Judul Buku : Rakyat Belum Merdeka, Sebuah Paradigma Budaya
Penulis : W.S. Rendra
Penerbit : Pustaka Firdaus
Halaman : 51 Halaman
ISBN : 979-541-131-4
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, juga hak setiap insan manusia. Soekarno menyebut negeri merdeka itu dengan tiga frase penting ; berdaulat dalam bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam tujuh puluh tahun lebih perjuangan bangsa ini, belum nampak tanda-tanda kita berdaulat dalam politik dan berdikari dalam bidang ekonomi.
Mengapa dalam kurun waktu yang cukup lama itu, Indonesia belum mampu mewujudkan tri sakti yang digaungkan Soekarno itu? jawabannya bisa beragam dan macam-macam. Bila ditilik dari wacana besar, kemerdekaan memang amat rumit, dan susah dipahami bagi wong cilik, atau rakyat kecil.
Rakyat kecil memaknai kemerdekaan secara sederhana, ia punya alat produksi, bisa berdaya dan memenuhi kebutuhannya ia sudah termasuk kategori merdeka. Bisa makan esok hari tanpa ada halangan sudah merupakan kebahagiaan bagi wong cilik. Apakah kemerdekaan cukup diartikan bisa memenuhi sepiring nasi esok hari?. Tentu saja tidak, memenuhi kesehatan, rumah, pendidikan, sampai dengan hak hidup adalah hak yang ditanggung oleh negara. Negara ikut bertanggungjawab mengurusi ihwal kebutuhan pokok warganya.
Indonesia adalah negeri yang sudah menancapkan pokok-pokok pikiran yang menjadi kewajiban negara setelah mencapai kemerdekaan. Apa yang diucapkan Soekarno sebagai trisakti sebenarnya sudah tertuang dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Iktikad dari para pemimpin bangsa inilah yang harus didukung agar apa yang menjadi cita-cita ideal kemerdekaan bisa lekas digapai.
WS Rendra seorang budayawan, seniman sekaligus pemikir yang resah menuliskan sebab musabab mengapa negeri ini tidak kunjung menggapai kemerdekaan yang sejati. Ia menuliskan adalah kenyataan kebudayaan bahwa sejak dari zaman raja-raja, zaman kolonialisme Belanda, kolonialisme Jepang penjajahan rezim Orla, dan penajahan rezim Orba, rakyat Indonesia tidak pernah menjadi warga negara dengan hak penuh untuk bebas berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan, urusan pemerintahan, dan urusan kenegaraan. Lebih lanjut ia menerangkan rakyat tidak merdeka, rakyat yang tidak puya hak hukum terhadap Lembaga Eksekutif, dan karena itu tidak punya kepastian hidup di negaranya sendiri.
Pembacaan Rendra masih sesuai dengan kondisi kita saat ini. Rakyat hanyalah massa yang dibutuhkan saat kampanye semata. Setiap lima tahun kita berduyun-duyun seolah sedang pesta demokrasi, namun justru merayakan kemenangan oligarki dan kemenangan para pengkhianat demokrasi. Dalam kampanye mereka mengobral seribu janji, dalam praktek bernegara, mereka menjadi kacung dan boneka dari para oligarki. Mereka tidak punya kuasa dan keberanian dalam menegakkan kebenaran, meskipun mereka adalah panglima rakyat yang tertinggi. Mereka tidak berani berbuat walau ribuan rakyat berada di belakang mereka. Sikap mereka seperti kerbau ditusuk hidungnya, hanya bisa mundur dan menunduk saat ditodong ancaman dan juga tekanan.
Sikap dan watak mereka berubah saat rakyat memanggilnya dengan sebutan namanya. Ini seperti cara baru menegakkan mental feodalisme. Rendra mengatakan Di zaman revolusi kemerdekaan, setiap orang bisa disaa dengan sebutan Bung atau Saudara. Tetapi begitu kemerdekaan negara sudah akan mapan, mereka tidak mau lagi disapa seperti itu. Tetapi mereka minta disapa sebagai bapak. Dan kalau rakyat datang bertemu birokrat disebut sebagai menghadap. Sikap birokrat yang kurangajar seperti itu malah disebut sebagai tata tertib. Di negara yang rakyatnya betul-betul berdaulat, birokrasi negara bukanlah abdi pemerintah, melainkan abdi rakyat. (h.13).
Dalam situasi mutakhir, di era kepemimpinan Jokowi yang kedua hal ini begitu nyata. Saat mahasiswa menyebut presidennya dengan panggilan Jokowi yang dianggap lebih merakyat sama saat kampanye dulu, justru dianggap tidak memiliki tata krama, tata tertib. Kritik yang menohok tidak dilihat sebagai substansi kritik, tapi yang diserang justru kesopanan yang absurd yang tidak berdasar.
Mentalitas birokrat sebagai sosok yang suci, bersih dari dosa dan tidak boleh salah adalah warisan dari mentalitas kolonial. Dalam tata birokrasi kolonial, birokrat adalah manusia super, anti kritik dan selalu benar. Sebab itulah para pengkritik birokrat di era kolonial selalu dihadiahi delik pers, pasal penghinaan dan hukumannya dijebloskan ke penjara atau kurungan.
Ketika mentalitas seperti ini yang dipegang teguh, maka kesalahan, evaluasi, dan kritik terhadap kebijakan tidak pernah mempan. Dalam situasi pandemi atau wabah korona ini misalnya, banyak negara di luar Indonesia yang pejabatnya atau birokratnya selalu mengucapkan maaf karena tidak bisa berbuat banyak saat warganya meninggal karena korona. Di negeri kita, pejabatnya justru jumawa, menepuk dada seolah-olah bisa menangani korona. Kematian yang riil, yang ada di depan mata, justru dibantah dengan kata hanya sekian yang mati, belum sampai sekian, kita masih belum tembus angka sekian.
Mentalitas kolonial seperti inilah yang menjadi tembakan atau serangan Rendra. Kita sejatinya belum merdeka dari mentalitas kolonial, sehingga cara pandang kebijakan kita dalam menangani masalah publik, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan masih dalam cara pandang kuno/ kolonial. Akibatnya, hak-hak warga negara yang sejatinya didapat oleh bangsa yang besar, bangsa yang merdeka, hanya dinikmati oleh para birokrasi, oleh para pejabat dan wakil rakyat kita yangjauh panggang dari api memikirkan rakyat.
Baca Juga: Ekstase Pemikiran ST Sunardi
Mentalitas feodal, serta mentalitas ambtenaar yang merupakan warisan kolonialisme harus dihapus dari memori para pemimpin bangsa kita. Selama mentalitas ingin dipuja, diagungkan, dan anti kritik masih mendekam dalam pemimpin bangsa kita, maka kemerdekaan sejati menjadi semakin susah diwujudkan. Mentalitas sebagai abdi, sebagai pelayan, dan sebagai pembantu rakyatlah yang mestinya ada dalam hati dan jiwa pemimpin kita. Mental pemimpin yang siap dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih diutamakan yang tahan terhadap tekanan, desakan dan rongrongan para cukong, kepentingan kolonialisme gara baru, serta para penjarah bangsa ini yang mestinya dipegang teguh.
Menurut Rendra, kemerdekaan sejati dapat digapai bila rakyat dididik dan diberi pendidikan seluas mungkin, serta memberi ruang pada nurani, agar kita tidak diperbudak dan diperalat kekuasaan. Sebaliknya, kita mampu mengendalikan kekuasaan dan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat, untuk berbuat sebanyak mungkin yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Belum ada tanggapan.