Melongok Jendela-jendela Aba

Oleh Insan Purnama

(1)

Cerita pendek, lantas orang menyebutnya cerpen, bisa merupakan dua hal sekaligus, yaitu sebuah wacana dan sekaligus juga sebuah karya sastra. Sebagai wacana, cerpen (demikian juga pada bentuk lainnya) memaksa kita untuk mengandaikan adanya penyapa dan pesapa. Dalam bentuk tertulis, penyapa berupa penulis, sedangkan pesapanya adalah pembaca. Dengan demikian, kita tidak bisa mengabaikan bahwa pada cerpen, sebenarnya penulis bermaksud menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Sesuatu yang disampaikan kepada pembacanya itu tidak sekadar rangkaian sebuah cerita, tetapi juga tema dan amanat yang tersembunyi dalam rangkaian cerita itu. Kadang tema dan amanat itu begitu jelas terlihat, tetapi pada cerpen-cerpen yang terkategori sebagai karya serius, tema dan amanat tidak mudah ditemukan, apalagi ketika cerpen itu menggunakan bahasa yang metaforis.  Saat seperti itulah, cerpen dapat dikategorikan sebagai bernilai sastra.

Apa yang membedakan sebuah karya dapat bernilai sastra atau sekadar hiburan? Cahaya (1986: 19-20) menyebutkan beberapa ciri yang membedakan sebuah karya  berbobot sastra dengan sekadar hiburan. Pertama, karya sastra tidak mengangkat tema cinta asmara muda-mudi. Karya itu harus membuka diri terhadap masalah yang penting untuk menyempurnakan hidup manusia. Betul memang sering kita temukan masalah cinta dalam sebuah karya yang berbobot sastra, tetapi masalah cinta itu sekadar pemanis dalam mengembangkan plot, sedangkan masalah sebenarnya di luar masalah tersebut.

Kedua, karya yang berbobot sastra tidak berhenti pada gejala permukaan saja, tetapi selalu mencoba memahami secara mendalam dan mendasar sebuah masalah. Penulis melihat masalah seperti sebuah gunung es,  dengan kematangan intelektualnya, penulis justru mencoba membongkar dasar gunung es tersebut.

Ketiga, betul memang bahwasanya jalan cerita itu penting, tetapi bukan daya tarik utamanya. Cerita harus diimbangi karakterisasi tokoh yang kuat, bahkan mencoba menggali sisi jiwanya yang paling dalam, serta setting cerita yang digarap sedemikian rupa sehinga mendukung harmonisasi dalam penyampaian tema atau pesan.

.

(2)

Pada antologi cerpen  Jendela-Jendela Aba terdapat dua puluh cerpen yang pada awalnya merupakan cerpen-cerpen yang diikutsertkan dalam Lomba Cerpen RetakanKata Tahun 2013. Berdasarkan ciri-ciri yang  diuraikan Cahaya di atas, saya melihat bahwa cerpen-cerpen dalam antologi Jendela-Jendela Aba, bagi saya, merupakan cerpen yang dapat dikategorikan sebagai karya bernilai sastra. Kelebihan lain dari kumpulan cerpen ini adalah para penulisnya yang tergolong masih muda belia sehingga bisa diharapkan mereka akan mengembangkan kemampuan menulisnya di masa depan sehingga memberikan konstribusi dalam kesusastraan Indonesia.

Selain itu, sebuah kumpulan cerpen ibarat restoran yang komplet, menu apa saja ada dan koki yang bagaimana pun ada. Begitulah, saya pribadi menikmati berbagai suguhan yang disajikan para koki muda yang berani berinovasi. Namun, tentu saja “tak ada gading yang tak retak”. Demikian juga pada kumpulan cerpen ini, saya menemukan juga beberapa kelemahan, seperti penulisnya sendiri membuka selubung metaforis pada ceritanya atau juga penulis mengambil teknik penulisan, seperti bercerita secara lisan.

Jujur, secara umum, rata-rata kualitas cerpen dalam antologi ini cukup baik sehingga penulis muda lain bisa belajar dari buku ini.

kumpulan cerpenJudul Buku: Jendela-Jendela Aba: Antologi Cerpen RetakanKata

Penyunting: Ragil Koentjorodjati

Penerbit: Java Media Network

Tahun: 2013

*) Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan