Perempuan setengah baya itu sengaja dipanggil Marlena. Oleh kami, mahasiswa yang sedang KKN di dusun terpencil di wilayah Tapal Kuda. Bukan apa-apa, tetapi tabiat dan perilaku si Marlena memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia memanfaatkan kedatangan kami, dengan mengambil untung sebanyak-banyaknya.
Tempat tinggal misalnya. Dia meminta tarif tiga juta untuk empat puluh hari. Seandainya dia jujur, tak apa. Parahnya, dia mengatakan kepada banyak tetangga jikalau kami diberi tempat tinggal gratis. Tak bayar sepeser pun. Untungnya, kami diberi izin diberi tempat tinggal di balai desa. Jadilah kami tak banyak pengeluaran.
Ah, kata siapa tak banyak pengeluaran. Awalnya, kami berniat masak sendiri. Hitung-hitung penghematan. Cukuplah iuran kami untuk program kerja saja. Sayangnya, si Marlena tak berdiam diri. Dengan sandiwara mulusnya, dia mampu menyelipkan negosiasi lewat aparat desa, agar kami makan di rumahnya saja.
Akhirnya, kami yang tak mau berselisih paham apalagi soal makanan, mengiyakan saja permintaan ini. Kami pun makan di rumah Marlena, dua kali sehari. Dan di sinilah kelihaiannya dimulai. Marlena hanya mematok harga untuk lauk saja. Sedang untuk nasi, kami beli beras sendiri. Akhirnya, kami tekor sebab beras yang kami beli terus menyusut cepat. Bayangkan, beras dua puluh kilo, tak sampai seminggu sudah habis, hanya untuk makan sepuluh orang. Padahal, diantara kami, hanya dua orang yang makannya lumayan banyak, sedang sisanya, hanya sepiring. Sudah.
Kian hari, sikap Marlena juga semakin merajalela. Dia mengumbar aib salah seorang kawan, lalu disebarkan ke banyak orang. Padahal persoalannya sepele. Kawan saya yang bertempat tinggal di kota, tak terbiasa buang air kecil di sungai. Yang seharusnya menghadap ke arah hulu, kawan saya malah menghadap ke arah hilir. Dan soal ini, menyebar sampai dusun sebelah.
Teman-teman pun semakin menjadi-jadi menjuluki Marlena. Saya yang tak tahu arti nama ini, sengaja mencari tahu siapa sebenarnya Marlena. Sayangnya, saya tak bisa memastikan, Marlena yang dijuluki teman-teman ini merujuk kepada sosok Marlena yang mana. Seperti Marlena yang di dalam novel Ayah karya Andrea Hirata atau, Marlena yang diposisikan sebagai istri dari Pak Sakera. Pahlawan kebanggaan dari Madura.
Seandainya Marlena di tempat KKN saya merujuk ke sosok istri Pak Sakera, sungguh, perbandingan ini benar-benar kontras. Pak Sakera seorang pahlawan tangguh. Sedang suami Marlena, sama saja dengan perlakuan istrinya. Benar-benar pasangan yang serasi.
“Sekali-kali kita balikkan situasi,” kata Galih.
“Maksudnya?” tanya saya penasaran.
“Iya. Kita buat Marlena bangkrut. Kita ini mahasiswa. Masak dibodoh-bodohi?”
Kami mengangguk setuju. Benar yang dikatakan ketua kelompok kami ini. Masak mahasiswa dibodoh-bodohi?
“Bagaimana caranya?” tanya Luluk, kawan saya yang paling kecil.
“Dua hari lagi slametan bapaknya, bukan? Nah, kita ambil saja nasi, kue sebanyak-banyaknya.”
“Bakal ketahuan.”
“Tak mungkin. Kita kan bantu di sana. Ada yang bertugas penerima tamu. Ada yang di dapur. Kita yang lelaki, jaga parkir di luar. Nah, kita kerja sama.”
Malam itu, kami sepakat akan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Entahlah. Terkadang saya tak nyaman. Takut ketahuan. Tapi, mengingat Marlena, saya pun menyetujui usulan Galih.
Akhirnya, hari yang kami nanti tiba jua. Saya yang sengaja menjadi penerima tamu bersama Luluk, selalu siap siaga di ruang tamu. Benar yang dikatakan Galih. Orang-orang yang datang bertamu pasti membawa kue atau beras. Lalu bawaan itu diberikan kepada kami penerima tamu. Sedang Marlena selalu duduk menerima tamu. Tak mengurusi bawaan orang-orang.
