Menjelajah beberapa karya pustaka sosok misterius Tan Malaka, MADILOG tanpa keberatan bisa dijadikan sebagai Maha Karyanya Tan Malaka bahkan legenda studi nasional. Termasuk versi majalah TEMPO yang diterbitkan oleh penerbit narasi dalam cetakan keduanya tahun 2014, menempatkan buku ini masuk dalam daftar 100 Buku yang berpengaruh dan berkontribusi terhadap gagasan Indonesia.
Letak keistimewaan buku ini sedikit diragukan, bagaimana tidak sebuah Maha Karya baru lahir tahun1942 terlambat lahir dari pada karya-karya lainnya, seperti Naar de Republik Indonesia (1924) atau Massa Actie (1926). Tetapi kalau dilihat dari gelora, totalitas bahkan daya jelajah dari buku ini yang menampilkan fakta-fakta sosiologis masyarakat Indonesia, jelas buku ini melampaui karya-karya itu.
Meskipun kondisi sosial politik Indonesia yang sedang memanas oleh penjajahan Jepang di tahun 1942 sampai pertengahan 1943, MADILOG mampu dikerjakan dalam waktu 8 bulan oleh Tan Malaka bertempat di Cililitan, Jakarta. Madilog lahir tidak semudah perjalanan 8 bulan penulisnanya saja, jauh dari itu Madilog mengalami perjalanan rumit, hampir setiap Tan Malaka membeli buku di toko buku di negara yang dikunjunginya seringkali diberangus dan tertahan oleh petugas keamanan di setiap negara itu.
Niat tulus untuk menjadikan pengalaman membaca buku-buku sebagai refrensi pustaka Karya ini akhirnya gagal. Tapi hal itu tidak mengurangi sedikitpun apa yang seharusnya tertulis dalam Madilog. Sempat Tan Malaka berpikir ingin menyimpan buku-buku itu tidak dalam bentuk fisik, tapi diingat dan dihafalkan di otaknya. Tapi Tan Malaka tidak mau terjebak dalam metode belajar hafalan seperti waktu kecilnya, dia menyadari, bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikannya bodoh, mekanis seperti mesin (halaman 24). Akhirnya Tan Malaka menemukan motode dalam penulisan Madilog yakni dengan “Jembatan keledai” (ezelbuggece) suatu penamaan metode oleh Tan Malaka dengan cara menghafalkan kependekan “intinya” saja (halaman 24). Metode Jembatan Keledai paling penting buat seseorang pemberontak semacam Tan Malaka. Ringkasnya walaupun Madilog tidak berpustaka, masih kekurangan bentuk, tapi Madilog tidak akan kehilangan isi dan sifatnya.
MADILOG ialah panduan dari permulaan Suku Kata
(MA)-TER. (DI)-ALECTICA dan (LOG)-ICA. “Matter” diterjemahkan dengan “benda” yang nyata dan mampu mengenai panca indera, seringkali benda ini berdebat dengan ide. Perdebatan itu menuju pada mana yang terlebih dahulu? Benda atau ide, dan perdebatan ini tidak akan ada ujungnya. Dalam penjelasan madilog keduanya itu mempunyai bagian pentingnya masing-masing. Benda mempunyai 4 bagian, yakni sifat bumi dan iklim, bentuk pesawat, keadaan ekonomi dan kelas politik. Keempat inilah yang dianggap benda menjadi alat adanya ide. Sedangkan bagian penting dari ide dalam otak ada 2 gedung yakni tata sifat jiwa dan impian/idaman manusia. Keempat bagian tadi yang menjadi lantai buat adanya pikiran. Pikiran melantun mengubah paham masyarakat menjadi perbuatan. Dan perbuatan inilah yang mempertalikan benda dan pikiran.
Dialektika seringkali dihubungkan dengan pertentangan atau pergerakan, Hegel memulai dialektika pada kata dialogue (soal jawab) kena mengenai, pergerakannya atau sebuah gerakan ide sedangkan buat Marx dan Engels sebagai hukum berpikir sebenarnya, tentang sebuah benda sebenarnya, otak itu seolah-olah cermin yang membayangkan benda sebenarnya yang ada di luar otak (halaman 160). Dua perbedaan ini yang melatarbelakangi lahirnya Dialektika Idealis dan Dialektika Materialis. Namun disini ada pula persamaannya, kedua pihak berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan.
