Sore ini, Agung baru tiba di kampung. Lima tahun lalu, dia mendapat beasiswa ke Belanda. Mengambil gelar magister sekaligus doktoral di sana. Sungguh beruntung pemuda ini. Kendati lahir dari buruh tani, ia dikaruniai otak teramat pintar. Bahkan kini, banyak petani di kampung ingin menyekolahkan anaknya seperti Agung. Tak berhenti di SMP saja.
Ibu-ibu yang sedang mengandung, acapkali meminta pemuda berusia dua puluh delapan tahun dan masih lajang itu, untuk mengelus perutnya yang buncit. Agar bayi yang lahir kelak mirip. Tetapi Agung menolak. Semua sudah ada jalan masing-masing. Katanya.
Bayangkan saja jika Agung bertemu dengan ibu hamil di tengah jembatan, lalu memintanya mengelus perut yang sedang bunting. Sedang di ujung jembatan banyak lelaki, tentu tak elok. Jadi, cukup Agung tersenyum tipis.
Harapan warga tak tanggung-tanggung. Agung digadang-gadang bakal memimpin kampung. Keinginan mereka hanya satu. Kampung ini harus maju seperti kampung lain. Tak seperti sekarang. Hanya ramai saat musim pilkada. Setelah itu kembali menderita.
“Kami percaya, Nak Agung bisa menjadikan kampung ini lebih baik. Untuk itu, terimalah permintaan kami agar Nak Agung menjadi Kades berikutnya,” usul Pak Tohari. Sedang para lelaki yang ikut bertamu di rumah Agung, mengangguk-angguk.
“Bukan saya tak mau memajukan kampung ini, Pak. Tetapi, saya masih muda. Belum beristri pula.”
“Ah, soal istri gampang. Ada Ratna si anak lurah. Selain baru lulus kuliah, dia sudah kerja di Puskesmas.”
Seminggu usai kesepakatan malam itu, Agung datang melamar Ratna. Begitu beruntung lelaki itu. Bersanding dengan perempuan yang menjadi idaman lelaki di kampung. Selain cantik, baik hati pula perangai Ratna.
Pesta perkawinan berjalan lancar. Apalagi orang-orang sengaja iuran. Membeli seekor sapi dan dua kambing. Merayakan pernikahan Agung, lelaki yang digadang-gadang bisa memajukan kampung. Dengan tabungan hasil sisa beasiswa, Agung membangun rumah di samping rumah kedua orang tuanya. Ia sengaja tak berkumpul dengan orang tua. Ingin mandiri katanya.
“Jadi, bagaimana, Nak Agung? Sudah siap memimpin kampung ini?”
“Saya masih belum siap, Pak. Saya baru menikah dan belum dikarunia anak. Izinkan saya menjadi imam keluarga dulu.”
Orang-orang mengerti maksud Agung. Bagaimanapun juga, menjadi kepala desa harus bertanggungjawab kepada semua rakyat. Jadilah mereka bersabar menunggu Agung memiliki momongan. Bahkan tak jarang Agung diberi jamu kuat. Demi kenyamanan saat malam. Pun begitu dengan Ratna, istrinya. Selalu saja ada ibu-ibu yang memijat atau memberi jamu agar cepat hamil. Setiap ada slametan digelar, tak lupa mereka menyisipkan nama Agung di antara nama sesepuh kampung. Tujuannya, agar para sesepuh memintakan kepada Tuhan untuk memberi momongan kepada Agung.
Lima bulan pasca menikah, tersiar kabar Ratna hamil. Kabar ini dengan cepat menyebar. Tak ayal, banyak ibu-ibu meminta Ratna berhenti kerja sementara waktu. Sedang untuk makanan, mereka bergantian mengirim ke rumahnya. Itu semua, agar kandungan Ratna tak bermasalah. Takut sang calon bayi kenapa-kenapa. Hingga hari yang ditunggu tiba. Ratna melahirkan seorang putera. Diberilah nama Fajar Sampurna karena lahir tepat fajar shiddiq menyingsing.
“Bagaimana, Nak Agung? Sekarang sudah siap maju menjadi kepala desa?”
“Bapak Tohari tahu sendiri. Menjadi kepala desa butuh biaya. Apalagi, kampung ini ada tujuh dusun. Tidak ada jaminan mereka memilih saya. Meskipun kepala desa sebelumnya mundur, tetapi anak buahnya belum tentu berada di pihak saya.”
