Tan Malaka adalah pejuang yang dilupakan. Namanya dihapus oleh Orde Baru dalam sejarah Indonesia modern. Ia disingkirkan dan dihilangkan jejak perjuangannya. Peranannya cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia adalah konseptor republik Indonesia. Pikiran-pikirannya brilian dan futuristik. Ia tidak hanya memandang Indonesia hari ini, tapi juga Indonesia masa depan. Perhitungannya cermat, dan matang dalam melihat persoalan keIndonesiaan. Sikap dan pendiriannya kokoh dan tanpa kompromi bila bersangkutan dengan nasib Indonesia. Ia tidak hanya berpikir tentang rakyat dan kehidupannya, ia menyelam serta mengilhami penderitaan rakyat Indonesia kala itu.
Dididik dan dibesarkan di tanah Minang, Tan Malaka sudah menunjukkan sebagai siswa yang memiliki kecerdasan dan istimewa. Ia memikat gurunya yang kelak menjadi ayah angkatnya Horensma. Sebelum ia melanjutkan pendidikan di Belanda sebenarnya sesuai dengan adat Minang, ia telah disiapkan menjadi datuk dan dijodohkan dengan calon istrinya. Ia hanya menerima gelar datuk lalu menolak dijodohkan dan memilih melanjutkan studinya di Belanda. Pilihannya adalah pilihan sulit yang menghantarkannya pada hidup yang keras lagi sulit. Di Belanda, ia tidak selalu mulus dengan bekal yang dibawanya. Ia kemudian mendapat kiriman dari keluarganya beberapa saat setelah ayahnya merelakan jalan hidup anaknya.
Di Belanda itulah, kelak ia tidak hanya menjadi pelajar yang brilian tetapi juga menjadi tokoh pergerakan yang cemerlang sekaligus diwaspadai di kalangan tokoh kiri baik di Indonesia maupun mancanegara. Tan Malaka menganggap bahwa Komunisme bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai alat. Ia membaca marxisme dan menyerap pikiran-pikirannya. Indonesia dianggap belum mampu untuk melakukan revolusi karena rakyat belum dididik sepenuhnya. Kesadarannya akan peranan tentang pendidikan membawanya menjadi pendidik di kalangan rakyat bawah setelah ia lulus dari Belanda.
Di Belanda ia diwaspadai karena pikirannya akan kemerdekaan. Kita tahu, Belanda waktu itu juga menjadi penjajah yang tidak mau Indonesia merdeka. Jalan pikirannya kepada komunisme sempat berseberangan dengan Mohamad Hatta yang waktu itu juga belajar di Belanda.
Tujuan Tan Malaka adalah melihat negeri yang ia perjuangkan merdeka 100%. Saat ia melihat cara dan strategi perjuangan PKI yang dinilainya sudah melenceng, ia pun tidak segan keluar dan membangun wadah perjuangan lain. Ini ditunjukkan saat Muso dan kawan-kawannya hendak melakukan pemberontakan di tahun 1926. Tan Malaka menilai rakyat Indonesia perlu kesiapan matang sebelum melaksanakan revolusi fisik. Selain bertentangan dengan komintern, hal ini juga merugikan rakyat Indonesia. Meski begitu, pemberontakan pun meletus di Prambanan di tahun 1926.
Tan Malaka juga tidak sepakat dengan strategi komintern yang tidak mempertimbangkan Pan Islamisme yang menjadi realitas perjuangan di negara dunia ketiga yang melibatkan Islam sebagai spirit perjuangannya.
Buku A. Zahid ini selain menghidupkan kembali pemikiran penting serta peranan Tan Malaka dalam perjuangannya mewujudkan Indonesia merdeka, buku ini juga memetakan secara sosiologis pemikiran Tan Malaka berdasarkan teori Pierre Bordieu.
Dengan perspektif Pierre Bordieu itulah, ditemukan perubahan habitus lama ke habitus baru dalam pemikiran Tan Malaka, sehingga menghasilkan komunisme ala Tan Malaka. Dalam pemikiran Tan Malaka, sebagai sebuah strategi perjuangan, komunisme tidak selalu harus membebek pada komintern. Titik tekan buku ini adalah terletak pada bagaimana memetakan perubahan pemikiran Tan Malaka yang semula sangat condong pada komunisme ala soviet kemudian bergeser pada komunisme ala Tan Malaka sendiri. Komunisme yang tidak selalu menolak realitas pada masyarakat. Komunisme yang tidak mengabaikan kondisi rakyat. Komunisme di Indonesia memiliki perbedaan latar belakang, budaya serta keadaan rakyat yang turut mempengaruhi jalannya strategi pencapaian kemerdekaan.
Kita tahu, Tan Malaka condong pada Pan Islamisme yang pada waktu itu sedang menjadi ideologi yang menyebar di dunia timur dan gencar melawan kolonialisme. Tan Malaka adalah tokoh yang sepakat dengan Pan Islamisme karena memandang bahwa Pan Islamisme menolak kolonialisme dan bercita-cita yang sama melawan penindasan.
Dalam konteks sekarang, membincangkan komunisme di Indonesia memang tidak menarik lagi, namun membincangkan nilai-nilai perjuangannya dalam melawan imperialisme, serta melawan ideologi kapitalisme menjadi terus relevan. Di Indonesia sendiri, pemikiran Tan Malaka dan konsepsinya tentang merdeka 100% justru menjadi konsep yang mulai diabaikan. Dalam situasi demikian, buku Tan Malaka dan Sosiologi Generatif (2021) menjadi sangat relevan diperbincangkan.
Belum ada tanggapan.