tangan. Sayangnya, di sepanjang jalan menuju rumah, aku mendapati keanehan. Orang-orang yang kami temui memandang kami nanar. Mendapati suasana tak nyaman, eppa’ mempercepat langkah. Aku tak kalah lebar melangkah. Aku ingin bertanya mengapa orang-orang memandang begitu, tapi eppa’ mendadak terdiam. Ia tak lagi tersenyum seperti sebelum.

Eppa’ berjalan seperti kerasukan setan. Aku setengah berlari menyamai langkahnya. Tapi, ia kian cepat. Apalagi ketika tatapan orang makin runyam, eppa’ berlari dan aku ikut berlari. Hingga akhirnya, eppa’ yang lebih dulu memasuki rumah yang dikerumuni beberapa orang, tiba-tiba ia berteriak kesetanan. Piring dan gelas ia lempar ke penjuru ruangan. Orang-orang tak ada yang berani menenangkan. Aku yang termangu di sudut pintu ditatapnya  garang.

“Tutupi ibumu dengan kain jarik itu!”

Aku mengangguk sewaktu memungut dan menutupi tubuh embu’ yang telanjang dan bersimbah darah. Urat lehernya tampak putus oleh sabetan celurit.

Eppa’ hendak ke mana?” kataku sewaktu eppa’ mengambil celurit yang tergeletak di sebelah embu’. Merah darah masih membasahi senjata itu.

Eppa’ hendak ke mana?”

Eppa’ tak menyahut. Ia keluar sembari menenteng celurit. Lek Mat memberanikan diri menghadang eppa’. Lelaki itu diminta minggir, tapi Lek Mat bergeming.

“Baiknya selesaikan di kantor polisi. Tak baik menumpahkan nyawa. Anakmu masih kecil, Har.”

“Pantang bagi lelaki mendapati istrinya dinodai pejantan lain hingga akhirnya ia bunuh diri. Kalau kau tak ingin ditebas lebih dulu baiknya beri aku jalan. Biar aku menuntaskan apa yang perlu dituntaskan di rumah Muzakkar.”

Nyaris aku memekik mendengar ucapan eppa’. Aku ingin bersimpuh memohon agar eppa’ tak membunuh siapa-siapa. Sayangnya, sewaktu Lek Mat menyingkir dan eppa’ kembali melangkah, mobil polisi tiba-tiba berhenti di depan rumah. Dua orang berbadan tegap lengkap bersenjata, turun dari kendaraan dan meminta eppa’ mengangkat tangan. Seketika eppa’ melepaskan celurit dari genggaman. Di hadapan orang-orang dan Pak Mus sebagai RT, pak polisi menyampaikan surat tugas penangkapan atas dugaan tindakan perampokan yang disertai kekerasan terhadap tukang ojek yang mayatnya dilemparkan ke kangai, dan pelakunya adalah eppa’.

Perlahan aku menyaksikan siluet kangai dan awan seakan merebahkan diri di pelupuk mata. Keduanya menuntunku untuk memungut celurit yang tergeletak di atas tanah. Sampai sekarang, celurit itu masih aku simpan. Merah darahnya terus menyebut sebuah nama kala malam-malam panjang menyalang dalam temaram bulan.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan