Syahdan, Bargazo adalah sebuah kota kecil di tepi utara. Saat ini, tengah memasuki musim semi yang dinanti banyak orang. Sayangnya, penduduk Kota Bargazo tak begitu antusias melihat pepohonan yang tengah memunculkan daun-daun baru. Bagi mereka, korupsi di kota itu sudah sangat menghibur sekaligus mengundang pilu.
Bagaimana tidak dikatakan menghibur, empat puluh satu dari total empat puluh lima wakil rakyat di kota itu, ditangkap Badan Pemberantas Korupsi, karena terindikasi membentuk badan abal-abal sebagai penerima bantuan sosial. Padahal, dana bansos itu diambil sendiri, lalu digunakan jalan-jalan dari negeri Sakura sampai pucuk Eropa.
Sialnya, ketua wakil rakyat yang merasa tak menjadi wakil itu tak mau mengakui kesalahannya. Ia terus mengelak dengan alasan difitnah. Tentu, kenyataan ini mengundang tawa tahanan lain yang sudah mendekam terlebih dulu. Di dalam sel yang berukuran enam kali empat meter itu, ada mantan ketua Departemen Agama yang korupsi uang Qur’an. Ada juga anggota partai yang korupsi banyak proyek, atau pemilik travel umroh yang menggunakan uang umat buat foya-foya.
“Kalau sudah ngambil, mbok yo ngaku saja. Jangan seperti saya yang diuber-uber sampai pelosok negeri,” kata tersangka suap e-KTP.
“Ngaku gimana? Lah wong saya gak korupsi.”
“Lah, terus kalau gak korupsi kenapa ditangkap?”
“Saya kan niatnya minjam. Nanti dikembalikan,” jawab si koruptor bansos.
“Itu sama saja. Kita semua, ya nganggap gitu.”
“Pokoknya saya tidak korupsi. Sampai mati saya gak mau ngaku kalo saya korupsi.”
Teman-temannya ketawa. Mereka sudah tak punya cara agar koruptor bansos ternak itu mengaku. Padahal, dengan mengakui kesalahan di persidangan, majelis hakim akan melihat kalau tersangka kooperatif, dan kemungkinan menjadi nilai tambah meringankan hukuman. Sayangnya, si koruptor tak mau mengikuti saran teman-temannya itu. Padahal mereka jauh lebih pengalaman. Dan pengalaman adalah guru yang terbaik.
Benar saja. Di sidang putusan, hakim memvonis lima belas tahun penjara. Sedangkan kawannya yang lain, hanya dihukum enam tahun, empat tahun bahkan ada yang divonis satu tahun dua bulan. Hanya dia seorang yang paling lama. Jadilah dia tampak murung tak ketulung. Hari-harinya dilalui dengan melamun.
“Sebaiknya kamu buka panti pijat. Hitung-hitung menghibur diri agar tak bosan,” saran mantan ketua Departemen Agama yang baru selesai shalat.
“Atau buka jasa laundry,” kali ini, koruptor pengadaan alat kesehatan yang memberi usul.
“Intinya, kamu harus menciptakan kesibukan. Jangan berdiam diri seperti ini. Bisa-bisa kamu gantung diri.”
Koruptor bansos tak menanggapi. Tatapannya kosong. Beruntung petugas lapas memanggilnya keluar. Katanya ada yang membesuk. Setelah keluar dari bangsal, dia menuju ruang tunggu yang ada di dekat lorong keluar. Setelah menengok ke arah orang-orang sebentar, dia merasa petugas lapas salah memanggil orang. Di antara para pembesuk itu, tak satupun yang dikenal. Tetiba, saat ia ingin kembali ke bangsal, seorang lelaki tua datang menghampiri.
“Saya dari desa, Pak.”
Si koruptor menatap lelaki tua itu. Mencoba mengingat sosok di depannya.
“Saya Amir, Pak.”
Usai menjabat tangan tamunya yang tak membawa apa-apa itu, dia ikut duduk di atas kursi besi yang mengeluarkan sedikit suara berisik.
“Saya hanya mau memberi kabar. Sapi-sapi Bapak sudah beranak pinak. Yang Limosin jumlahnya empat puluh.”
Kabar yang disampaikan lelaki tua membuatnya terkejut. Dengan suara agak pelan, dia bertanya kepada tamunya.
“Sapi yang mana, Pak? Saya tak pernah memberi Bapak sapi.”
