Pak Agus. Orang-orang kampung mengenalnya dengan sebutan itu. Seorang lelaki tua berusia kira-kira 40-an tahun. Memiliki seorang istri dan dianugerahi dua orang anak, seorang putra dan putri. Dia dikenal sebagai pria yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Dia seorang petani ulet. Dikenal juga sebagai seorang yang periang dan memiliki selera humor yang tinggi. Relasinya dengan orang-orang di sekitarnya sangat baik. Dia berhubungan dengan siapa saja tanpa memandang latar belakang identitas dari orang-orang itu.
Namun, sejak pasca tragedi perang saudara itu, dia kini terlihat amat murung dan menjadi seorang pendiam. Pak Agus, yang dulunya dikenal sebagai seorang yang periang dan humoris kini telah berubah drastis menjadi seorang Pak Agus yang pemurung, pendiam dan selalu saja terlihat sedih. Hal itu tentu saja beralasan. Sebab peristiwa perang saudara itu telah membawa petaka yang amat pedih bagi keluarga Pak Agus. Istri dan kedua anaknya harus menjadi daftar korban dari sekian banyak korban yang berjatuhan akibat peristiwa na’as itu. Keluarga Pak Agus hangus terbakar di dalam rumah mereka sendiri. Dan saat itu, Pak Agus tidak ada di rumah. Dia sedang bekerja di ladang yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman kampung sehingga saat peristiwa berlangsung Pak Agus tidak tahu apa-apa. Sepulangnya dari ladang, betapa pedih hatinya ketika harus menyaksikan jasad dari istri dan kedua anaknya yang hampir pasti sulit lagi untuk dikenali. Pak Agus hatinya terpuruk.
**
Seminggu setelah tragedi itu, aku pergi ke lokasi kejadian. Sebagai seorang pemerhati sosial dan juga manusia yang beradab, aku berinisiatif untuk pergi mengunjungi keluarga-keluarga korban. Saat itu, warga kampung memang masih dirundung duka oleh kepergian sanak saudara mereka. Selain itu, mereka juga tak pernah membayangkan akan adanya peristiwa tersebut sebab menurut cerita yang diwariskan dari nenek moyang mereka, antara kampung mereka dan kampung tetangga tidak pernah terjadi percecokan. Apalagi yang namanya perang. Baru kali ini, tercipta permusuhan. Entah atas alasan apa. Itu tak pernah diketahui.
Hampir 10 menit aku menginjakkan kaki di kampung itu. Kulihat seorang lelaki tua, yang setelah kucari tahu namanya ternyata Pak Agus, sedang duduk terpekur di depan halaman rumahnya yang sudah tidak layak lagi tuk didiami. Dia duduk menyendiri. Selain itu, kuperhatikan, dari posisi kepalanya, lelaki tua itu sedang memikirkan sesuatu yang cukup penting tentang nasibnya. Aku memberanikan diri tuk mendekatinya.
“Mengapa bapak menyendiri?”
“Apa yang sedang bapak pikirkan?”, tanyaku dengan nada lembut dan penuh perhatian.
Dia tidak menyahutku. Dia hanya bergeming dan menatap ke arahku dengan sorotan mata yang tajam. Kemudian dia kembali menundukkan kepalanya. Sesekali melihat ke arah rumahnya yang sudah tiada dan sesekali melihat ke arahku, lalu tunduk kembali. Ketika kuajukan pertanyaan lagi respon tetap sama. Hanya bergeming. Tidak ekspresif. Dan kutanya lagi, kepalanya saja yang bergerak sebentar ke kiri lalu ke kanan, dari posisi agak miring ke posisi agak tegak. Dan selebihnya, dia diam. Aku pun menyerah dan tidak menanyakan apa-apa kepadanya sebab rasanya dia akan menolak pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi, aku sangat yakin bahwa dia pasti membutuhkan sesuatu. Namun, itu tak dikatakannya entah karena apa. Aku tidak tahu.
***
Hening. Tak ada terdengar decit burung di pepohonan. Bahkan angin sepoi pun enggan bertamu saat itu. Amat gerah rasanya. Dan kelihatannya Pak Agus tetap diam saja seperti sejak awal kulihat. Namun rupanya, diamnya itu menggoncangkan jiwanya sendiri. Ternyata diam itu tidak menenangkannya. Dan sekitar lima belas menit berselang, tiba-tiba dari mulutnya terdengar ucapan yang tegas dan dengan suara yang amat lantang:
“Saya ingin balas dendam. Saya akan membakar semua rumah mereka. Entah kapan, saya tidak tahu. Entah anda mendukung atau tidak, saya tidak peduli”.
Belum ada tanggapan.