Sialnya, di ruang khusus penerima makanan, ada Mbak Romla yang bertugas mencatat nama-nama pemberi. Saya yang tak bisa mengambil kue-kue ini, bingung memikirkan bagaimana cara mencurinya. Luluk pun demikian. Sedang kawan lelaki yang menjaga parkir, terus berada di jendela, bertanya perkembangan.
“Ada Mbak Romla. Kita tak bisa ngambil,” bisik saya pada Galih dan yang lain.
Galih tampak berpikir keras. Tiba-tiba di mengeluarkan ide tak terduga. “Kita bakar balai desa. Ruang di atas yang tak pernah ditempati itu.”
Saya menatap wajah galih dengan sedikit syok. Membakar balai, sama saja mengundang kisruh. Apalagi kamar kami berada di lantai bawah di balai desa itu.
“Tak apa. Serahkan saja.”
Saya yang tak bisa berucap apa-apa, hanya mengangguk pelan. Lalu Galih dan Aris menuju balai tetapi lewat pintu belakang. Sungguh. Ketar-ketir saya menunggu keadaan selanjutnya. Tak bisa dibayangkan bagaimana kekisruhan yang akan terjadi setelah ini. Tetapi saya juga setuju. Sikap Marlena memang keterlaluan. Selain menguras uang kami dengan harga lauk yang sangat mahal, padahal lauk yang dberikan kepada kami hanya tahu tempe, dia juga menyebarkan berita buruk tentang kami ke banyak orang. Seakan-akan dia tak suka melihat kami bergaul dengan masyarakat. Seakan-akan, dia tak rela saat kami tak tinggal di rumahnya, seperti kelompok-kelompok KKN terdahulu. Dan selain itu, ya, ini yang sangat kami benci. Dia selalu mempeloroti kami dengan meminta ini-itu.
“Kebakaran. Kebakaran,” entah siapa yang berteriak, terpaksa saya pura-pura terkejut dan berusaha mencari dimana terjadinya kebakaran.
Orang-orang berhamburan keluar mencari sumber kebakaran. Termasuk Mbak Romla. Saya dan Luluk terpaksa berpura-pura panik dan berjalan keluar, lalu kembali ke ruang kue-kue tadi. Mengambil kue sebanyak mungkin, daging untuk slametan, lalu dimasukkan ke dalam karung, dan diberikan kepada Andri yang siap siaga di balik rerimbun bambu di belakang. Setelah itu, kami kembali berbaur dengan orang-orang.
Orang-orang yang berkerumun, berusaha mengambil air, memadamkan api. Balai desa yang berada di samping rumah Marlena ini memang bangunan tua. Beruntung api tak menjalar lebih jauh lagi. Meski banyak jendela kaca di beberapa ruang sengaja di hancurkan agar asap keluar, tetap saja asapnya mengepul. Galih yang seakan-akan panik dan bingung, sekuat tenaga mengambil air, lalu naik ke tingkat atas. Sedang teman-teman yang lain, berusaha mengeluarkan barang di kamar dan dipindah keluar. Mereka benar-benar lihai saat berpura-pura menyelamatkan barang dengan mimik muka ketakutan.
Baru setelah asap tak banyak mengepul, orang-orang mulai kembali ke tugas masing-masing dengan muka keheranan. Sayangnya, saat sebagian orang masih terus membicarakan kebakaran, Mbak Romla teriak keras. Dia menangis tak karuan. Pun begitu dengan Marlena. Dia meraung-raung tak karuan lalu pingsan. Kue-kue yang akan dibuat slametan, hanya tersisa sepiring. Sedang slametan akan digelar lima menit lagi.
Sebenarnya saya tak tega melihat keadaan ini. Tetapi sudah sepatutnya mereka merasakan demikian. Saya mengerti, kenapa Galih memilih balai desa sebagai tempat kejadian kebakaran. Karena di sana, adalah tempat berkumpulnya aparat desa. Perangkat desa yang dihormati orang-orang, tetapi busuk di belakang. Dana milyaran rupiah yang diberikan pemerintah, dibagi-bagikan sesama aparat, sedang warganya banyak yang melarat. Kecuali, Marlena yang ikut terciprat, sebab kakaknya adalah kepala desa yang dipilih rakyat.
Belum ada tanggapan.