Fiksi Kilat Victor Delvy Tutupary
Sehabis sekolah, karena ingin menabung, aku memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki saja. Di jalan aku menemui pohon-pohon besar dan sebuah sungai deras berair cokelat. Juga ada sebuah lapangan bola dengan rumput hijau yang harus kulintasi. Apakah terik panas matahari yang membuatku ingin berhenti untuk duduk sejenak di bawah pohon? Apakah jarak jauh yang masih harus kutempuh membuat rumput hijau itu terlihat seperti ladang ranjau di Saigon? Apakah keringat yang membasahi pipi membuat aku sadar bahwa terkadang hanya untuk memperoleh uang seribu perak, kita harus berlari kencang seperti kuda pacuan? Aku duduk di sebuah kursi kayu panjang di pinggir lapangan. Ada sebuah pohon besar tak kutahu namanya yang memayungi seragam putih abu-abu-ku dari terik panas. Karena aku tak membawa botol air, maka aku mengeluarkan sebuah buku tulis kecil bersampul NKOTB. Di buku tulis kecil itulah terdapat seluruh karya puisiku yang kutulis sejak aku jatuh cinta kepada Ayu saat kelas dua SMP. Puisi-puisi itu, lebih tepatnya bukan puisi tapi hanya coret-coretan tak bermakna buatan anak kecil, meski kini tampak memualkan bagiku tapi tetap kupertahankan. Aku mencari halaman yang masih kosong, kemudian dengan pena bertinta biru kutuliskan coretan-coretan berikut:
Segalanya Kau tumpahkan bagiku
Tetapi, lindungilah perutku,
jika Kau hendak tumpahkan celaka
Coretan itu berakhir di situ. Aku menutup buku tulis kecil itu dan memasukannya kembali ke dalam tas. Aku kemudian memikirkan ibu. Lalu memikirkan ayah. Wajah ibu dan ayah timbul tenggelam di dalam pikiranku. Melalui angin sepoi-sepoi, aku melihat ibu sedang duduk tertunduk lesu menatap meja makan yang kosong. Sudah hampir jam dua siang dan belum ada makanan di meja makan. Di teras, ayah duduk dalam ketiadaan, tubuhnya seperti terbuat dari semen yang sudah retak dan hancur di sana-sini. Wajah ayah dan ibu timbul tenggelam dalam lamunanku. Kukeluarkan kembali buku tulis kecil itu, lalu kutuliskan:
“ibu, ayah, di dalam lemari pakaianku, di bawah tumpukan celana, ada uang tabunganku, ambil saja seperlunya, lalu catat di secarik kertas berapa jumlah yang telah ayah ibu ambil, lalu selipkan kertas itu kembali di bawah tumpukan celana”
Kumasukkan kembali buku itu ke dalam tas, bersama perut lapar aku meneruskan perjalanan sambil berdoa semoga lamunanku tadi hanyalah lamunan.
Artikel Terkait:
Suka?
[wp_ulike]
Belum ada tanggapan.