Oleh Budi Hastono
Solo sebagai salah satu kerajaan menjadi salah satu tempat di mana budaya berkembang secara dinamis. Budaya dan masyarakatnya saling bercengkrama dan tumbuh bersama. Solo juga dikenal sebagai salah satu kota yang cukup banyak melahirkan manusia-manusia berjasa dalam kancah nasional walau sebagian ada pula yang dicap pembelot terhadap tatanan yang ada. Salah satu yang lahir dari kota dengan corak demikian adalah Widji Thukul.
Ada cacatan menarik dalam diktat kuliah puisi kampus UNS yang ditulis Herman J. Waluyo ( 2010 ) yang menempatkan nama Widji Tukul di jajaran sastrawan periode 2000 dan seterusnya. Bagi saya menarik karena sorang sastrawan yang hilang dan dicap subversif semasa hidupnya disebutkan dalam diktat kuliah. Sebuah catatan menarik ketika tidak semua dosen sastra menmpatkannya sebagai bahan kajian dalam perkuliahannya.
Tukul memang manusia unik. Dalam catatannya yang dibukukan dalam buku Kebenaran akan terus hidup (2007), ia menulis “saya menulis puisi bukan untuk menjadi penyair, namun saya menjadi penyair karena saya menulis puisi“. Catatan yang menunjukkan kesederhanaan orang kecil yang perlahan namanya terus membesar.
Pribadi uniknya banyak diulas Arif Budiman ( 1994 ) dalam kumpulan puisi Mencari Tanah Lapang. Salah satu yang ditulisnya menyebutkan “Dia bukan mau jadi pahlawan kaum miskin di dunia, dia Cuma mau bercerita tentang nasibnya….” Di paragraf yang lain ia menulis“Dia juga ingin supaya teman-temannya bisa memahami dan merasakan apa yang dikatannya bisa menangis dan marah serta bisa bermimpi tentang sebuah dunia lain..” Ada kesederhanaan, kejujuran, kemanusiaan dalam setiap ungkapan yang sering bernada satir yang disampaikan Tukul di setiap syairnya. Widji Thukul menganggap apa yang ditulisnya bukanlah sebuah protes, namun hanya menceritakan apa yang ia alami dengan kejujuran.
Kumpulan puisi tukul cukup banyak, baik yang diterbitkan secara massal, atau yang diterbitkan secara terbatas. Ada Aku Ingin Menjadi Peluru dengan diksi keramatnya “ Lawan “. Atau yang jarang diakses umum yang hanya diterbitkan oleh dewan kesenian jawa tengah di tahun 80-an, kemudian penerbit Gramedia menerbitkannya menjadi sebuah buku kumpulan puisi Widji Tukul dengan “Nyanyian Akar Rumput”.
Diawal buku ada tulisan dengan tanda Widji Tukul sebagai pesan pemahamannya tentang sastra dan sastrawan. Ada 7 bab dalam huruf Romawi; Lingkungan Kita si Mulut Besar; Ketika Rakyat Pergi; Darman dan Lain-lain; Puisi Pelo; Baju Loak Sobek Pundaknya; Yang Tersisih dan Para Jendral Marah-Marah. Buku kumpulan puisi ini merupakan hasil kompilasi beberapa kumpulan puisi Tukul yang tercecer.
Kejanggalan dalam kumpulan puisi ini adalah tidak diberi penjelasan memadai seperti misalnya puisi tersebut diambil dari tulisan apa atau memang langsung dari Wiji Tukul ( masih hidupkah ia ? ). Namun disisi besar lainnya buku ini penting bagi pemuda atau siapapun mereka yang gandrung dengan sastra untuk menggambarkan keadaan, atau para mahasiswa yang berkhidmat di pergerakan yang sering kehabisan retorika dalam berorasi.
Wajar jika puisi Widji Tukul sering dikutip dan dikumandangkan oleh kaum demonstran. Sebab dengan puisinya, ia telah menunjukkan dirinya seorang demonstran. Tidak berlebihan kiranya jika Munir Said Thalib, salah satu pejuang HAM Indonesia menulis:
“Sebagai aktivis dan seniman rakyat, Wiji Thukul memang dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya. Pilihan untuk kemudian bergabung bersama petani, buruh, dan kaum miskin lainnya dalam semangat yang semakin menguat, bahwa segala bentuk kemiskinan itu bukanlah semata-mata hadiah dari kekuasaan Tuhan, akan tetapi peluang dan kesempatan itu telah dilahap oleh kekuasaan pol modalan modal.” —
Judul: Nyanyian Akar Rumput: KumpulanPuisi Widji Tukul
Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan ke-2 Maret 2015-07-04
ISSBN : 978-602-03-0289-8
Jumlah Halaman: 248 halaman
Harga: Rp. 63.000,-
*) Penulis Mahasiswa PBSI UMS
Belum ada tanggapan.