Seorang penyair boleh dibilang bukan hanya seorang pencipta atau kreator, ia juga bisa disebut filsuf. Mengapa?, karena sebuah puisi tidak selalu lahir dari kamar kosong. Ia, bisa saja lahir dari permenungan, perjalanan panjang, sampai pada percikan pemikiran. Itulah yang kita rasakan saat membaca dan menekuri puisi-puisi Emha Ainun Nadjib di bukunya Sesobek Buku Harian Indonesia (2017).
Kumpulan puisi ini kebanyakan ditulis di tahun 1970- 1990-an. Tahun-tahun itu adalah tahun genting di Indonesia. Bukan hanya karena Indonesia sedang dilanda dengan berbagai krisis, tetapi masa-masa itu adalah masa-masa ketidakpuasan mulai disuarakan. Orang sudah mulai bicara, bosan, serta jengah melihat tak adanya perubahan. Orang sudah mulai melihat ketidakberesan, kecurangan, korupsi, kongkalikong, keculasan, dan watak kepemimpinan yang hilang. Singkatnya orang Indonesia sudah mulai melihat ada yang tidak beres di rezim Orde Baru.
Mari menyimak puisi Emha yang menggambarkan suara-suara itu di puisi bertajuk Syair Kami : Syair abad gincu/ syair takhta semu/ syair meja tiran/ syair dunia pincang/ syair hutan gundul/ syair kemajuan mandul/ syair para tokoh/ syair para botoh/ syair beribu kuman/ yang disembunyikan. Ibu yang sekarat /mengandungnya/ tapi tak hendak melahirkannya. Maka inilah syair merobek perut/ untuk lahir. Kepadamu ia datang/ dan terbuang/ oleh tatanan para tiran (h.41-42).
Ada pernyataan, ada kesadaran, bahwa hutan gundul, kekuasaan semu, hingga kemajuan yang mandul, hanya merobek-robek isi hati. Puisi ini seperti menyuratkan betapa susahnya menyuarakan seruan, pandangan di kala kekuasaan masih tak berjalan sebagaimana mestinya. Kekuasaan digunakan sewenang-wenang.
Pada puisi lain Emha juga menulis pembacaannya yang jeli saat ia mengatakan Sampai kapan kita hanya bisa menangisi/ Perampokan dalam sunyi (Syair Darurat). Di masa itu, Emha sudah melihat bagaimana perampokan tak dilakukan terang-terangan. Perampokan begitu senyap,seolah tak ada yang tahu. Kini, perampokan itu nampak ketika korupsi semakin jelas dengan ditangkapnya para koruptor oleh KPK.
Dulu, perampokan masih tak terlihat, lebih rapi, lebih terstruktur bahkan. Maka tatkala Orde Baru runtuh, kita baru melihat para pelaku perampokan itu muncul begitu banyak, dan makin tak tahu malu. Kebebasan paska reformasi, pada akhirnya belum sepenuhnya menghapus perampokan dalam sunyi.
Mengapa hal itu bisa terjadi?. Menurut Emha, hal ini digambarkan oleh metafora yang jeli. Dalam puisi Lift kita bisa menengok perumpamaan diri kita saat teknologi, kemudian mengubah perilaku kita. Saat teknologi, justru semakin membuat kita lupa diri. Lift berhasil mengaburkan penglihatan perasaan atas sesuatu yang sebenarnya berlangsung/ ketika naik saya menyaksikansegala sesuatu diluar kaca bergerak turun/ waktu turun saya sama sekali tidak turun/ melainkan gedung diluar itulah yang merangkak naik/ sekarang saya tahu kenapa orang bisa nekat, takut ,sombong, korupsi,dan perang/ karena ia lebih dekat dengan bayangannya daripada kepada dirinya sendiri .
Selain permenungan tentang situasi pemerintahan yang genting,kekuasaan yang rakus, Emha juga menumpahkan pemikirannya tentang pendidikan. Emha menilai gedung-gedung sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pandai dan tidak menjadi baik. Anak-anak diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup. Anak-anak diajari untuk terampil memanjat pundak teman-teman bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan hidupnya terjengkal. Adapun yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran untuk meruwat keadilan dan kemuliaan tidak merupakan urusan utama dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan (Syair Mahasiswa Menjambret).
Maka tatkala pendidikan kita seperti tak mendidik anak-anak tentang kepedulian, mengasah rasa simpatik dan empatik, memupuk rasionalitas, tetapi meminggirkan semangat solidaritas, yang ada hanyalah semangat untuk maju, tapi meninggalkan teman-temannya. Inilah yang menjadi cerminan pendidikan kita dari zaman ke zaman.
Ketika penyair melihat kerakusan, kebohongan, keculasan, ketidakadilan, pemiskinan, masih saja ada harapan untuk melihat harap, melawan arus meski berat. Ada ajakan untuk menengok Indonesia dari diri kita. Maka saat kaum terpelajar berkata / supaya negara kuat /rakyat harus lemah/ kami tak ingin mengatakan / bahwa agar rakyat kuat / negara harus lemah/ sebab kami tidak mencita-citakan/ kerakusan yang sama/ kami hanya memimpikan/ tawar-menawar yang seimbang/ untuk pemerataan dan kesepadanan (Doa kemarau politik yang amat panjang).
Emha memang melihat Indonesia yang seperti buku lama yang terbengkalai di lemari, digerogoti oleh tikus-tikus tiap malam, tercabik-cabik , terkeping-keping, tersepih-sepih, hampir tak tersisa satu lembar pun yang masih utuh . Meski begitu,Emha masih melihat ada hawa sejuk yang muncul dari lubuk kedalaman jiwa. Optimisme-optimisme, suara nurani, suara jiwa, suara hati itulah yang kemudian dimunculkan, dihadirkan ketika melihat Indonesia dari lubuk jiwa yang paling dalam melalui buku puisi ini. Puisi ini masih percaya, ada angin harapan yang masih bisa kita tengok dan kita rawat, serta ruwat meski ditengah pesimisme dan ketidakberdayaan kita melihat Indonesia.
*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo.
Belum ada tanggapan.