Untuk ke sekian kalinya, saya kembali luruh dan lunglai dalam bingkai kalimat-kalimat Masthuriyah Sa’dan. Betapa tidak, buku ketiga ini teramat berbeda dari dua buku sebelumnya yang turut membahas waria. Kali ini, Masthuriyah menyuguhkan kisah 10 informan yang betul-betul menggugah.
Tentu saya tak menampik apabila membahas waria pada detik ini, maka kita akan teringat hingar-bingar dan riuh media sosial soal Ragil di podcast Deddy Corbuzier beberapa waktu lalu. Akan tetapi, Masthuriyah memiliki nyali tak tertandingi. Ia meluncurkan buku dengan perspektif berbeda yakni sisi spiritualitas waria yang tampak asing di mata manusia.
Diakui atau tidak, selama ini, stigma buruk melekat pada diri waria. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai sampah masyarakat lantaran pekerjaannya sebagai kupu-kupu malam dan ditambah gerak tubuh yang gemulai. Padahal tak semua waria berprofesi sebagai pekerja seks, dan inilah yang diusung Masthuriyah dalam bukunya.
Dari 10 narasumber, ada yang bekerja sebagai perias, desainer fashion dan tukang potong rambut. Hal ini menandakan bahwa keragaman profesi yang ditekuni dipengaruhi beberapa hal, di antaranya pendidikan dan respon keluarga, yaitu ditolak atau diterima. Menariknya, buku ini juga memperlihatkan perjalanan mereka dalam mencari Tuhan.
Rani, misalnya. Ia adalah contoh waria yang diterima keluarga. Rani anak tunggal dari orangtua yang berprofesi sebagai dokter di Jakarta. Sejak kecil, Rani merasa ada yang berbeda dari dirinya. Setelah wisuda D3, ia melanjutkan kuliah fashion di Milan, Italia. Di sanalah Rani memutuskan untuk mengubah penampilan yang akhirnya diketahui sang ibu.
Sontak sang ibu keberatan. Lama-lama berubah mendukung dengan catatan meminta Rani tetap shalat, mengontrol pakaian yang dikenakan bahkan konsultasi kepada pemuka agama, ahli hukum dan sosiolog. Rani pun berproses mengenal Tuhan dan memutuskan bekerja sebagai desainer fashion, dan tidak pernah berkecimpung di dunia nyebong.[1]
Tentu ada pula yang bekerja sebagai kupu-kupu malam seperti Erna. Saat berusia 9 tahun, ibunya meninggal dunia sehingga ia ikut kakak pertamanya ke Padang lantaran ayahnya menikah lagi. Erna adalah anak bungsu dari 7 bersaudara. Selama di Padang, ia memperoleh perlakuan buruk dari kakak ipar.
Ia tidak pernah diberi uang saku padahal mendapat jatah dari sang kakak. Belum lagi jatah makan sedikit dan lauknya sisa-sisa. Suatu hari, perlakuan buruk tersebut menemui puncaknya. Erna yang tengah kenyang dan enggan makan, tiba-tiba dilaporkan sang kakak ipar. Kakak iparnya menyebut Erna sedang marah. Sontak kakaknya menghampiri Erna, marah dan mencaci Erna jika selama ini ia hanya menumpang makan dan tidur.
Seminggu kemudian, ia dititipkan pada seorang tentara yang akan pulang ke Yogyakarta. Setelah tiba di Yogyakarta, Erna tinggal dengan kakak kedua. Di tempat ini, seakan tak ada beda. Erna diperlakukan layaknya bukan saudara. Sampai akhirnya, ia kabur menuju rumah kakaknya nomor empat berjalan kaki.
Erna yang bertubuh gemulai, suara halus, dan sifatnya lembut ini mimpi basah bersama laki-laki, bukan perempuan. Tak ayal, Erna menemukan identitas diri ketika bergabung dengan komunitas waria. Ia bekerja sebagai kupu-kupu malam dari rentang usia 19-22 tahun. Sampai suatu hari, ia merasa pekerjaannya bertentangan dengan nurani dan memilih pekerjaan alternatif yang lain. Pada tahun 2008, ia tergabung dengan pesantren waria Al-Fatah. Baginya, pesantren ini ibarat mata air yang memberikan kesejukan dan kedamaian di tengah kerasnya hidup sebagai waria.
Kisah Rani dan Erna hanya segelintir dari apa yang tersaji di dalam buku setebal 202 halaman ini. Selaku pembaca biasa seperti saya, buku ini memberi perspektif berbeda dalam memandang waria atau transpuan. Diakui atau tidak, selama ini, rekonstruksi masyarakat seakan memiliki patokan jika waria atau transpuan adalah manusia hina dan tak beragama.
Nyatanya, Masthuriyah menyuguhi pembaca dengan buku yang tak biasa. Buku ini berhasil menampar saya jika seorang waria atau transpuan pada hakikatnya tak bisa digeneralisasi. Sebab banyak dari mereka yang memilih mendekati Tuhan, memilih meneguk spiritualitas kendati masyarakat menampik mereka. Dan inilah yang menjadi kelebihan buku Spiritualitas Waria ini. Penulis mampu mengoyak-ngoyak pembaca dengan menghadirkan perjalanan hidup 10 informan dalam mencari jati diri dan mencari Tuhan.
Saya kira, tak ada salahnya menambah buku ini sebagai daftar bacaan bagi mereka-mereka yang tengah mencari pencerahan di tengah sesaknya narasi buruk terhadap kelompok marjinal. Apalagi, beberapa waktu lalu ruang publik riuh akan Ragil di podcast Deddy Corbuzier. Tentu, buku karangan Matshuriyah Sa’dan ini menyadarkan kita, jika waria memiliki pilihan hidup yang tak sama dengan yang lain.
Saya yakin, pilihan waria di dalam buku ini adalah mereka-mereka yang telah berdamai dengan takdir, telah luruh dalam caci dan hinaan masyarakat, dan sadar jika jalan yang terjal adalah jalan untuk mencintai Tuhan. Selanjutnya, tugas kita adalah memaknai spiritualitas mereka sebab Tuhan bukan untuk satu jenis golongan manusia saja, melainkan untuk siapa pun yang ingin mengenalNya, tanpa mengenal bentuk kelamin dan latar belakang.
[1] Nyebong adalah aktivitas mencari penghasilan (uang) dengan cara menjual diri. Sebagian waria mengatakan nyebong memiliki makna luas. Bisa turun ke jalan jual diri, atau sekadar nongkrong dengan sesama waria di lokalisasi
Belum ada tanggapan.