Siapa yang ingin tahu betapa kiat intervensi Negara Paman Sam – Amerika – dalam upaya penggulingan pemerintahan Soekarno yang dicintai rakyat? Pertanyaan sederhana tersebut bisa langsung dicari jawabannya di buku karangan Willem Oltmans berjudul Indonesia Diobok-Obok. Dalam buku ini kita akan disuguhi satu perspektif wartawan Belanda yang jujur dan cinta pada Indonesia.
Kecintaan Willem Oltmans pada Indonesia diawali dari pengalaman pribadinya. Ia bisa merasakan penderitaan bangsa terjajah karena ia sendiri pernah terjajah dan mengungsi akibat perang. Belanda pernah diserbu Jerman yang berimbas pada mengungsinya Willem Oltmans kecil. Willem Oltmans merasa terpanggil untuk mempelajari suatu negeri di timur jauh yang berusaha mendeklarasikan kemerdekaan dari belanda. Ia memutuskan terbang ke Indonesia dan menyelidiki siapakah sosok Soekarno, seorang yang amat dibenci oleh mayoritas publik belanda.
Kesempatan itu datang pada tahun 1945 di awal-awal kemerdekaan republik. Willem Oltmans datang dengan niat tulus. Bukan sebagai seorang propagandis kolonial yang ingin mendirikan kembali penjajahan, tapi sebagai sahabat dekat yang ingin membantu menjaga kemerdekaan negara baru. Kehangatan dan ketulusan Willem Oltmans dapat dirasakan oleh Soekarno hingga Soekarno menjadikan Willem Oltmans sebagai sahabat baik.
pada tahun-tahun menjelang kejatuhan Soekarno, Willem Oltmans sering mondar-mandir ke istana bogor, tempat presiden diasingkan. Bukan hanya untuk wawancara, tapi juga untuk kunjungan santai bahkan hanya untuk santap pagi. Kehangatan itu digambarkan Willem Oltmans dengan cara yang sangat bersahaja. Willem Oltmans menganggap Soekarno bukan saja teman tapi juga bapak. Bapak yang dicintainya dan dicintai seluruh rakyat indonesia.
Ada satu yang menarik yang diulas Willem Oltmans tentang kebuntuan informasi wartawan-wartawan Indonesia tentang kejadian yang sebenarnya terjadi di tahun 1965. Willem Oltmans menduga kebutaan infromasi ini disebabkan adanya jurang waktu yang terlampau jauh dan adanya pelarangan buku sekala besar tentang semua informasi yang tidak sesuai dengan ideologi penguasa. Hasilnya, lahirlah satu generasi yang buta sejarah dan tidak mempunyai akses kebenaran. Pada halaman 21 Willem Oltmans Menulis:
“Para jurnalis yang dilahirkan pada tahun 1965, sekarang berusia 34 tahun (tahun 1999-tahun dimana buku ini pertama ditulis dalam bahasa Inggris-editor). Pengetahuan mereka mengenai apa yang terjadi di bulan Oktober tahun itu adalah nol dan nol koma. Saat itu, fakta ketidakberadaan ketidakberadaan panglima angkatan darat yang tidak ada jejaknya, bagi Bung Karno sangat vital artinya. Karena dialah yang bertugas meelindungi kepala negara dari serangan para perwira tinggi yang bersekongkol dengan Amerika Serikat (halaman 21).
Mengenai tuduhan bahwa Bung Karno adalah seorang Komunis dijelaskan Willem Oltmans dengan melacak akar sejarahnya. Willem Oltmans stigma itu pada Karina dan Sukmawati. Menurut Willem Oltmans, Karina (anak Bung Karno dari Ratna Sari Dewi) tidak mengerti mengapa Bung Karno dicap sebagai seorang Komunis. Saya bercerita pada Karina dan Sukmawati bahwa petaka itu dimulai sejak tahun 1957, ketika Bernard Kalb dari New York Time menulis reportase. Secepatnya Bernatd Kalb memberitakan setelah ucapan pertama Soekarno mengenai diperlukannya tangan yang lebih keras dalam memimpin Indonesia, Soekarno dituduh pro blok komunis. Washington tentu saja percaya dan antusias pada pemberitaan itu dan ikut andil dalam penyebaranya.
Berita dan informasi penting yang disuguhkan dalam buku ini sangat menarik untuk kita baca. Menarik bukan saja karena ditulis dengan gaya bahasa ringan dan bersahabat tapi juga karena ditulis dari dekat. Willem Oltmans adalah teman dekat Soekarno yang berusaha menjernihkan sejarah tahun 1965 dari perspektif Bung Karno. Ia ingin mengembalikan citra Soekarno di mata masyarakat indonesia yang kini mulai dipelesetkan dan dilupakan. Seperti Itu.
Belum ada tanggapan.