“Ah, masak Bapak lupa? Itu, Pak. Sapi-sapi yang Bapak titipkan lima tahun lalu.”
Kali ini, si tersangka terdiam. Ia berusaha mengingat sapi yang dimaksud bapak tua itu. Sepertinya, Badan Pemberantas Korupsi tak berhasil melacak hasil perbuatannya. Nyatanya, sapi-sapinya masih ada.
“Sapi ini bukan hasil korupsi Bapak yang sekarang,” kata lelaki tua seolah-olah mengetahui isi pikiran lawan bicaranya. “Sapi ini Bapak beli saat berkunjung ke desa.”
Koruptor bansos itu tersenyum. Kali ini dia ingat. Sebulan setelah dilantik menjadi wakil rakyat, dia melakukan kunjungan hanya sekadar menghabiskan dana di fraksi yang belum terpakai. Kala itu, si koruptor tengah mendapati lelaki tua di depannya ini ingin menjual sapi. Katanya, untuk biaya mendirikan sumber listrik di desa. Jadilah si koruptor membeli dengan dana perjalanan yang memang kelewat banyak itu.
“Jadi, bagaimana, Pak? Apakah sapi-sapi ini akan saya jual?”
“Jangan,” jawab koruptor cepat. “Jangan buru-buru maksud saya.”
Setelah memastikan agar lelaki tua itu kembali dua Minggu lagi, si koruptor kembali ke bangsal dengan muka ceria. Teman-temannya keheranan mendapati dirinya yang datang dengan senyum sumringah.
“Dibesuk istri simpanan?”
Si koruptor bansos tak jawab. Dia tersenyum sambil mengambil buku dan pulpen. Lalu khusyuk mencorat-coret. Sesekali dia menengok langit-langit kamar, kemudian menulis lagi. Teman-temannya mengira, kejiwaan koruptor bansos mulai terganggu.
Dua Minggu kemudian -sesuai permintaan waktu itu- lelaki tua kembali datang membesuk. Kali ini, dia membawa sekeranjang buah. Usai bertegur sapa yang terlihat basa-basi biasa, si koruptor menyelipkan kertas kepada lelaki tua.
“Bacalah setelah keluar dari sini. Sekarang, saya mau kembali ke kamar.”
Lelaki tua mengangguk takdzim. Cepat-cepat dia pamit pergi, terburu-buru ingin membaca surat koruptor bansos itu. Setelah melewati lorong keluar, dia tak langsung mencari angkot. Dia memilih duduk di bawah pohon trembesi, dan membuka kertas yang dilipat kecil. Isinya, si koruptor bansos meminta untuk menjual seluruh sapi, lalu digunakan membuka usaha di kota. Tentu si lelaki tua juga ikut pindah ke kota. Apalagi, dia memang tinggal sendiri. Istri dan anaknya sudah lama pergi.
Dengan senyum sumringah, lelaki tua pulang ke rumah. Ingin cepat-cepat menjual seluruh sapi di kandang, dan berkemas pindah ke kota. Sedang si koruptor, kembali sibuk dengan buku catatan. Di buku itu, dia sibuk menghitung pemasukan tiap bulan yang bakal diterima. Kali ini, dia tak lagi sumpek menjalani hukuman. Sekarang, dia murah senyum. Sebab meskipun di penjara, dia memiliki penghasilan dan hidup nyaman.
Sayangnya, teman-temannya yang tak tahu perihal sapi di desa itu, keburu mengecap koruptor bansos tak waras. Bagi mereka, temannya itu stres lantaran divonis lima belas tahun, sedang keluarganya tak sekalipun datang membesuk. Mendapati isu miring, si koruptor tak peduli. Dia tetap mencorat-coret buku dengan prediksi pendapatan yang bakal diterima.
Si koruptor sadar, setelah menjadi tersangka korupsi, ia tak lagi memiliki pekerjaan dan seluruh aset kekayaan beserta rumahnya diambil negara. Dan kali ini, ia merasa menang. Dia merasa Badan Pemberantas Korupsi tak sepintar yang diduga. Ya, dia tersenyum lebar. Padahal, di waktu bersamaan, angkot yang ditumpangi lelaki tua itu jatuh ke jurang. Semua penumpang tak ada yang selamat. Termasuk lelaki tua yang baru berkunjung dari lapas barusan.
Belum ada tanggapan.