Bangku yang semula penuh sesak diduduki guru, kini menyisakan Pak Arman seorang diri. Ia wali kelasku. Tak pernah marah kendati Oni membuat rusuh dengan meremas payudara Tintin, tetapi matanya sempat menyala ketika tadi aku menusuk mata Oni memakai pensil.
Guru-guru mengutukku sebagai anak iblis jahanam. Mereka berkacak pinggang. Mata mereka memelotot tajam. Tak lupa mulutnya mengeluarkan ribuan pertanyaan menyebalkan; mengapa aku sampai hati mencongkel mata Oni sampai-sampai anak itu buta seumur hidup? Pak Arman yang masih muda dan berwajah tampan tak tega melihatku dihakimi. Ia meminta rekan-rekannya meninggalkan ruangan sempit ini. Kini, kami berhadap-hadapan, dan hanya dipisahkan sebuah meja yang terdapat secangkir kopi di atasnya.
“Apakah Oni pernah berbuat salah padamu, Yum?”
Entah ini pertanyaan kesebelas atau bukan, aku merasa kasihan melihat mata Pak Arman. Kelihatan sekali rasa penasarannya sampai ubun-ubun. Aku tahu, pihak sekolah pasti mencari alasan guna menjelaskan pada orang tua Oni.
“Yumi, kesalahan apa yang diperbuat Oni padamu?” katanya lagi. Sungguh pintar guru satu ini. Ia hanya mengubah susunan kalimat, padahal memiliki inti yang sama.
Oni, anak lelaki yang tubuhnya paling besar nan tegap di antara kami, yang paling sering membuat onar di kelas, tak pernah meremas payudaraku. Tak pernah mengintip celana dalamku seperti yang Oni lakukan pada Tintin. Aku dan Oni berteman biasa. Kami menyapa ala kadarnya kendati kadang mata Oni jelalatan mengamati payudaraku. Kalaupun peristiwa tadi terjadi, aku percaya itu muslihat iblis semata. Tetapi aku tahu, Pak Arman takkan mempercayai ucapanku padahal memang itulah kenyataannya.
Iblis, sebagaimana cerita yang dituturkan Ibu sebelum tidur, keluar rumah dua kali tiap hari. Saat azan duhur dan azan magrib. Karenanya aku tak boleh keluar rumah pada dua waktu itu. Persis yang diucapkan ibuku, peristiwa antara aku dengan Oni terjadi saat istirahat kedua, ketika azan duhur berkumandang di masjid sebelah.
Ketika itu aku mendapati mata Oni menyala. Sebagaimana nyala mata iblis, begitulah nyala mata Oni yang aku lihat. Kedua bola matanya mengeluarkan api. Tubuhnya mengeluarkan dua sayap. Ia sempat mengibas-ngibaskan kedua sayapnya itu, sampai-sampai lelehan api tercecer ke arah kamar mandi.
Nyala mata Oni mengingatkanku pada seorang lelaki. Aku memanggilnya Paman. Ia kawan ibuku yang paling sering membawa buah tangan. Bedanya, nyala mata Paman tak separah mata Oni. Kedua mata Paman menyala saat gelap saja, dan meredup ketika berada di ruang bercahaya. Buah tangan yang dibawa Paman jarang sekali berupa camilan. Kadang botol-botol minuman yang ketika Ibu meminumnya, mulutnya mengeluarkan bau yang memualkan. Kadang pil-pil sebesar biji jagung yang ketika diminum, Ibu sering menceracau. Aku tak tahu jenis minuman dan obat itu. Yang aku tahu, tiap Ibu menghabiskan berbotol-botol minuman lalu dibuangnya sembarangan, Ibu akan menceracau serampangan.
Aku suka tiap kali Ibu begitu. Sebab hanya itu satu-satunya waktu di mana ia akan jujur menjawab semua pertanyaan yang aku lontarkan. Pernah aku tanyakan sosok ayah, Ibu menjawab kalau ayahku adalah seorang lelaki yang memiliki penis. Pernah aku tanyakan rupa ayah, Ibu menjawab kalau ayahku memiliki jakun sebagai warisan perbuatan Nabi Adam. Lalu aku tanyakan, mengapa Siti Hawa makan dua buah khuldi, bukankah itu berarti perempuan lebih tamak dari lelaki? Ibu menjawab, kalau Siti Hawa makan sebiji, maka takkan ada nafsu di mata lelaki ketika melihat payudara perempuan menggantung satu.
“Yumi…” kata Pak Arman sembari garuk-garuk kepala. “Apa Oni meremas payudaramu seperti yang dilakukan pada Tintin?”
Aku menoleh ke arah guru itu. menatapnya lekat-lekat. Bertanya-tanya, mengapa dalam benaknya tertanam kesimpulan macam itu? Apa karena Pak Arman melihat Oni meremas payudara Tintin secara langsung di dalam kelas, dan ia meminta Oni tidak melakukan hal serupa di depan anak yang lain, dan meminta Tintin tidak menceritakan pada siapa-siapa?
