dunia-pekat-avianti-armand

Memasuki Dunia yang Pekat dan Memikat

Ada sebuah potret sekilas dalam dunia perbukuan sekarang, khususnya dalam genre fiksi (cerpen). Potret itu adalah banyaknya kumpulan cerpen yang mulai dibukukan. Yang paling dominan dibukukan adalah cerpen-cerpen yang termuat di media massa. Dan, salah satu penulis yang membukukan cerpen-cerpennya itu, tak lain adalah Avianti Armand.

Kereta Tidur (2011). Itulah judul untuk kumpulan cerita pendeknya yang kedua. Perempuan Pertama, Matahari, Dongeng dari Gibraltar, Requiem, Sempurna, Kupu-Kupu, Perempuan Tua dalam Kepala, Tentang Tak Ada, Tiket ke Tangier, dan Kereta Tidur adalah judul karyanya Avianti yang berada dalam buku ini. Begitu memikat dan sederhana.

Kesederhanaan itu nampak dari desain sampul depan, yakni foto rel kereta yang terlihat dari sebuah jendela terbuka. Kemudian, sampul depan-belakang didominasi warna hitam-merah. Konsep warna ini menjadi bukti konkret adanya pencitraan yang begitu kuat, pekat, dan kelam. Dari konsep tersebut, yang menjadikan pula sebagai mediasi bagi pembaca untuk memasuki dan menikmati dunia rekaan Avianti Armand.

Dalam buku ini, Avianti menawarkan imajinasi yang liar. Imajinasi yang selalu membuat pembaca untuk ‘terperosok’ dan merasakan kecepatan-ketepatan alur ceritanya yang selalu menikung tak terduga-duga. Selain itu ada hal lain, yang barangkali akan dirasakan oleh pembaca nanti. Sebagai representasi tentang keadaan dan perasaan tersebut, maka saya nukilkan sedikit ungkapan dari salah satu cerpen yang berjudul Matahari. Begini bunyinya: “Aku adalah sebuah tanda tanya dalam peta tubuhmu—dan tubuhku.” (hlm.15)

Dan, memang betul bahwa ‘sebuah tanda tanya’ yang disuguhkan dalam buku ini akan “… memancing pemaknaan baru atas hal-hal yang biasa kita temui, seperti konflik cinta, masalah keluarga, dan pertanyaan atas eksistensi manusia. Unik, indah, dan mengusik….” Itulah, sebuah pernyataan dari penerbit yang turut ‘menyokong’ isi buku ini di sampul belakang.

Namun, perlu diketahui juga bahwa sebuah pernyataan di atas, masih menjadi representasi yang terlalu ‘meluas’ dan ‘melebar’. Pasalnya, bila pembaca menilik dan menelisik ke dalam ceruk keseluruhan cerpen Avianti Armand, maka, buku ini berkutat dalam permasalahan eksistensi dan identitas manusia. Kedua permasalahan yang mendominasi itu turut menjadi mediasi bagi pembaca bahwa itu bertautan dan tetap terkait dengan penciptanya—dalam hal ini Sang pencipta/ Tuhan.

Cerpen-cerpen yang mengindikasikan hal tersebut tercermin kuat lewat cerpen berjudul Perempuan Pertama, Matahari, Requiem, dan Tentang Tak Ada. Sedangkan, Sempurna adalah salah satu cerpen yang tema tentang cinta, begitu kuat—meskipun, keseluruhan cerpen juga tetap tersisipi oleh cinta. Lebih lanjut, saya akan memberikan  representasi sedikit dari salah satu cerpen berjudul Perempuan Pertama.

Cerpen tersebut lebih dominan mengisahkan tentang Hawa yang berada pertama kali di Taman Eden. Di taman tersebut, ia merasa asing, dan terus melakukan pencarian—pencarian yang menjurus pada eksistensi dan identitas manusia berjenis kelamin perempuan.

“Telah kulihat satu makhluk yang indah di kulit sungai yang beku. Di kepalanya ada surai yang berkilau. Di dadanya sepasang buah yang molek. Di pangkal kakinya segumpal semak berduri. Dan ia menatapku, ” kata perempuan pada ular. Ular pun menjawabnya: “Itu adalah kamu. Tapi kamu tidak boleh tahu.”

Sekilas percakapan di atas memberi bukti konkret terhadap pernyataan tentang eksistensi dan identitas manusia, yang di dalam kisah  ‘Perempuan Pertama’ tadi ada campur tangan dari Tuhan. Meminjam beberapa penggal dalam cerpen tersebut— “Tuhan telah menggulirkan dadu” pada Hawa dan keberadaan makhluk hidup lain yang ada di dekatnya.

***

Adapun, dilihat dari arsitektur bahasa, buku kumcer ini selalu memberi citra kalimat yang penuh penekanan-penekanan kuat, jelas, dan terancang dengan kokoh—yang juga mengindikasikan pada biografi si penulis, yakni seorang arsitek.  Sampel sederhana dapat dilihat dari rangkaian kalimat per kalimat dalam cerpen Avianti.

“Mendekati pagi, sebuah bintang berkelip di timur. Suaranya berdenting bening. Sania menjulurkan tangan. Tapi seseorang mendahuluinya. Lelaki itu tiba-tiba telah menggenggam bintang tadi di tangannya. Ia mendekat. Membuka genggamannya. Bintang timur itu berkilau di mata mereka” (dalam cerpen Dongeng Dari Gibraltar, hlm. 23).

Dalam nukilan tersebut, sekilas pembaca dapat melihatnya lewat jumlah kata yang membentuk setiap kalimat-kalimatnya. Di situ, terproyeksi dengan kalimat-kalimat yang pendek. Kalimat itulah yang kemudian memberikan banyak penekanan dan kecepatan alur cerita, yang membuat pembaca akan merasa bersemangat dan tertarik untuk terus membacanya hingga selesai.

Alur yang mengalir dengan cepat dan deras itulah yang juga memberikan sebuah afirmasi sekali lagi pada buku Kereta Tidur (2011) ini. Yakni, sebuah kumcer yang mengajak pembaca untuk memasuki dunia imajinasi Avianti Armand yang kelam dan pekat, namun, membuat pembaca terpikat serta beradrenalin hingga memuncak.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan