Bagi seorang penyair, menulis puisi mestinya lebih mirip seorang nabi yang menerima “wahyu”. Saya mengenali laku ini saat membaca biografi Jalaluddin Rumi. Penyair besar ini menuliskan puisinya sekali jadi, dan tidak bisa ia menuliskan ulang sama seperti saat ia menerima ilham. Boleh jadi ini terdengar mistis, tapi seperti itulah kerja berpuisi itu. Puisi saya kira berbeda dengan kerja fikir lainnya, seperti filsafat
Karena itulah, barangkali di dalam puisi meskipun ada sebentuk pemikiran, ia memiliki nuansa estetis. Ada semacam daya pikat (mistis) kata-kata yang dituliskan penyair saat dibaca dalam diam ataupun dengan diiringi musik.
Tentu saja tak mudah untuk menciptakan momen puitik ini. Saya menyebut momen puitik untuk mengatakan momen yang tepat bagi penyair menuliskan puisi. Ruang, waktu dan juga tempat ikut menentukan puisi seperti apa yang akan ia tulis. Begitu pula ketika penyair memiliki perasaan yang melankoli, sedih, atau bahagia. Semua perasaan dan situasi yang dialami penyair seperti itu akan hadir di puisi-puisinya.
Untuk itulah, menulis puisi seperti mengerami apa yang penyair tangkap, apa yang penyair rasakan, hingga apa yang penyair geluti berhari-hari hingga begitu intim. Di proses inilah, penyair tak bisa cepat dan terburu-buru.
Sebagaimana kita lihat bagaimana proses seorang Rendra yang menelurkan sajak-sajak cintanya yang tak picisan, sampai pada saat ia menuliskan puisi pamfletnya yang berbau protes sampai pada saat ia menuliskan puisi religiusnya saat menjelang wafat.
Kita pun bisa melihat bagaimana seorang Afrizal Malna yang bertekun dengan puisi modernitasnya, hingga menciptakan puisi yang berbau romantik, dan berpindah lagi kepada puisi yang lebih absurd.
Dua penyair ini saya pikir mengalami proses yang berbeda baik dalam sisi ruang, waktu, sampai pada situasi perasaan (psikologis) penyair di saat menuliskan puisi-puisinya. Ada kesatuan antara laku keseharian, dengan intimitas yang ia amati dan tekuni.
Bila penyair tak matang dan bersabar dalam urusan proses seperti ini, maka yang terjadi yang ditulis oleh penyair lebih terkesan sekilas, permukaan semata. Kita bisa menyimak pada sebagian besar puisi yang ditulis oleh Niken Kinanti di bukunya bertajuk 1990. Baiklah kita kutip petilan puisinya disini : kami tak dapat menerjemahkan mengapa jalur pantura selalu berlubang/ kami hanya menunggu para penjaga makam/ menggusur patok kuburan/ seperti tak pernah ada tempat /tak ada potret bahagia bagi rakyat jelata (Potret).
Apa yang dilihat oleh penyair adalah realitas muka, realitas permukaan yang barangkali jamak kita dengar dan saksikan. Belum ada sesuatu yang baru, yang membuat kita merasakan ada sentuhan mistis ketika membaca puisi diatas. Puisi di atas barangkali terlampau vulgar saat memotret realitas yang ditangkap penyair.
Bolehlah kita kutip puisi yang lain yang menunjukkan bagaimana penyair menangkap tempat atau latar puisi ditulis dengan begitu gamblangnya. Para petualang mencari marka/ lalu orang-orang mendekat /pada pemeriksa karcis kereta/ tubuh kuyup melihat sekerumunan manusia/sinar lampu menggantikan matahari setiap harinya (Stasiun Lempuyangan).
Ada dugaan penyair menikmati Stasiun Lempuyangan hanya dalam sekali waktu kunjungan, atau kunjungan pertama. Sehingga sangat terasa sekali penyair terkesan menangkap sekali lagi yang nampak, bukan yang tersembunyi, yang tersurat semata, belum yang tersirat.
Hal ini berbeda dengan puisi yang bertema kereta. Di puisi berjudul Stasiun Purwosari Suatu Ketika misalnya, kita menemukan ada suatu yang nampak berbeda. Baik dari sisi diksi dan permainan imajinasinya. Mari kita simak bersama-sama : Kereta malam menunggu penumpang bernama kenangan/ Matanya menelisik dan mencari penumpang yang sedang sendirian/ Hanya rel kereta yang menampung segala air mata/Rodanya berpacu meninggalkan stasiun menuju tujuan-tujuan berikutnya.
Ada perbedaan yang nampak diantara dua puisi sebelumnya misalnya ketika penyair menyebut “ penumpang kenangan”, “rel kereta yang menampung air mata”. Ada usaha dan upaya penyair tak terjebak pada yang nampak. Dan mencoba menautkan realita yang tampak dengan imajinasinya.
Menyimak puisi-puisi Niken Kinanti, kita memang akan disuguhi puisi bernada romantik, tetapi kita juga akan menemui puisi-puisi berkesan empatik. Kita bisa menyimak diksi seperti “rakyat jelata”, “negara”, atau yang bernuansa simpatik terhadap anak, lelaki di pinggir jalan, dan sebagainya. Sebut saja judul-judul puisi berikut ini : Kepada lelaki yang rebah di tengah jalan, Stasiun Purwasari Suatu Ketika, Kepada Seseorang Yang Membenci Hujan, Potret.
Penyair mencoba menghadirkan realitas yang ada di sekitar penyair saat ia menulis puisinya dengan bahasa yang lugas dan cenderung vulgar. Ada memang momen-momen ketika penyair merasakan kesedihan, momen permenungan, dan juga suasana empatik yang hadir di puisi-puisinya.
Tidak adanya pemilihan tema membuat pembaca buku puisi ini seperti diajak meloncat-loncat dari peristiwa satu ke peristiwa yang lainnya. Hal ini tentu saja membuat pembaca tak nyaman. Namun demikian, ada beberapa puisi yang mampu dihadirkan penyair yang terkesan matang. Rata-rata puisi yang matang ini lebih bernuansa religius. Boleh jadi, bila penyair menekuni tema ini dengan serius, maka puisi-puisinya akan lebih terasa dan lebih menyentuh.
*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Menulis di doeniaboekoe.blogspot.com
Belum ada tanggapan.