Bila kau mendapati megahnya Hyang Argopuro, tak usah ragu teruslah mendaki sampai Cikasur. Sampai puncak Rengganis. Ratapilah cucuran air mata yang menggenang di atas timbunan abu dan debu itu. Maka, kau tak akan sekadar mendapati lapangan gersang tanpa pepohonan atau puing-puing situs purbakala terbengkalai. Tapi kau akan mendapati sergapan kabut pekat yang tak mengenal bilangan masa. Seperti kisahku yang abadi dalam tubuh pendaki.
***
Umpama Rahma tak mengidam aneh-aneh, tak meminta Seno, suaminya, mencium kuda lumping Cak Wan sewaktu pementasan, tak menyuruh Seno mencabut sebelas bulu Getek –monyet peliharaan Wak Buto, tak menginginkan kelapa gading yang hanya berbuah tiga saja, barangkali Rengganis tak lahir meneteskan banyak liur. Sekadar kau tahu, liur Rengganis tak pernah henti keluar dari belia kedua bibirnya. Setiap dia menginginkan sesuatu yang hanya terucap di batin, liurnya meleleh seperti gumpalan api di gunung berapi.
Kendati begitu, Rengganis menjelma gadis cantik. Lentik bulu mata, lesung pipi kiri, menambah gairah lelaki manakala mendapati sinden muda itu menari. Ah, tidak. Tidak. Sudah lama ia tak menganggap diri sebagai perempuan cantik. Sudah lama kata-kata yang kerap dilontarkan banyak orang itu ia buang. Sudah lama ia melupakan serangkaian kalimat indah yang berujung pujian. Semenjak di pemandian Patemon, ia tak lagi ingat kalau di dunia ini ada kata cantik.
Selepas matahari terbenam, Rengganis menanti Andi Seto di bawah pohon beringin di dekat pemandian. Keduanya berjanji menikmati sumber air panas Patemon yang diyakini sebagai pelanggeng hubungan hingga surga. Tak ayal Rengganis begitu menggebu-gebu. Sebelum lazuardi menampakkan tubuhnya pun, ia berdiri menanti seorang lelaki yang terkenal piawai ilmu kesehatan dan bekerja di kota.
Ah, barangkali Andi Seto sedikit lupa. Atau memang tak berniat ke sana. Sedari petang menutup malam, ia tak datang jua. Padahal Rengganis kudu tampil di balai desa. Telat sedikit saja, Cak Wan –lelaki tua pemilik sanggar Jaranan satu-satunya- mendamprat habis, lalu dengan sendirinya kata-kata kasar meluncur tak karuan.
“Jangan gunakan kecantikanmu untuk merayuku! Telat, ya, telat! Tak bisa ditawar sekalipun dengan bibirmu apalagi liurmu.”
Rengganis heran, mengapa lelaki tua itu tak terpikat seujung jari saja. Padahal parasnya tersohor cantik sampai-sampai Jaranan dipenuhi banyak lelaki yang ingin menyawer. Jika sebelumnya penuh sesak oleh lansia, semenjak Rengganis berkecimpung, seluruh lelaki di kampung ikut nimbrung. Tak lupa istri-istri yang bermuka sungut manakala tatapan suaminya tak pindah-pindah. Memelototi wajah Rengganis yang turun sedikit-sedikit ke bawah.
Lain halnya Andi Seto. Tanpa menggoda, Rengganis paham dirinya menaruh hati. Liurnya adalah bukti. Terus meleleh saat membayangkan kehadiran Andi Seto, dan berhenti setelah betul-betul berhadapan. Tetapi tidak malam itu. Andi Seto tak datang. Rengganis kebingungan. Mungkinkah kecantikannya tak seberapa dibandingkan gadis kota?
Maka, tak seperti pementasan sebelumnya, nyanyian dan tarian Rengganis tak menghibur. Ia jua tak membalas interaksi lelaki. Jaranan monoton. Pagelaran yang menawarkan atraksi kuda lumping, memakan beling, menyusupi bara api dan pemain yang kesurupan itu seakan hilang pegangan. Jaranan membosankan. Cak Wan kelimpungan. Berkali-kali ia mengutarakan maaf atas kata-kata kasar yang kerap dilontarkan, Rengganis tetap murung. Maryam dan Sukar kelabakan mendapati anaknya mendadak pendiam.
“Selagi muda bekerjalah dengan giat, Nis. Syukuri wajah ayumu itu. Jangan sia-siakan.”
“Untuk apa berparas rupawan kalau akhirnya menyakitkan.”
“Bah, kau ditolak lelaki? Kau ditolak, Nis? Siapa yang menolakmu? Gadis tercantik di penjuru desa ditolak seorang lelaki?”
“Ya, aku ditolak, Wak.”
“Siapa dia? Macam lelaki berharga saja.”
“Anak Bu Lurah Asti.”
Sukar terperanjat. Bayangan rumah berlantai dua, lantai marmer Persia, Sukar hafal betul tiap sudut ruangan. Dulu dia bekerja di sana. Terlebih halaman belakang yang ditanami beberapa tanaman, Sukar-lah yang merawat tiap pagi.
