Matahari sudah tenggelam ke peraduan saat aku masih disibukan dengan segala sedu sedan. Aku memang sangat terluka, tapi memaksa memutus nadi kehidupan itu bukanlah jalan yang benar. Aku tahu, hati ini sudah tak punya bentuk, remuk tanpa muka. Tapi aku harus tetap tegar, selagi Tuhan beri aku nafas. Tuhan bilang bahwa tidak ada ujian yang melewati kemampuan batas umatnya, dan atas itu semua aku percaya.
Hari ini, harusnya aku bahagia. Aku baru saja dilantik menjadi seorang pejabat. Aku menjadi wakil rakyat di DPR. Kedudukan itu bagiku adalah pencapaian tertinggi dalam hidupku, mengingat dalam PEMILU lalu pesaingku sangatlah berat. Apalagi aku tak punya banyak uang untuk dana kampanye. Aku hanya mengandalkan niat ingin merubah negeri ini dengan cara yang aku bisa. Jika ada yang bersedia memilih ya syukur, tak ada pun tak apa. Toh aku tak merasa dirugikan secara finansial. Masuk ke dunia politik hanya bermodal dengkul. Tidak ada poster dan selebaran yang bertuliskan namaku. Apalagi untuk biaya pembuatan kaos yang di depannya terdapat gambarku, sungguh aku tak punya modal untuk itu. Aku hanya menggunakan satu cara politik untuk berkampanye: menitip pesan pada setiap orang yang kutemui bahwa aku sedang nyaleg tapi tak bermodal, jadi mohon keikhlasannya untuk mencoblos. Dan rupa-rupanya kejujuranku itu membuat banyak orang simpati hingga kemudian mengantarkanku duduk di kursi wakil rakyat.
Saat pelantikan berlangsung aku bahagia. Tapi sayang itu hanya tipu daya. Memang, kursi wakil rakyat terlihat nampak empuk dan nyaman. Saking empuknya banyak orang yang berjuang keras memperebutkannya. Mereka yang kalah gigit jari dan tentunya merasa rugi, terlebih segala harta telah habis tak bersisa demi ambisi. Ujung-ujungnya timbul iri hati pada mereka yang juara. Apalagi sang juara itu adalah diriku, perempuan lemah dari keluarga tak berpunya dan hanya berpendidikan SMA.
“Apa pantasnya dia jadi wakil rakyat? Dia hanya tamatan SMA. Dia juga janda perebut laki orang. Orang yang duduk di kursi DPR hanyalah mereka yang bermartabat bukan seorang pelakor.” Teriak Majid di hadapan para tetanggaku. Majid adalah pesaingku yang terlihat paling dengki atas kemenanganku.
Aku tahu, aku pernah melakukan kesalahan fatal. Aku pernah menikah dengan suami beristri. Gara-gara kehadiranku, istri pertama suamiku akhirnya sakit keras. Sebagai sesama wanita aku tahu diri. Dengan ikhlas aku mengembalikan suamiku pada istri pertamanya. Aku pun menjanda untuk ke dua kalinya.
Setelah beberapa bulan bercerai, tiba -tiba aku mendengar berita bahwa istri pertama mantan suamiku itu meninggal mendadak. Aku terkejut karena sepengetahuanku dia sangat sehat. Tapi lebih terkejut lagi ketika aku dengar bahwa orang-orang telah sibuk bergosip bahwa dia meninggal karenaku. Mereka bilang aku tidak ikhlas berpisah dengan suamiku dan menyantet istri pertamanya. Ya, Tuhan! Sungguh fitnah yang teramat keji! Fitnah yang membuatku harus terasing dari pergaulan selama bertahun-tahun.
Dan kini, di saat aku bangkit dan mencapai puncak tertinggi mimpiku, ujian berat kembali harus kupikul. Aku harus rela menangis di saat orang-orang ber-euforia atas pelantikan wakil rakyat ini.
“Ibu-ibu, bapak-bapak…saya yakin dia menang karena kecurangan. Mana ada wanita seperti dia bisa meraih suara terbanyak. Uang saja tidak punya. Hari gini tidak ada yang gratisan, kalau tidak ada amplop mana mungkin orang-orang mau memilih.” Teriak Majid di hadapan para tetanggaku.
Dia memang tampak kesetanan, tiba-tiba datang kerumahku dan berkoar-koar menumpahkan segala amarahnya. Tak ayal para tetangga pun ke luar dan menonton pertunjukannya.
“Pelakor mau jadi anggota DPR, nyari mangsa ya? Jangan-jangan nanti kamu embat pejabat dan kamu santet istrinya, ya kan?!” Semakin bengis saja tuduhan Majid. Rasa dengkinya akan kemenanganku benar-benar menguasai akal sehatnya.
“Sudah Pak Majid, tidak baik memfitnah. Mbak Arum sudah ditetapkan sebagai pemenang. Berlapang dadalah!” Pak RW berusaha menenangkan.
“Aku sudah berkorban banyak. Sawah ladangku telah habis terjual buat biaya politikku. Tapi lihat sekarang siapa yang menang? Wanita penjual sayur ini mengalahkanku. Punya apa dia? Dasar wanita sialan!” Majid terus mengumpatiku. Telunjuk kedengkiannya hampir menyentuh batang hidungku.
“Mari Pak kita ke rumah bapak dulu. Tenangkan diri bapak. Kalau Mbak Arum menang, ya itu sudah rezeqinya.” Sebisa mungkin Pak RW meredamkan angkara murka Majid. Dia menggandeng pundak Majid lalu perlahan membawa pergi dari hadapanku.
“Hey wanita jalang, awas ya!” Dari kejauhan Majid kembali mengumpatiku. Jarinya terus menunjuk-nunjuk. Sorot matanya penuh dengan dendam kesumat.
Aku terdiam. Menahan tangis yang sesungguhnya tak bisa kutahan. Kedatangan Majid siang tadi di rumahku benar-benar merenggut matahari kebahagianku. Hari ini seakan menjadi hari pengakhiranku. Bola mataku tak dapat lagi melihat dunia dengan indahnya. Ada tirai air mata yang membuat semua seakan tampak berkabut. Dengan cepatnya aku kehilangan semangat hidup. Jantungku seakan tak mampu memompa darah kehidupan dengan baik. Aku sungguh-sungguh terhina. Harga diriku sebagai wanita habis terkoyak dalam setiap lipatan lidah bengisnya Majid.
“Serendah itukah aku, ibu? Hingga Majid mengataiku sebagai wanita jalang dan tak pantas menjadi wakil rakyat?”
“Percayalah, Nak! Majid tengah dirasuki rasa kesal dan marah karena kekalahannya. Iri hatinya padamu timbul karena dia bersaing tanpa kesiapan mental yang kurang apabila kelak dia gagal. Dia hanya berambisi untuk menang. Biarkanlah, do’akan dia semoga kembali ke jalan yang benar. Kamu wanita pintar, embanlah tugasmu dengan baik dan amanah. Dan mas lalumu, jangan dirisaukan. Semua orang pernah salah. Dan mereka yang mencacimu belum tentu lebih mulia di hadapan Tuhan. Tegarlah, karena wanita hebat adalah mereka yang tak pernah kalah oleh perlawanan pria yang berakal satu jengkal seperti Majid.”
Kutatap dalam wajah ibuku. Wajah itu terlihat begitu bercahaya. Wajah yang penuh kasih dan cinta. Wajah yang begitu menenangkanku apabila aku menatapnya. Dan wajah seperti inilah yang ingin kulihat dari wajah negeriku.
Belum ada tanggapan.