Sore itu, aku bermaksud membeli buku di toko buku terbesar di pusat kota. Setelah memarkir kendaraan, lalu menaiki tangga ke lantai dua, aku menuju rak buku sastra dan sejarah. Dan memilih sebuah buku yang sebetulnya sudah kubaca beberapa tahun lalu di perpustakaan: Max Havelaar karya Multatuli alias Douwes Dekker.
“Ben?” sapa seorang perempuan, mengurungkan niatku membaca blurb buku ini.
Sejenak kutatap sosok perempuan yang kini berdiri tepat di depanku. Rambutnya diikat ke belakang dan senyumnya. Ya, dia menungguku yang tengah mengingat namanya sambil tersenyum.
“Hey, Nei,” sapaku setelah memastikan perempuan di depanku ini adalah Neira. Teman SMA yang sudah lima belas tahun tak bertemu. Dan sebenarnya, tak mungkin aku lupa namanya. “Apa kabar? Kamu ada di sini?” cecarku tak karuan.
Neira tersenyum mendapati pertanyaanku. “Aku sampai besok, Ben.”
“Aku kira, kamu kembali ke sini. Bagaimana kabar suami?” sebenarnya, tak enak kutanyakan kabar pasangannya. Tetapi dalam adat berjumpa, apalagi dengan kawan lama, akan terasa elok saat kita menanyakan perihal keluarganya.
“Dia tak ikut, Ben. Tak bisa ikut.”
“Kenapa?”
“Nanti dicari pasien.”
Oh, aku baru tahu kalau suaminya dokter juga.
“Suami istri sama-sama dokter, ya.”
Neira tersenyum. “Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Sibuk apa sekarang?”
“Ha ha ha. Orang sepertiku ini tak sesibuk seorang dokter.”
“Jangan begitu, Ben. Kita semua sama saja.”
Selanjutnya, percakapanku dengan Neira mencakup hal-hal ringan. Bernostalgia dengan masa SMA yang terasa istimewa. Dan sebisa mungkin, aku tak menyerempet ke soal hubunganku dengan Neira yang sejujurnya adalah mantan kekasihku di masa itu. Sayangnya, aku tak berhasil.
“Kamu belum berubah, Ben. Sama seperti dulu,” ujar Neira setelah kuceritakan kesibukanku yang menjadi relawan di sebuah Lembaga Bantuan Hukum. “Sibuk dengan dunia sosial.”
“Dan itu yang membuatku diputus, bukan?”
Neira terdiam. Dia mengalihkan pandangan ke rak buku sekitar.
“Kamu tak salah, Nei. Seandainya kita tetap bersama, aku tak bisa menjamin ekonomi yang baik.”
“Sudahlah, Ben. Itu masa lalu.”
“Aku harus menjelaskannya, Nei. Agar tak ada salah paham. Aku tahu, sekarang kamu sudah bersuami dan memiliki anak. Tetapi, setidaknya biarkan masa lalu kita bisa dikenang dengan alasan yang jelas.”
Aku mengajak Neira ke kedai kopi di samping gedung ini. Awalnya Neira menolak. Setelah kupastikan tak bakal diungkit lagi di masa depan, ia pun setuju.
“Menjadi dokter adalah impianmu, Nei. Sejak dulu. Dan aku tahu alasannya, sebab dengan menjadi dokter kamu bisa bantu banyak orang. Entah kalau sekarang, barangkali alasan itu sudah berubah dengan mahalnya biaya pendidikan dokter.”
Tak ada maksud menyinggung perasaan Neira. Hanya saja, seorang kawanku yang menjadi dokter menyampaikan hal itu semalam. Awal kuliah kedokteran, dia bercita-cita ingin menolong orang sebanyak mungkin. Tetapi setelah menjadi dokter, dan merasakan bagaimana mahalnya biaya pendidikan selama kuliah, keinginan itu pudar dengan sendirinya. Tentu, kenyataan ini tak berlaku secara umum. Aku yakin, masih banyak dokter yang memiliki niat tulus di luar sana.
“Aku minta maaf, Nei. Buat semuanya. Aku baru memahami alasanmu akhir-akhir ini.”
“Setelah lima belas tahun?”
“Ya, setelah lima belas tahun.”
“Kamu tak salah, Ben. Tak perlu minta maaf. Aku tahu, jiwa sosialmu tak bisa dihilangkan.”
“Dan sebagai perempuan, tentu kamu memilih yang lebih mapan. Yang pasti.”
“Itu sudah berlalu, Ben.”
“Benar itu masa lalu. Tapi kamu harus tahu, Nei. Kenapa aku memilih dunia relawan, dan hanya mengandalkan royalti buku yang tak seberapa sebagai biaya hidup? Sebab ada banyak orang di luar sana yang membutuhkan bantuan meski hanya sebatas menjadi pendengar.”
Aku sadar, menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum yang benar-benar murni membantu sesama, aku bertemu dengan banyak tahanan yang sebetulnya mereka membutuhkan teman untuk menjadi pendengar. Tak perlu jauh-jauh dengan mendampingi kasusnya, cukup dengan membesuk saja, mereka datang dengan muka ceria. Sebab mereka butuh kawan. Butuh suasana baru walau sebatas keluar dari blok karena dipanggil relawan.
Samhadi, misalnya. Seorang lelaki dengan kasus jambret. Aku tak membenarkan perbuatannya merampas harta orang lain, tetapi aku berusaha melihat sisi lain yang menjadi soal mengapa dia menjadi penjambret. Dalam ceritanya, ia ingin membahagiakan keluarga mertuanya yang melarat. Keluarganya kerap dicaci oleh saudara-saudaranya yang lebih kaya. Dan Samhadi ingin membalas perbuatan saudara-saudaranya itu.
Di sinilah aku mulai mencari peran. Dengan menganjurkan Samhadi untuk memiliki keahlian selepas keluar dari penjara. Apalagi, di penjara sendiri terdapat binaan kerja yang memiliki kegiatan sesuai keinginan para tahanan. Semisal, bagi mereka yang senang memasak, telah disediakan ruang dan bahan. Jadi setelah keluar, kemampuan memasak ini bisa diteruskan untuk menyambung hidup.
Tentu, tak semua tahanan berkenan mengikuti kegiatan ini. Tetapi aku tak putus asa. Aku terus membujuk mereka agar memiliki tujuan setelah keluar dari lapas. Dan ini semua, tak bisa kulakukan hanya dengan bertemu sekali. Butuh berkali-kali. Dan seandainya Neira tetap memilihku sebagai pasangan hidup, tentu dia tak nyaman perihal ekonomi. Apalagi, sebagai penulis, harus siap hidup miskin. Selain royalti yang sedikit, minat baca masyarakat masih rendah.
“Setidaknya aku bersyukur bertemu denganmu, Nei. Sekarang, aku bisa memastikan kalau kamu tak salah pilih pasangan.”
“Aku rasa juga begitu. Kamu juga memiliki pasangan yang sepemikiran. Aku minta maaf. Barangkali, dulu aku sempat melarangmu mengikuti dunia relawan yang seringnya menggunakan uang pribadi. Padahal, waktu itu kamu butuh untuk biaya sekolah dan lanjut kuliah.”
Diakui atau tidak, kemapanan seringkali dipertimbangkan untuk memilih pasangan dalam menjalin rumah tangga. Meski tak semua lelaki atau perempuan sependapat, tetapi begitulah kenyataannya. Ekonomi menjadi salah satu faktor penting.
“Aku tak bisa lama-lama, Ben. Nanti malam ada pertemuan. Aku rasa, masa lalu kita sudah jelas. Tak perlu diperdebatkan lagi.”
Aku mengangguk. Mengiyakan ucapan Neira yang beranjak berdiri.
“Aku antar sampai luar, Nei.”
“Tak usah. Kopimu belum diminum.”
“Bukankah, aku sudah janji tak akan mengganggumu di masa depan?”
Dengan berat hati, Neira setuju. Sembari berjalan di antara anak tangga, lalu menelusuri lantai dasar, tak ada perbincangan di antara kami. Hanya suara langkah kaki yang terdengar berat meninggalkan kedai ini.
“Aku pamit, Ben. Salam untuk istrimu,” ucap Neira sebelum membuka pintu mobil.
Aku menghela nafas sebentar, sebelum akhirnya kubalas dengan bahasa agak ketir.
“Aku belum menikah, Nei. Semenjak putus denganmu, aku belum mendapatkan sosok perempuan yang ingin kunikahi.”
Neira tak jadi membuka pintu. Tatapannya terlihat tercekat mendengar ucapanku barusan. Tak apa. Setelah kupaksakan bibir tersenyum, aku pamit pergi. Meninggalkan secangkir kopi yang belum kuseduh. Meninggalkan Neira yang berdiri mematung. Dan meninggalkan kenangan yang sepertinya sudah layak dibuang.
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.