“Aku tak setuju kau bersama Andi Seto. Akhiri saja perasaanmu itu.”
“Ai, kenapa Uwak bicara begitu? Bukankah selama ini Uwak getol menawariku ke banyak duda kaya, lantas kenapa sekarang tak suka?”
“Dia tak pantas.”
“Kurang pantas? Dia bekerja di kota, tak meminta ke orang tua dikata tak pantas? Lantas siapa yang pantas, Wak? Burhan yang beristri sebelas itu, ha?”
Sukar mendekat, menatap anaknya lekat. “Kau tahu, Nis. Andi Seto sebetulnya anakku bersama Bu Lurah Asti.”
Rengganis tercekat. Sukar pergi. Tangis sinden muda itu makin jadi-jadi.
***
“Kita hendak ke mana, Seto? Tak tahukah kau kalau kita …?”
“Jangan teruskan kalimat itu. Aku tahu. Aku tahu kalau Sukar selingkuhan ibuku.”
“Lantas kita ke mana?”
“Ke tempat seharusnya kita berada.”
Meskipun kedatanganku mirip sirkus badut di kota, ini adalah cara menyelamatkan hubungan –yang aku sendiri sebetulnya belum bisa membebaskan diri dari ketidakpastian. Kau tahu, tak mungkin kubiarkan Rengganis tenggelam ke dasar perasaan. Tak mungkin aku membiarkan Rengganis melakukan tindakan bodoh mendapati ayahnya selingkuhan ibuku, dan paling penting lelaki yang dicintainya adalah kakak tiri. Ya, membiarkan Rengganis menghadapi sendiri, adalah bukti betapa aku tak pantas disebut lelaki sekalipun sebagai saudara sendiri. Sebab itu, aku harus membawanya ke tempat di mana seharusnya kita berada.
“Ini tempat apa, Seto? Mengapa ilalang begitu megahnya seperti malam bermandikan bebintang?”
Dengarkan aliran air di sepanjang padang savana ini, Rengganis. Niscaya kau dapati suara-suara halus mendesis layaknya ular bertemu mangsa. Inilah Lembah Cikasur. Puncak Hyang Argopuro. Landasan pesawat yang dibuat di zaman kompeni, dan mereka-mereka yang bekerja dibantai, dihabisi di galian panjang yang membentang ini.
“Aku mendengar suara itu. Lirih menyakitkan.”
Lebih menyakitkan jika kita tak sampai puncak sebelum matahari tertidur di ufuk barat. Tak perlu takut. Tak perlu was-was. Binatang jalang di hutan ini telah kutundukkan. Babi hutan, macan belang tak akan keluar. Percayalah. Di sana kau akan bahagia daripada berada di Patemon yang mengeluarkan amuk darah. Biarlah Sukar dan Lurah Asti berlarut-larut memendam derita. Keduanya takkan bisa keluar dari jerat kenangan. Tak akan bisa lari menjemput masa silam. Aku dan engkau adalah bukti betapa yang seharusnya tak boleh terjadi. Tetapi mereka mengingkari nasehat alam. Terbujuk nafsu tersangkar.
Mari, Rengganis. Mari kita daki tanah bebatu ini. Tak usah kau pedulikan abu atau debu. Biarlah segalanya kembali pada suratan Tuhan. Tak perlu risaukan amarah atau kehilangan. Keduanya hanya dipisah telunjuk malaikat yang bersedia mengabadikan kita dalam catatan. Mari, Rengganis. Mari melangkah. Sedikit lagi kita tiba. Sedikit lagi matahari terbenam.
“Tempat apakah ini, Seto? Mengapa kolam, taman sari, reruntuhan candi, dan tiga bangunan pura ada di sini? Mengapa kita harus ke sini?”
Inilah tempat seharusnya kau berada, Rengganis. Istana tak lagi menerima anak selir Prabu Brawijaya. Patemon tak mau menampung cinta sesaudara. Menetaplah di sini sebagaiman kisah Dewi Rengganis yang terus abadi dari mulut nenek moyang.
“Seto! Seto! Kau hendak ke mana? Jangan pergi, Seto!
Tak perlu kau tersedu-sedan, Rengganis. Aku di sini. Di dalam pohon bidaran yang diabadikan sebagai pohon bujang.
***
Bila kau mendapati megahnya Argopuro, tak usah ragu teruslah mendaki sampai Cikasur. Sampai puncak Rengganis. Ratapilah cucuran air mata yang menggenang di atas timbunan abu dan debu itu. Maka, kau tak akan sekadar mendapati lapangan gersang tanpa pepohonan atau puing-puing situs purbakala terbengkalai. Tapi kau akan mendapati sergapan kabut pekat yang tak mengenal bilangan masa. Semoga kisahmu abadi seperti keabadianku dengan waktu.
*Kisah ini diadaptasi dari kisah Rengganis, puncak tertinggi Hyang Argopuro*
Belum ada tanggapan.