“Nak Agung tenang saja. Masalah biaya, serahkan kepada kami saja.”
Malam itu juga, orang-orang berkumpul. Ada yang membawa padi, terong, cabai, kambing, ayam dan lainnya. Ada juga Misra’ie yang menyerahkan kalung istrinya. Semuanya, untuk biaya pemilihan kepala desa yang belum terisi sampai sekarang.
Agung tak punya pilihan. Sebagai lulusan luar negeri yang sedianya ditawari menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi, Agung lebih memilih menjadi kepala desa. Barangkali, karena kampus yang memberi tawaran pada Agung itu ada di luar kota. Sedangkan kedua orang tuanya sudah sepuh dan patut dijaga.
Sungguh beruntung kampung ini. Baru sebulan Agung menjabat kepala desa, dia mendatangkan banyak buku yang ditaruh si surau. Lantaran perpustakaan yang dibangun masih belum selesai. Anak-anak kegirangan. Kini mereka memiliki bahan bacaan.
Enam bulan menjabat, Agung menggandeng kawannya yang paham tentang pertanian, membantu menyingkirkan hama hanya dengan tanaman refugia. Selain itu, temannya mengenalkan bibit padi baru. Yang bisa menghasilkan panen tiga kali lipat dan lebih cepat dari biasanya.
Setahun setelah menjabat, Agung berhasil mengaspal jalan dan membangun jembatan besi. Bukan lagi jembatan layang yang terbuat dari beberapa bilah bambu. Orang-orang pun bahagia. Kini banyak dari mereka yang memiliki kendaraan.
Dua tahun memimpin kampung, Agung berhasil membujuk pemerintah daerah untuk membangun beberapa kamar mandi umum dan musholla. Lengkap dengan sumur bor buat berjaga-jaga sewaktu musim kemarau.
Setelah tiga tahun, kali ini tower berhasil didirikan. Kini, sinyal telfon dan internet sudah sampai. Banyak orang membeli android dan mendirikan usaha warnet. Orang-orang kian berterima kasih kepada Agung. Mereka semakin percaya. Mereka tak salah pilih memilih pemimpin.
Empat tahun setelahnya, kepala desa yang sudah dikaruniai dua anak itu membangun lapangan bulu tangkis. Ada lapangan voli, sepak bola dan pencak silat. Dan tentu beberapa meja billiard.
Desa yang dulu kumuh tak pernah dilirik pemerintah, kini telah berubah. Orang-orang tak lagi kesulitan menjual hasil panen, sebab jalanan sudah beraspal. Selain sudah memiliki kendaraan, hasil panen mereka tiga kali lipat lebih banyak dan lebih cepat.
Anak-anak sangat senang. Kini mereka memiliki akun Facebook dan Instagram. Bisa berkawan dengan orang sedunia lewat dunia maya. Tanpa mereka tahu apakah foto profil yang dipakai asli atau palsu. Kampung ini benar-benar berubah. Dan orang-orang benar-benar bahagia.
Kini, sudah lima tahun lebih Agung menjabat. Dan itu artinya tiga bulan lagi ia akan lengser, dan katanya akan maju kembali. Sayangnya, orang-orang tak lagi giat mendukung seperti dulu.
Masjid yang dibangun megah, dengan marmer yang didatangkan langsung dari India, kini sepi dan hanya ada lima orang setiap hari. Perpustakaan yang buku-bukunya pemberian kawannya di Ibu Kota, kini jarang diminati pemuda. Para lelaki yang dulu setelah datang dari sawah berkumpul bersama keluarga sambil bersenandung, kini langsung berkumpul di ruang billiard. Anak-anak muda yang dulunya senang olahraga, kini gandrung gadget dan memodif sepeda. Beralih balapan di sepanjang jalan desa. Bahkan sudah banyak yang mencoba miras dan narkoba.
Lima tahun setelah Agung memimpi, kampung ini sangat maju. Bangunan tak sekumuh lima tahun silam. Jalanan mulus tak berlubang. Bahkan banyak sawah dijual lantaran dialihkan menjadi bangunan. Tetapi, mereka kehilangan sesuatu. Apalagi kalau bukan tawa bahagia saat benar-benar menyatu dengan alam. Tawa bahagia seperti saat tak tersentuh perkembangan zaman.
BACA JUGA:
Belum ada tanggapan.