Logika biasa disebut sebagai hukum berpikir. Adalah disiplin berpikir runut, sistematik, melalui silogisme dan yang terpenting bisa dieksperimenkan. Pekerjaan utama dari logika pada tantangan penguraian induction, deduction dan verification. Inilah sumbunya logika. Menurut logika ‘ya itu ya’ dan ‘tidak itu tidak’ kalau dalam pertanyaan ini masuknya wilayahnya kecil. Seringkali dialektika dan logika menyebutkan 2 hukumnya yakni negation der negation (pembatalan dari kebatalan) dan Quantity menjadi Quality (perubahan bilangan banyak menjadi perubahan sifat).
Baik materialisme ataupun dialektika, bahkan juga logika mempunyai lapangan dan tafsiran sendiri tapi wilayah-wilayah itu saling berkaitan. Logika dibentuk di dalam iklim dialektik, logika dan dialektika bergantung pada Materialisme. Sebaliknya pula materialisme ini bersangkut paut dengan logika dan dialektika, seperti: matter, benda itu mempunyai sifat bergerak dan berhenti, takluk pada hukumnya gerakan, yakni dialektika, serta hukum berpikir, yakni logika
Madilog banyak terilhami oleh model berfikir pustaka barat yang berlawanan dengan Ketimuran yang sengaja memang dinistahkan untuk melawan segala logika berpikir metafisik, gaib, mistik dan yang dari mana pun juga datangnya dari di timur ini.
Untuk mencapai hal tersebut Madilog mampu membantah persoalan Logika Mistik yang selama ini mengakar di Indonesia. Persoalan logika mistik merupakan pemikiran yang tidak berdasarkan basis kepercayaan terhadap benda (materi), yang mengakibatkan orang hanya percaya bahwa di dunia adalah kerajaan kekuatan kekuatan keramat di alam gaib saja, sehingga orang-orang selama hidupnya hanya berpangku tangan, mengadakan mantra, sesajen dan doa-doa saja. Hal semacam ini telah mengakar di Indonesia melalui beberapa tahap kepercayaaan, kepercayaan Indonesia Asli (pra Hindu), kepercayaan Hindustan, kepercayaan asia barat dan kepercayaan Tiongkok (halaman 394).
Tan Malaka melihat kemajuan umat manusia melalui tiga tahap: dari “logika mistika” beralih lewat “Filsafat” ke “Ilmu pengetahuan “ atau “sains”. Setelah Madilog mampu menjelaskan segala kenyataan penting terhadap logika mistik seperti: perkembangan alam raya, evolusi organisme dan sejarah manusia, yang membuat Budha Gautama (ahli filsafat mistik) yang selama ini dianggap Tan Malaka terbesar semenjak dunia ini diketahuinya akhirnya mengakui, bahwa rohaninya sudah bersatu padu dengan roh alam dan sampai kapan saja alam tak pernah dan tak bisa dibantah (halaman 50).
Setelah proses penghancuran logika mistik, umat manusia harus diarahkan pada penguasaan tentang filsafat. Untuk memulai penguasaan filsafat pembaca diingatkan lebih mudahnya kita pisahkan dulu arah pikiran ahli filsafat itu. Seperti halnya Enggels menjadikan idealis dan materialis sebagai ukuran memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan. Idealis yang mengacu rasionalisme dan objeknya ialah idea serta materialis yang mengacu Empirisme dan objeknya ialah matter. setelah mengetahui para ahli filsafat dan memahami bagaimana ahli filsafat itu memandang dunia baik berdasarkan idealis atau materialis. Yang perlu dilakukan setelah itu oleh umat manusia ialah menukar dunia itu.
Sekarang untuk menukar dunia, manusia dengan modal pemahaman filsafat selanjutnya mampu meninggalkan dari logika mistik menuju ilmu alam/science. Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi ilmu alam tidak merdeka, seperti politik negara nya sekarang, itu akan sama saja kosong kemerdekaanya. Penguasaan Science atau ilmu alam mempunyai peran penting bagi maju tidak nya negara itu.
