Ketika Jepang diguncang Tsunami, datanglah bantuan dari Indonesia. Ketika orang Jepang ditolong oleh perawat Indonesia, ia mengatakan “Saya diselamatkan oleh senyumannya.” Kisah Kato inilah yang menandaskan bahwa sejatinya hubungan kemanusiaan melampaui urusan agama. Islam memiliki jiwa dan semangat perdamaian itu.
Hisanori Kato meneliti Islam dengan tanpa prasangka. Ia berangkat dari keinginan murni mencari dan mendalami Islam lebih jauh. Indonesia dipilih saat Ia melihat obor anak-anak yang menyala di kala Idul Fitri di tahun 1991. Sejak itulah ia tertarik meneliti lebih jauh Islam Indonesia.
Melalui tokoh-tokoh organisasi Islam di Indonesia, Kato menemui, mewawancarai, dan bercakap tentang Islam.
Ia menerobos ke gang-gang sempit, menanti berjam-jam, rela antri untuk menunggu para pemimpin organisasi Islam ini demi mendapatkan informasi berharga tentang Islam dan organisasi Islam di Indonesia.
Meski sempat mendengar kabar tak enak mengenai tokoh-tokoh yang ia wawancarai, ia berusaha untuk membuktikan sendiri bagaimana para tokoh yang ia teliti dengan menemuinya sendiri.
Sebagai seorang antropolog, ia mendekati objek dari dekat sekali. Apa yang ia tuturkan dalam wawancaranya di buku Islam di Mata Orang Jepang [2014] terasa sekali kejujuran dan ketulusannya mendalami Islam Indonesia.
Ada ragam pandangan dan corak setiap tokoh memahami dan memaknai Islam yang mereka yakini. Namun ada benang merah yang sama saat mereka menjelaskan Islam yang penuh kasih, cinta damai dan memiliki satu kitab yang sama dan nabi yang dijadikan anutan.
FPI misalnya yang dikenal garang dan membawa pentungan, Kato justru menemukan hal lain. Saat ia mewawancarai Eka Jaya salah satu petinggi FPI. Kato tidak menemukan wajah berbahaya sebagaimana yang distigmakan orang. FPI melakukan aksinya setelah berkomunikasi dengan polisi namun pemberitahuan itu tidak digubris. Apalagi saat itu situasinya ramadhan dan banyak kafe dan juga diskotik yang menjual minuman keras.
Berbeda dengan FPI, Kato juga mewawancarai budayawan Mohamad Sobari. Sobari sebagai orang Jawa memaknai Islam tidak selalu bertentangan dengan budaya. Dalam pemahaman Sobari bila agama berseteru dengan budaya tentu ia tidak bisa berkembang pesat di Indonesia. Islam justru sebaliknya bisa membaur saling silang dan tumbuh dalam payung keindonesiaan.
Ada dua tokoh yang mewakili pandangan Islam Indonesia yang coba digali oleh Kato. Dua tokoh itu adalah Ulil Absor Abdala dan juga Abu Bakar Baasyir.
Melalui wawancara dua tokoh ini, Kato justru mendapati kesimpulan yang sama saat dua tokoh ini menyatakan pendapat perihal KKN. Dalam aspek pemahaman agama, perdebatan mereka hanya pada cara atau strategi dakwah Islam di Indonesia. Dalam pandangan Islam fundamental, atau Abu Bakar Baasyir, Islam dimaknai sebagai sesuatu yang sudah final. Ketentuan dan ketetapan hukumnya harus ditegakkan. Baasyir percaya bila umat Islam menaati hukum Islam maka ia akan selamat. Namun dalam pandangan Islam liberal yang diwakili oleh Ulil, gagasan Islam tidak boleh dipandang monolitik dan harus selalu kontekstual. Manurut Ulil, Setiap umat Islam mesti melakukan ijtihad dan terus-menerus melakukan pembaruan agar Islam selalu selaras dengan perkembangan zaman.
Pada akhir buku ini, Kato sepakat dengan pendapat Gus Dur bahwa Islam mesti terus melakukan dialog, saling silaturahim antar umat beragama agar Islam terus-menerus menjadi payung keindonesiaan. Semakin sering dialog dan duduk bersama, Kato percaya Islam Indonesia bisa memberi rahmat bagi seluruh alam.
Islam Indonesia akan menjadi semakin kokoh, kuat dan menjadi solusi masalah kemanusiaan dengan terus menjalin persatuan dan menjaga kerukunan baik antar sesama pemeluknya maupun antar pemeluk agama lain.
Pandangan Kato justru menepis anggapan selama ini yang dituduhkan Barat kepada Islam Indonesia yang identik dengan kekerasan dan teror.
Belum ada tanggapan.