Kau tahu, ketika Pak Arman melontarkan pertanyaan tersebut, aku teringat payudara Ibu. Paman suka sekali menyusu pada Ibu. Padahal Paman bukan bayi, dan payudara Ibu tak mengeluarkan ASI. Ah, tentu keduanya tidak tahu kalau aku mengintip dari balik bilik kamar. Aku heran, apa enaknya menyusu pada susu yang justru tidak mengeluarkan cairan pelepas dahaga justru malah makin bertenaga.
“Yumi….” imbuh Pak Arman lagi. “Oni tidak melakukannya, kan?”
Aku tertawa mendengar ucapan wali kelasku ini. Bahkan Pak Arman ikut tertawa ketika aku tertawa. Aku bingung, di mana letak kelucuannya ketika mengutarakan hal-hal tabu di depan anak perempuan sepertiku ini? Barangkali lelaki memang berpikir jorok sejak dulu.
Satu-satunya yang menyentuh tubuhku, ya, Ibu. Ia mengecup bibir, pipi lalu kening sebelum aku tidur. Tapi kalau bibir Ibu, aku tak tahu untuk siapa saja. Selain Paman yang gemar menyusu dan menyorsor mulut Ibu, aku ragu apakah bibir Ibu juga diberikan untuk orang lain. Seingatku, hanya Paman yang selalu bertamu, dan tak ada lelaki lain. Beruntung sekali Paman itu bisa memperoleh kedua bibir Ibu yang disolek tiap hari. Padahal banyak lelaki yang selalu mengincarnya, dan itu terbukti ketika aku berjalan bergandengan tangan dengan Ibu, lelaki-lelaki yang duduk berjejer di depan warung selalu bersuit dan meminta Ibu masuk ke dalam.
“Kalau Oni tidak melakukannya, lalu mengapa kamu menusuk dan mencongkel matanya?”
Tidak mungkin aku berkata pada Pak Arman kalau mata Oni menyala bak api. Guruku ini tak akan percaya. Padahal kedua mata Oni benar-benar menyala. Sungguh.
“Apa Oni mencoba menciummu? Apa Oni mengintip celana dalammu atau ia mengintip kemaluanmu sewaktu di kamar mandi tadi?”
Kurang ajar! Bagaimana bisa guruku ini bisa sedemikian cabul? Beginikah otak lelaki? Oni tidak melakukan apa-apa. Aku hanya melihat kedua matanya menyala seperti mata iblis. Dan kedua mata itu mengingatkanku pada mata Paman yang selalu meminta Ibu melepaskan pakaian, lalu lelaki itu bergeliat di atas tubuh ibu seperti cacing kepanasan.
Aku masih terdiam, dan menimbang untuk menyimpannya sendirian. Kalau aku cerita pada Pak Arman, yang tentunya akan cerita pada guru-guru yang sebagian besar lelaki semua, mereka akan bersekongkol dan menyembunyikan cerita yang sebenarnya. Bukankah otak lelaki akan bekerjasama jika berkenaan dengan selangkangan perempuan?
Aku masih terdiam, dan menimbang untuk menyimpannya sendirian. Tak mungkin aku cerita pada Pak Arman, kalau tadi aku menguntit Oni yang tengah menarik lengan Tintin ke kamar mandi. Aku yang melihat nyala pada mata Oni begitu penasaran, mengapa anak kecil seperti Oni memiliki nyala api melebihi nyala mata Paman. Aku yang berlari-lari ke arah kamar mandi betul-betul terperangah. Aku dapati Oni tengah berusaha menciumi Tintin bahkan tangan Oni mencoba membuka kancing seragam Tintin. Anak perempuan paling cantik itu menangis sesegukan ketika Oni meremas susu Tintin. Aku melihat Tintin sangat tak kuasa untuk sekadar melawan. Terlebih ketika Oni mulai berusaha menyentuh kemaluan Tintin. Aku yang tak tega melihat kawanku diperlakukan tak senonoh begitu, seketika aku dobrak pintu kamar mandi, lalu aku tusuk kedua mata Oni menggunakan pensil. Aku congkel sekuat tenaga sampai kedua bola matanya keluar dan terjuntai ke atas lantai.
“Bapak ingat kisah Nabi Khidir yang membunuh anak kecil di hadapan Musa?”
Pak Arman tak menjawab. Ia pindah duduk di sampingku.
“Begitulah saya berbuat. Jika tidak, mata Oni makin liar. Kemaluannya makin menggeliat seperti ular. Dan perempuan akan selalu jadi korban.”
Pak Arman tak menanggapi ucapanku. Justru kedua tangannya mengelus pundak dan menjalar ke payudara., sedangkan aku tak punya apa-apa walau sekadar pensil untuk melawan.
Belum ada tanggapan.