Untuk mampu menguasai science atau ilmu alam, kita harus mampu menguasai sebuah teori atau hukum atau barangkali bisa juga sebuah hipotesis. Letaknya bukan pada pemahaman atau pemakaian secara praksis teori atau hukum yang sudah ada. Tetapi kita lebih mulia untuk melakukan pengujian teori dan hukum yang ada tersebut. Karena dalam proses pengujian kita tahu berangkat dari mana teori itu bahkan kalau ada celah dan bisa dikembangkan, manusia akan mampu melahirkan teori baru dari pengembangan itu. Dalam Ilmu alam ada 3 metode pengujian yakni induksi,deduksi dan verifikasi yang selanjutnya 3 metode itu juga diutamakan dalam logika.
Ketiga tahap menuju bangsa yang maju tersebut sehendanya menjadi targetan bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan ini, persoalan yang nanti bertemu dalam tahap membangun bangsa itu selayaknya dihadapi dengan “Madilog”, sekali lagi ialah cara berpikir yang saling bersangkutan berdasarkan wilayah materialisme, dialektika dan logika buat mencari akibat, yang berdiri atas bukti dan cukup eksperimen. Untuk menyelesaikan persoalan menggunakan Madilog, kita harus bertanya kepada diri sendiri, apakah persoalan itu berdasarkan matter, benda ataukah idea, bayangan, pikiran semata-mata. Kalau persoalan itu berdasar benda, yang bisa diperiksa dengan panca indera, boleh di eksperimenkan, barulah persoalan itu kita taruh dibawah pemeriksaan Madilog.
Bagaimanapun proses dan iklim yang membentuk Madilog, perlu di ingat madilog tidak akan selamanya dijadikan sebagai ideologi proletariat atau ajaran partai seperti ajaran marxisme-leninisme yang menuntut ketaatan pembaca secara mutlak terhadap partai komunis. Madilog bebas dari ajaran ideologis, meskipun isi madilog sebagian besar mengikuti materialisme dialektik Friedrich Engels, tetapi isi madilog murni cita-cita Tan Malaka sendiri sebagai bentuk keprihatinan terhadap bangsanya sendiri yang belum berfikir rasional.
Seluruh Madilog berisi kan ajakan untuk mengajak bangsa Indonesia mau keluar dari cara berfikir irasional, untuk mencapai cita-cita Merdeka 100%, dengan membentuk cara berfikir masyarakat Indonesia khususnya pemuda untuk menyiapkan SDM berkualitas guna mengolah SDA secara bijak dan mandiri. Sampai-sampai Tan Malaka panjang dan lebar menguraikan metode-metode pendekatan Ilmiah semacam diatas dan dalil dalil logika seakan-akan ingin membuat panduan buku teks “pengantar logika” atau “ilmu alam dasar” tetapi hal ini penulis anggap menjadi salah satu keunggulan dari Madilog.
Hal yang mengejutkan dalam Madilog adalah terletak dalam “pusaka yang saya terima dari barat“. Dengan penegasanya bahwa pemikiran “Timur” harus ditinggalkan Tan Malaka sangat mirip dengan seorang putra Sumatera Barat lain, Sutan TAkdir Alisyahbana. Konsepsi Madilog sendiri diambil alih dari materialism dialektis Engels, Lenin dan kawan-kawan, yang dalam filsafat kontemporer dianggap tidak mutu (lain dari pada Materialisme histors Marx). Terasa sekali bahwa Tan Malaka seorang otodidak yang rupa-rupanya tak pernah sempat untuk mendiskusikan pandangan-pandanganya dengan seorang pengkritik.
Tetapi barangkali yang membuat termotivasi dalam Madilog ini, kita seakan-akan dibukakan secara lebar-lebar bagimana pentingnya membentuk pengetahuan itu. Karena menurut Tan Malaka tidak ada yang gaib di dunia ini, hanya pengetahuan yang tidak akan habis dan tidak boleh habis. Semakin muncul pengatahuan baru maka menimbulkan persoalan baru, terus menerus. Tidak ada batas pengetahuan dan tidak ada batas persoalan. Barang siapa yang tidak percaya dengan hal tersebut maka dia akan jatuh ke lembah mistika dan kembali lagi terperangkap dogmatisme (halaman 296). Arti penting buku ini terletak dalam kenyataan bahwa kita ditantang olehnya untuk memikirkan kembali apa itu rasionalitas, dan rasionalitas macam apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia.
*) Penulis adalah Pegiat Rumah Baca Srawung (RBS) dan Kader IMM kota Surakarta
Belum ada tanggapan.